Kewajiban Negara Melindungi HAM Warga Binaan Pemasyarakatan saat Pandemi Covid-19

Bagikan

Oleh:

Tyas Nisa Utami

(Balai Pemasyarakatan Kelas I Tangerang)

Pendahuluan

Pada 30 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) telah menyatakan wabah Corona Virus Disease of 2019 (Covid-19) sebagai darurat kesehatan global atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) karena virus Covid-19 telah menyebar secara masif ke 18 negara sejak ditemukan pertama kali pada bulan Desember 2019 di Kota Wuhan, China. Pemerintah Indonesia pun mengeluarkan beberapa kebijakan preventif guna mencegah penyebaran virus Covid-19 di Indonesia, seperti pengawasan ketat di jalur masuk ke Indonesia dari negara lain, meliputi bandara, pelabuhan, dan pos lintas batas darat, terutama daerah-daerah yang memiliki akses langsung ke China.

Kebijakan preventif yang dilakukan tidak bisa menghambat penyebaran virus Covid-19 ke Indonesia. Pada tanggal 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa 2 (dua) orang warga Indonesia positif terinfeksi virus Covid-19 di Istana Merdeka. Pengumuman ini merupakan kasus pertama warga Indonesia yang positif Covid-19 di Indonesia. Dalam 11 hari setelah pengumuman kasus pertama, jumlah kasus positif Covid-19 mencapai 69 orang, 4 (empat) orang di antaranya meninggal dan 5 kasus sembuh .

Virus Covid-19 menular melalui percikan dahak (droplet) dari saluran pernapasan. Apabila sekelompok orang berada dalam sebuah ruangan tertutup dan salah satunya terinfeksi virus, maka ketika orang yang terinfeksi virus batuk, percikan dahak (droplet) yang keluar dari mulut akan menyebar ke setiap orang yang ada di ruangan tersebut. Orang-orang yang di dalam ruangan tidak menyadari telah terpapar virus Covid-19 karena gejala-gejala Covid-19, umumnya muncul dalam waktu dua hari sampai dua minggu setelah terpapar virus Covid-19. Jika daya tahan tubuhnya kuat, orang yang terinfeksi virus Covid-19 bisa tidak merasakan gejala, namun tetap bisa menulari orang-orang di sekitarnya. Virusini bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian.

Tantangan Covid-19 pada Lapas dan Rutan

Penyebaran virus Covid-19 yang masif juga berdampak terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Hukum dan HAM RI, khususnya Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Sejak awal pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia, penanganan berfokus pada mengatur mobilitas orang dengan kebebasan, sedangkan orang-orang yang kebebasannya terbatas kurang mendapatkan perhatian. Padahal kesehatan di Rutan dan Lapas adalah bagian tak terpisahkan dari kesehatan masyarakat karena ada interaksi intensif antara petugas Lapas dan Rutan, Warga Binaan Pemasyarakatan (tahanan/narapidana) dan masyarakat.

Mobilitas yang tinggi saat seseorang masih berstatus tahanan dan sedang dalam pemeriksaan di persidangan, membuat tahanan tersebut berinteraksi secara intens dalam jarak dekat dan kontak fisik dengan Polisi, Hakim, Jaksa, dan Panitera. Ketika tahanan kembali ditahan di Rutan atau Lapas, mereka akan berinteraksi dengan petugas, tahanan, dan narapidana lain. Apabila tahanan tersebut terinfeksi virus Covid-19 saat berada di luar Rutan atau Lapas, tahanan tersebut berisiko menyebarkan virus Covid-19 kepada seluruh penghuni Rutan atau Lapas.

Kementerian Hukum dan HAM telah berupaya menerapkan kebijakan pelarangan kunjungan selama pandemi Covid-19, tetapi kebijakan ini tidak sejalan dengan perintah pengadilan yang tetap memanggil para tahanan untuk bersidang, maka penyebaran virus Covid-19 pada Rutan dan Lapas tetap bisa terjadi. Di sisi lain, petugas Rutan dan Lapas juga bisa menyebarkan virus Covid-19 karena mereka berinteraksi dengan masyarakat luar, sekaligus dengan Warga Binaan Pemasyarakatan.

