Tuntutan Pidana Mati terhadap Herry Wirawan dari Perpektif Hak Asasi Manusia

Oleh:

Zuliansyah[1] dan Eva Lutfiati Latifah[2]

 

PERMASALAHAN

Permasalahan bersumber dari media elektronik tribunnews.com tanggal 11 Januari 2022 yang berjudul “8 Alasan Jaksa Tuntut Herry Wirawan dengan Hukuman Mati, Masuk Kategori Kejahatan Kekerasan Seksual”[3] dan news.detik.com tanggal 14 Januari 2022 yang berjudul “Komnas HAM Tolak Hukuman Mati Herry Wirawan, Anggota DPR Bereaksi”[4] yang pada intinya menginformasikan bahwa Komnas HAM menolak hukuman mati dan kebiri kimia bagi Herry Wirawan yang dituntut dalam kasus pemerkosaan 13 santri. Penolakan tersebut karena hukuman mati dan kebiri kimia dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM.

DATA DAN INFORMASI

  1. Sumber Data dan Informasi

Berdasarkan media elektronik news.detik.com tanggal 14 Januari 2022 yang berjudul “Komnas HAM Tolak Hukuman Mati Herry Wirawan, Anggota DPR Bereaksi.”

     2. Kronologis Kejadian

  1. Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, pada Rapat Kerja di Gedung DPR menyatakan bahwa Komnas HAM menolak hukuman mati terhadap Herry Wirawan yang dituntut dalam kasus pemerkosaan terhadap 13 santri. Komnas HAM tidak setuju dengan hukuman mati karena bertentangan dengan prinsip HAM. Hak hidup seseorang tidak bisa dikurangi dalam situasi apapun (non derogable rights). Hal ini termasuk pada hukuman mati.
  2. Selain menolak hukuman mati, Komnas HAM juga menolak hukuman kebiri kimia yang juga menjadi tuntutan Jaksa kepada Herry Wirawan. Hukuman tersebut dinilai tidak manusiawi dan kejam sehingga tidak layak diterapkan. Kendati demikian, Komnas HAM menegaskan bahwa pihaknya menuntut hukuman maksimal bagi Herry Wirawan sebab korbannya kebanyakan anak-anak.
  3. Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto tidak sependapat dengan Komnas HAM, menurutnya, Herry Wirawan layak dihukum mati karena sudah merusak kehidupan orang lain.
  4. Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Gerindra, Habiburokhan menghargai keputusan Komnas HAM menolak hukuman mati Herry Wirawan, namun dia juga berharap Komnas HAM tidak membabi buta dalam merespon kasus-kasus hukuman mati dari penegak hukum. Disisi lain, Habiburokhan menilai Komnas HAM turut mengesampingkan korban yang seharusnya dibela.
  5. Jaksa menyebut kejahatan Herry Wirawan yang memperkosa 13 santriwati merupakan kejahatan sangat serius. Terdapat beberapa argumentasi dan pertimbangan yang melatarbelakangi jaksa menuntut hukuman mati bagi Herry Wirawan. Pertama, Jaksa mengacu pada Kovensi PBB yang menentang penyiksaan dan hukuman tidak manusiawi. Kedua, kekerasan seksual yang dilakukan terdakwa sebagai pendiri, pengasuh, sekaligus pemilik pondok pesantren kepada anak didiknya berada dalam kondisi tidak berdaya dan tertekan. Ketiga, kekerasan terdakwa berpotensi merusak kesehatan anak dan beresiko menularkan penyakit HIV. Keempat, perbuatan terdakwa berpengaruh kepada psikologis dan emosional anak secara keseluruhan. Kelima, kekerasan seksual terdakwa terus menerus dan sistematik. Keenam, jaksa memiliki alasan pemberatan tuntutan terhadap terdakwa yang menggunakan symbol agama untuk melancarkan kejahatannya. Ketujuh, perbuatan terdakwa dinilai menimbulkan dampak keresahan sosial yang luar biasa. Dan terakhir, perbuatan terdakwa berpotensi menimbulkan korban ganda menjadi korban kekerasan seksual dan korban ekonomi fisik yang menimbulkan dampak sosial berbagai aspek. Oleh karenanya, Jaksa menuntut Herry Wirawan dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) dan ayat (5) jo. Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang ancaman pidananya dengan pidana mati, Pasal 65 ayat (1) KUHP.
  6. Bahwa tuntutan kebiri kimia terhadap Herry Wirawan merupakan hukuman tambahan yang dapat dilaksanakan apabila Herry Wirawan tidak dijatuhi hukuman mati.