WHO merekomendasi untuk menerapkan jaga jarak (social distancing) dalam usaha mengurangi penularan virus Covid-19 antar sesama Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun, kepadatan penghuni Lapas dan Rutan yang tinggi tidak bisa diterapkan jaga jarak diantara mereka. Menurut data Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan hingga Selasa, 31 Maret 2020, total Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Rutan dan Lapas di Indonesia sebanyak 270.386 orang, sementara kapasitas rutan dan lapas di Indonesia hanya mampu menampung 131.931 orang. Jumlah ini hampir 60% melebihi kapasitas tempat penampungan narapidana yang seyogianya hanya bisa menampung 170-an ribu narapidana. Artinya, ada overcapacity, bahkan bisa mencapai 300% di beberapa tempat yang ada di Indonesia.

Selain itu, keterbatasan ruangan, jumlah petugas pemasyarakatan yang sedikit dibandingkan jumlah tahanan dan narapidana, kurangnya staf perawatan kesehatan dan pengobatan, infrastruktur yang kurang memadai, keterbatasan anggaran Rutan dan Lapas, dan akses perawatan kesehatan di rumah sakit umum yang terbatas menjadi tantangan besar dalam proses perawatan tahanan atau narapidana yang terinfeksi virus Covid-19.

Jika akhirnya mereka terinfeksi virus Covid-19 dan tidak bisa lagi dirawat di dalam Rutan atau Lapas, mereka akan dirawat di luar Rutan atau Lapas dengan pengawalan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 Tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan. Kondisi riil tersebut tidak memungkinkan bagi petugas untuk melakukan pengawalan sesuai dengan peraturan apabila banyak Warga Binaan Pemasyarakatan yang terpapar COVID-19.

Virus Covid-19 yang terjadi di Lapas dan Rutan tidak hanya menyerang fisik para tahanan dan narapidana, melainkan juga psikologis mereka. Secara psikologis, situasi krisis akibat Covid-19 membuat mereka cemas dan takut terkena Covid-19 karena mereka berada di ruangan yang sempit bersama-sama dalam waktu yang lama dengan fasilitas kesehatan yang terbatas di Lapas dan Rutan, tertekan karena kehilangan dukungan keluarga akibat pelarangan kunjungan, sedih dan khawatir dengan keadaan keluarga yang berada diluar, marah dan frustasi karena tidak dapat berbuat apapun untuk menghindari virus Covid-19 di Rutan dan Lapas, dan lain-lain. Kondisi psikologis yang muncul pada mereka bisa memantik keinginan bunuh diri, protes yang berujung kerusuhan dan berpotensi mengganggu keamanan di dalam Rutan dan Lapas.

Hak Asasi Manusia pada Warga Binaan Pemasyarakatan

Kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi pada Lapas dan Rutan menjadi perhatian negara-negara di dunia karena banyaknya warga binaan pemasyarakatan yang berdekatan dalam Lapas dan Rutan dikhawatirkan akan memicu penyebaran virus Covid-19 yang lebih parah dan berujung pada pelanggaran hak asasi manusia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan bahwa kompleks penjara di seluruh dunia akan menyumbang “angka kematian yang sangat tinggi” akibat COVID-19 karena banyak dari kompleks penahanan kondisinya sangat padat.

Warga binaan pemasyarakatan (tahanan dan narapidana) merupakan individu yang sebagian haknya dibatasi khususnya hak mendapatkan kebebasan sebagai bentuk sanksi pidana bagi mereka. Namun, mereka tetap dapat memiliki hak-hak lainnya tanpa diskriminasi. Salah satu prinsip fundamental HAM adalah prinsip kesetaraan dan persamaan hak atau prinsip nondiskriminasi yang dijamin oleh negara dan menempel di semua dimensi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia. Setiap orang di dunia ini mempunyai HAM tidak terkecuali para tahanan dan narapidana. Pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan salah satu ciri dari negara hukum. Indonesia merupakan negara yang berlandaskan atas hukum sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat 3 UUD 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Narapidana yang sedang menjalani sanksi pidana di dalam Rutan atau Lapas tetap dilindungi hak asasinya sebagai manusia dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. Pelayanan dengan pendekatan penegakan HAM dalam pembinaan di Rutan dan Lapas menjadi sesuatu yang sangat penting karena negara berkewajiban melindungi dan menegakkan hak-hak asasi para tahanan dan narapidana.

Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan berisi tentang hak-hak narapidana, yaitu: melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; mendapatkan pendidikan dan pengajaran; mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; menyampaikan keluhan; mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; mendapatkan pembebasan bersyarat; mendapatkan cuti menjelang bebas; dan mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada saat terjadinya pandemi Covid-19 di Indonesia, tahanan dan narapidana adalah kelompok rentan terhadap penyebaran virus Covid-19 karena tinggal bersama-sama dalam institusi tertutup yang memiliki tingkat hunian tinggi dengan ventilasi yang kurang memadai. Terancamnya stabilitas kesehatan para tahanan dan narapidana membuat negara harus melindungi HAM mereka. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 4 menyatakan setiap orang berhak atas kesehatan dan Pasal 2 menyatakan bahwa pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.

Upaya Negara Melindungi Warga Binaan Pemasyarakatan dari Pandemi Covid-19

Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM RI , Yasonna H. Laoly mengambil kebijakan terkait layanan kesehatan pada penanganan Covid-19 di Rutan/Lapas[4], yaitu:

  1. Berkoordinasi dengan institusi lain, seperti Kementerian Kesehatan, Satgas Covid-19 Indonesia, Kepolisian dan Kejaksaan, Mahkamah Agung, WHO, UNODC, ICRC dan Lembaga Swadaya Masyarakat;
  2. Memperbaharui pedoman pelaksanaan pelayanan kesehatan di Rutan/Lapas secara berkala;
  3. Menyebarluaskan informasi tentang protokol kesehatan dan kebiasaan baru untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19;
  4. Mengintensifkan pelatihan di semua Rutan/Lapas menyesuaikan dengan kebiasaan baru atau new normal berlaku di Indonesia;
  5. Tidak ada tahanan baru yang diterima dari Kepolisian dan Kejaksaan;
  6. Kunjungan keluarga melalui virtual;
  7. Melaksanakan isolasi selama 14 hari bagi narapidana baru yang masih dalam proses persidangan;
  8. Memantau dan mengevaluasi upaya pencegahan dan penanganan pandemi Covid-19 di Lapas maupun Rutan di Indonesia.
  9. Membebaskan sejumlah narapidana dengan kriteria tertentu berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (No. 10/2020) tentang Ketentuan Pemberian Hak Asimilasi dan Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam rangka Pencegahan dan Pemberantasan Penyebaran Covid-19. Kebijakan tersebut diperbaharui dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 32 Tahun 2020.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menghimbau kepada seluruh jajaran Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan untuk melakukan empat langkah penyebaran Covid-19 di Rutan/Lapas, yakni pencegahan, penanganan, pengendalian, dan pemulihan. Setiap petugas, tahanan, dan narapidana diingatkan untuk selalu menjalankan protokol kesehatan seperti cuci tangan dengan sabun, menggunakan masker, melakukan pemeriksaan kesehatan pada tahanan, narapidana, anak, dan petugas saat memasuki Rutan dan Lapas, menjaga jarak, pembersihan dan penyemprotan ruangan dengan desinfektan secara rutin dan berkoordinasi dengan dinas kesehatan dan fasilitas kesehatan setempat.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan berusaha menyediakan pelayanan kesehatan bagi tahanan dan narapidana dengan merujuk pada Nelson Mandela Rules dimana setiap tahanan dan narapidana dapat menikmati perawatan kesehatan yang sama seperti yang tersedia di masyarakat dan memiliki akses ke layanan perawatan kesehatan yang diperlukan tanpa biaya, tanpa diskriminasi berdasarkan status hukum mereka. Oleh karena itu, setiap Rutan dan Lapas disediakan blok atau sel khusus untuk isolasi para tahanan/ narapidana yang terinfeksi virus Covid-19 dan bekerjasama dengan rumah sakit setempat yang menjadi rujukan dalam penanganan virus COVID-19.

Nelson Mandela Rules adalah standar minimum perlakuan terhadap narapidana yang dikeluarkan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Standar minimum yang diatur mulai dari akomodasi, kebersihan, layanan kesehatan, hingga hal-hal teknis seperti pengaturan sistem manajemen Lapas.