ANALISIS

  1. Hukuman mati merupakan salah satu isu yang kontroversial dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR). Meskipun dalam Pasal 6 ayat (1) ICCPR mengakui bahwa hak hidup merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun (non derogable rights) sebagaimana berbunyi “Setiap manusia berhak atas hak hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.” Namun secara tekstual hukuman mati masih diperbolehkan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR, yang menyatakan: “Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan ini dan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.”
  2. Hingga saat ini di dunia internasional tidak ada definisi yang baku tentang “the most serious crime”. Dalam prinsip hukum internasional, jika belum ada ketentuan baku terhadap definisi suatu tindak kejahatan tertentu, maka diserahkan definisinya kepada kedaulatan hukum nasional masing-masing negara.
  3. Dalam hukum pidana, pengenaan hukuman terhadap kejahatan yang luar biasa memang harus dilakukan secara luar biasa juga, sebagai contoh dapat kita lihat pada pengenaan pidana terhadap tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana pembunuhan berencana, yang menimbulkan dampak yang sangat luar biasa bagi kemanusiaan.
  4. Meskipun penerapan hukuman mati masih diperbolehkan, namun terdapat pembatasan dalam penerapan hukuman mati sebagaimana PBB telah mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty) melalui Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984. Panduan ini memperjelas praktek hukuman mati menurut Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Pembatasan hukuman mati tersebut atara lain:
  1. Di negara yang belum menghapuskan hukuman mati penerapannya hanya bisa berlaku bagi kejahatan yang paling serius, dimana kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekuensi yang sangat keji.
  2. Hukuman mati hanya dapat berlaku apabila kejahatan tersebut tercantum dalam produk hukum tertulis yang tidak dapat bersifat retroaktif (berlaku surut) pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Apabila dalam produk hukum tersebut tersedia hukuman yang lebih ringan, maka hukuman tersebut yang harus diterapkan.
  3. Hukuman mati tidak dapat diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun pada saat melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati juga tidak dapat diterapkan pada wanita hamil, ibu yang baru melahirkan, dan orang yang cacat mental atau gila.
  4. Hukuman mati hanya diterapkan apabila kesalahan pelaku sudah tidak menyediakan celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian.
  5. Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai keputusan hukum yang final lewat sebuah persidangan yang kompeten sesuai dengan Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dimana seorang terdakwa harus disediakan pembelaan hukum yang memadai.
  6. Pelaku yang dijatuhi hukuman mati berhak mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan banding tersebut bersifat imperatif/wajib.
  7. Pelaku yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan pengampunan atau perubahan hukuman.
  8. Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman.Metode eksekusi hukuman mati harus seminimal mungkin menimbulkan penderitaan.

Dengan Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984 ini menunjukkan bahwa pemberlakuan pidana mati atau penghilangan nyawa dibenarkan sepanjang memenuhi persyaratan atau pembatasan yang ditentukan. Artinya, penghapusan pidana mati belum menjadi norma hukum yang berlaku umum yang harus diterima oleh masyarakat internasional secara universal.

  1. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati dalam hukum positifnya. Beberapa undang-undang yang masih memasukkan hukuman mati sebagai hukuman maksimal diantaranya adalah:

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang. Undang-undang ini masih mengadopsi hukuman mati yang terlihat pada Pasal 6,8,10,14,15, dan 16.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Terdapat dalam Pasal 104 tentang kejahatan terhadap keamanan negara, Pasal 111, Pasal 124 dan Pasal 140 tentang makar, serta Pasal 340 tentang pembunuhan berencana masih mencantumkan hukuman mati sebagai hukuman maksimum.

Sedangkan dalam RUU KUHP hukuman mati masih akan diberlakukan. Namun pelaksanaan hukuman mati masih dapat ditunda dengan masa percobaan 10 tahun berdasarkan alasan tertentu. Jika terpidana masa percobaan bersikap dan berbuat terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dan pidana penjara paling lama 20 tahun.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Dalam Pasa 59 tentang Tindak Pidana juga menetapkan hukuman mati sebagai hukuman maksimal.

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pada Pasal 36, 37 dan 41 undang-undang tersebut menyatakan adanya hukuman mati bagi pelanggarnya.

  1. Hukuman mati di Indonesia tidak bertentangan dengan konstitusi, sebagaimana telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi, diantaranya dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-VI/2008 terkait Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer yang telah ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana amar putusan tersebut menyatakan permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya sehingga hukuman mati terhadap pelaku dapat tetap dilaksanakan. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga telah mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2, 3/PUU-V/2007 atas pengujian Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, tanggal 30 Oktober 2007 yang menolak uji materi hukuman mati dalam UU Narkotika.
  2. Pelaku kejahatan seksual terhadap anak dikualifikasikan sebagai graviora delicta atau kejahatan serius yang kejam. Anak sebagai korban kejahatan seksual terdampak luar biasa, terutama terhadap perkembangan psikologinya di masa yang akan datang, akibat dari depresi, malu, dan lain sebagainya. Atas dasar itu Indonesia secara legal formil sudah menyatakan bahwa kejahatan seksual terhadap anak merupakan extra ordinary crime atau “the most serious crime”, bahkan jika kekerasan seksual terhadap anak yang menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, maka pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara laing singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 81 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
  3. Dalam kasus pemerkosaan yang dilakukan Herry Wirawan dapat dikatakan extra ordinary crime karena terdapat pelanggaran hak asasi manusia dimana pelaku telah melakukan pemerkosaan terhadap anak dibawah umur sehingga dapat berpotensi merusak kesehatan anak baik secara fisik maupun mental. Selain itu kejahatan ini juga bersifat sistematik yang menimpa 13 korban serta berimbas pada kejahatan seksual dan eksploitasi anak dengan motif ekonomi. Karena itu wajar kiranya jaksa menuntut Herry dengan Pasal-Pasal tersebut di atas.
  4. Selain tuntutan pidana mati, Herry Wirawan juga dituntut hukuman tambahan berupa kebiri kimia. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Peraturan ini memberikan kewenangan kepada negara untuk dapat menjatuhkan tindakan kebiri kimia bagi pelaku persetubuhan terhadap anak, dimana tindakan kebiri kimia sebagai merupakan tindakan pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lainnya yang bertujuan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.
  5. Bahwa tindakan kebiri kimia hanya dilakukan kepada pelaku dewasa yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang mana perbuatannya menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, yang bertujuan untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Dengan mengacu kepada regulasi tersebut diatas dan diperkuat dengan dampak yang ditimbulkan kepada korban, perbuatan yang dilakukan oleh Herry Wirawan sudah memenuhi unsur-unsur perbuatan yang dapat dikenakan hukuman kebiri kimia. Oleh karena itu, Jaksa dapat saja menuntut hukuman tambahan berupa kebiri kimia terhadap Herry Wirawan.
  6. Pengenaan kebiri kimia sifatnya hanya sementara waktu, tidak permanen dan setelah tidak dilakukan kebiri kimia, maka si pelaku kejahatan tersebut dapat kembali normal. Dalam penerapannya dilakukan dengan cara memberikan suntikan ringan atau dengan obat, yang tidak menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat. Dengan demikian, kebiri kimia belum memenuhi unsur-unsur penyiksaan yang dimaksud dalam konvensi anti penyiksaan.
  7. Pengenaan pidana mati dan pengebirian suntikan kimia bagi Herry, pelaku dewasa kekerasan seksual pada anak dinilai tak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini dinilai pantas, karena efek dari kekerasan seksual yang dialami anak-anak akan dirasakan seumur hidup.
  8. Pengenaan pidana mati dan pengebirian suntikan kimia bagi Herry, pelaku dewasa kekerasan seksual pada anak merupakan pengurangan atau pembatasan hak asasi (derogable rights) yang diberikan kepada si pelaku, dirasakan sudah sesuai dengan pembatasan prinsip pembatasan hak asasi manusia, sebagaimana telah dinyatakan di dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tuntutan pidana mati dan kebiri kimia kepada Herry sebagai kompensasi atas kesalahan perbuatannya yang telah mengancam rasa aman dan tumbuh kembang hidup anak. Tuntutan Jaksa semata-mata  untuk  menjamin perlindungan bagi anak dan untuk memenuhi tuntutan yang adil  sesuai dengan pertimbangan  moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

KESIMPULAN

  1. Herry Wirawan dapat dikenakan hukuman mati atas kejahatan yang telah dilakukannya berdasarkan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) dan ayat (5) jo. Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
  2. Hukuman mati dan hukuman kebiri terhadap Herry Wirawan tidak melanggar hak asasi manusia. Justru pelakulah yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap korban pelecehan seksual sehingga menimbulkan trauma secara psikis maupun fisik. Apabila dilihat dari aspek hak asasi manusia seperti yang tercantum dalam Pasal 28 J ayat (2) yang berbunyi “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk mejamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi.”
  3. Pelaku kejahatan seksual terhadap adalah kejahatan serius yang kejam. Anak sebagai korban kejahatan seksual terdampak luar biasa, terutama terhadap perkembangan psikologinya di masa yang akan datang, karena itu tindakan kebiri kimia merupakan hukuman yang setimpal. Sebab, selain pelaku tidak bisa lagi mengulangi perbuatannya, pada saat yang sama ini sekaligus sebagai general preventionbagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan yang sama. Terhadap pelaku tindak kejahatan seksual terhadap anak perlu dikenakan tindakan yang serius, lebih dari tindakan kepada tindak kejahatan umum lainnya, karena dampak yang ditimbulkan bagi korban juga sangat serius.