Reformasi Hukuman Pidana

Upaya yang telah dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM untuk mencegah virus Covid-19 masuk ke Rutan dan Lapas tidak berjalan sesuai dengan harapan karena kebijakan yang dibuat tidak mungkin mencegah adanya interaksi antara petugas, tahanan, dan narapidana dengan masyarakat.

Data terbaru Februari 2021, sebanyak 4.343 narapidana termasuk anak-anak telah terinfeksi, 374 masih menjalani perawatan isolasi dan 3.948 telah pulih. Kemudian sebanyak 21 narapidana meninggal. Sebanyak 1.872 Petugas Pemasyarakatan terjangkit, 380 orang masih menjalani perawatan isolasi dan 1.471 sudah sembuh. Lalu sebanyak 21 petugas meninggal.[5]

Pandemi Covid-19 telah membuka mata setiap orang bahwa Kepadatan tingkat hunian Rutan dan Lapas yang tinggi adalah hal yang mesti dipertimbangkan. Tanpa adanya pandemi Covid-19, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tahanan dan narapidana yang dicantumkan dalam Nelson Mandela Rules pun sulit terlaksana akibat kelebihan penghuni.

Jika selama ini pidana berakhir pada penempatan pelanggar hukum dalam sebuah fasilitas negara untuk menjalankan keputusan pengadilan adalah satu-satunya jalan bagi rehabilitasi pelaku, maka diperlukan  reformasi hukuman pidana sebagai strategi untuk mengurangi tingkat kepadatan penghuni Lapas dan Rutan.

Reformasi hukuman pidana tidak bisa dijalankan sendiri oleh Kementerian Hukum dan HAM RI, melainkan membutuhkan dukungan dari seluruh pihak, seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan RI, Kepolisian RI, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Kesehatan (Kemkes), Kementerian Sosial (Kemsos), Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Kesimpulan

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan perhatian yang besar dalam penjaminan hak asasi manusia para tahanan dan narapidana dengan membuat beberapa kebijakan selama pandemi Covid-19. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menghimbau kepada setiap Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan menerapkan empat langkah antisipasi penyebaran Covid-19 di Rutan dan Lapas, yakni pencegahan, penanganan, pengendalian, dan pemulihan. Setiap petugas, tahanan, dan narapidana diingatkan untuk selalu menjalankan protokol kesehatan.

Selain itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan membebaskan sejumlah narapidana yang memenuhi beberapa kriteria berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (No. 10/2020) tentang Ketentuan Pemberian Hak Asimilasi dan Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam rangka Pencegahan dan Pemberantasan Penyebaran Covid-19. Kebijakan tersebut diperbaharui dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 32 Tahun 2020.

Kebijakan yang telah dibuat tidak dapat menghindari penyebaran virus Covid-19 di Lapas dan Rutan karena interaksi antara tahanan, narapidana, petugas Lapas dan Rutan dengan masyarakat tidak dapat dihentikan. Tingkat kepadatan hunian yang tinggi mempermudah penyebaran virus Covid-19, maka pemerintah perlu bekerja sama dengan semua pihak mulai dari penegak hukum, dinas kesehatan, dinas sosial, hingga keluarga tahanan dan narapidana untuk mewujudkan perlindungan hak asasi manusia bagi tahanan dan narapidana.

Saran

Langkah-langkah yang bisa menjadi bahan pertimbangan dalam mengurangi kepadatan tingkat penghuni Rutan dan Lapas mencakup:

  1. Hadirnya kebijakan-kebijakan alternatif hukuman tanpa penjara seperti pengawasan dan pengabdian masyarakat sebagai restorative Konsep restorative justice merupakan suatu pendekatan yang menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi para pelaku tindak pidana dan korban.
  2. Narapidana yang melakukan pelanggaran tindak pidana ringan dapat ditempatkan di dinas sosial untuk pembinaan dan rehabilitasi. Keluarga bisa turut serta mengawasi dan membina di tempat tinggalnya dengan menjalankan wajib lapor kepada aparat penegak hukum.
  3. Reformasi kebijakan narkotika dengan menggunakan pendekatan kesehatan dimana pecandu narkotika mendapatkan rehabilitasi medis bukan menjalani pembinaan di Lapas atau Rutan.
  4. Pemberian grasi dan amnesti untuk beberapa tindak pidana resiko rendah dan para narapidana dan tahanan yang termasuk kelompok rentan, seperti ibu hamil, orang lanjut usia, dan anak.

 

Catatan Akhir:

[1]https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/upaya-dan-kebijakan-pemerintah-indonesia-menangani-pandemi-covid-19.

[2] http://www.ditjenpas.go.id/menyoal-over-kapasitas-penjara-di-tengah-tengah-pandemi-covid-19 pada 25 Maret 2021

[3] https://theconversation.com/mencegah-penyebaran-covid-19-di-penjara-tidak-cukup-hanya-dengan-membebaskan-narapidana-135820

[4] https://kemenkumham.go.id/publikasi/siaran-pers/pertemuan-virtual-unodc-menkumham-bagikan-pengalaman-kebijakan-tekan-penyebaran-covid-19-lapas-rutan-di-indonesia pada 28 Maret 2021.

[5] https://kemenkumham.go.id/publikasi/siaran-pers/pertemuan-virtual-unodc-menkumham-bagikan-pengalaman-kebijakan-tekan-penyebaran-covid-19-lapas-rutan-di-indonesia pada 28 Maret 2021.

 

Daftar Pustaka

Irsal. (2020). “Menyoal” Over Kapasitas Penjara di Tengah-Tengah Pandemi Covid-19. Diakses dari http://www.ditjenpas.go.id/menyoal-over-kapasitas-penjara-di-tengah-tengah-pandemi-covid-19 pada 25 Maret 2021.

Kemenkumham RI. Pertemuan Virtual UNODC, Menkumham Bagikan Pengalaman Kebijakan Tekan Penyebaran Covid-19 LapAs-Rutan di Indonesia. Diakses dari https://kemenkumham.go.id/publikasi/siaran-pers/pertemuan-virtual-unodc-menkumham-bagikan-pengalaman-kebijakan-tekan-penyebaran-covid-19-lapas-rutan-di-indonesia pada 28 Maret 2021.

Komnas HAM RI. (2020). Tata Kelola Penanggulangan Covid-19 dalam Perspektif HAM. Diakses dari https://www.komnasham.go.id/index.php/publikasi/2020/10/12/109/tata-kelola-penanggulangan-covid-19-dalam-perspektif-ham.html pada tanggal 25 Maret 2021.

Kompaspedia. (2020). Upaya dan Kebijakan Pemerintah Indonesia Menangani Pandemi Covid-19. Diakses dari https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/upaya-dan-kebijakan-pemerintah-indonesia-menangani-pandemi-covid-19.

Sudaryono, Leopold (2020). Mencegah penyebaran COVID-19 di penjara tidak cukup hanya dengan membebaskan narapidana. Diakses dari https://theconversation.com/mencegah-penyebaran-covid-19-di-penjara-tidak-cukup-hanya-dengan-membebaskan-narapidana-135820

The United Nation Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoner. Diakses dari https://www.unodc.org/documents/justice-and-prison-reform/Nelson_Mandela_Rules-E-ebook.pdf pada tanggal 25 Maret 2021.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

[1]https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/upaya-dan-kebijakan-pemerintah-indonesia-menangani-pandemi-covid-19.

[2] http://www.ditjenpas.go.id/menyoal-over-kapasitas-penjara-di-tengah-tengah-pandemi-covid-19 pada 25 Maret 2021.

[3] https://theconversation.com/mencegah-penyebaran-covid-19-di-penjara-tidak-cukup-hanya-dengan-membebaskan-narapidana-135820.

[4] https://kemenkumham.go.id/publikasi/siaran-pers/pertemuan-virtual-unodc-menkumham-bagikan-pengalaman-kebijakan-tekan-penyebaran-covid-19-lapas-rutan-di-indonesia pada 28 Maret 2021.

[5] https://kemenkumham.go.id/publikasi/siaran-pers/pertemuan-virtual-unodc-menkumham-bagikan-pengalaman-kebijakan-tekan-penyebaran-covid-19-lapas-rutan-di-indonesia pada 28 Maret 2021.

Skip to content