SARAN

Pada kasus ini pelaku telah melanggar hak asasi manusia terhadap 13 korbannya yang menimbulkan trauma secara psikis maupun fisik. Oleh karena itu, diharapkan kepada seluruh aparat penegak hukum yang menangani kasus ini dapat mengambil keputusan secara objektif dengan mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang ada di persidangan. Sehingga putusan hakim nantinya dapat betul-betul memenuhi rasa keadilan bagi seluruh korban yang mengalami pelecehan seksual.

Catatan Kaki:

[1] Koordinator Yankomas Wilayah IV

[2] Analis Pengaduan Masyarakat pada Sub Koordinator Hak Sipil dan Politik Yankomas Wilayah IV

[3] https://www.tribunnews.com/regional/2022/01/11/8-alasan-jaksa-tuntut-herry-wirawan-dengan-hukuman-mati-masuk-kategori-kejahatan-kekerasan-seksual

[4] https://news.detik.com/berita/d-5897668/komnas-ham-tolak-hukuman-mati-herry-wirawan-anggota-dpr-bereaksi/2

Hak Asasi Aparatur Sipil Negara Sejak Pandemi Covid-19 di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Medan

Oleh:

Rezeky Ana Ashal, S.S., M.Hum.

(Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Medan)

 

Pendahuluan

Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang jatuh setiap tanggal 10 Desember merupakan pengingat atas hak setiap orang sebagai manusia. Hari internasional tersebut diperingati tahun 2020 kemarin di tengah pandemi dengan tema “Recover Better – Stand Up for Human Rights”. Tema ini bertujuan agar HAM tetap terpenuhi meskipun dalam kondisi pandemi Covid-19 sebagai bagian dari upaya pemulihan. Intinya, setiap orang di dunia memiliki peluang yang sama terkait standar HAM dalam mengatasi ketidaksetaraan, pengucilan, dan diskriminasi yang terjadi selama Covid-19.[1]

Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai petugas pelayanan publik juga mengalami dampak dari adanya pandemi yang resmi diumumkan oleh Presiden Joko Widodo masuk ke Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020. Pandemi Covid-19 menimbulkan krisis HAM di berbagai bidang, seperti ekonomi, pendidikan, agama dan lain sebagainya. Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) menyampaikan kebijakan nasional tentang penyesuaian sistem kerja ASN selama merebaknya kasus Covid-19. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri PANRB No.19 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara dalam Upaya Pencegahan Covid-19 di Lingkungan Instansi Pemerintah, yang dimaksudkan sebagai pedoman bagi instansi pemerintah dalam pelaksanaan tugas kedinasan dengan bekerja di rumah/tempat tinggalnya (Work from Home/WFH) bagi ASN sebagai upaya pencegahan dan meminimalisasi penyebaran Covid-19.[2]

Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Medan (Kanimsus TPI Medan) sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Publik yang sudah dan sedang berpredikat Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBK/WBBM) memiliki total ASN 243 orang. Para ASN ini tersebar di tiga lokasi kerja  yaitu Kantor Utama di Jalan Gatot Subroto Medan, Unit Layanan Paspor di Deli serdang dan Tempat Pemeriksaan Imigrasi di Bandara Internasional Kualanamu, Deli Serdang. Sejak diumumkannya Covid-19 sebagai pandemi dan kebjakan pemerintah terkait sistem kerja ASN, Kepala Kantor Kanimsus TPI Medan beserta jajaran segera melakukan beberapa kebijakan internal terkait pengamanan dalam bekerja bagi ASN sebagai pelayan publik serta hak yang diperoleh sejak pandemi Covid-19 seperti diuraikan berikut ini.

Pembahasan

Sebelum Deklarasi Universal HAM PBB, Indonesia telah memuat HAM sebagai nilai universal dalam Konstitusinya, baik dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 maupun dalam batang tubuh UUD 1945 dan dipertegas dalam amandemen UUD 1945. Indonesia juga telah memiliki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum Indonesia. Indonesia juga telah meratifikasi 8 (delapan) di antara 9 (sembilan) instrumen pokok HAM internasional sebagai bagian dari anggota PBB, dalam rangka penghormatan dan pelaksanaan Deklarasi Universal HAM tahun 1948 serta berbagai instrumen HAM lainnya.[3]

Hak untuk memperoleh kesehatan adalah hal yang paling penting di masa pandemi ini. ASN sebagai petugas pelayanan publik yang berhadapan langsung dengan masyarakat sangat perlu untuk diberikan rasa aman dalam bekerja sehingga tujuan dari pelayanan publik tetap terlaksana meskipun dalam suasana pandemi. Beberapa langkah awal yang dilakukan Kanimsus TPI Medan untuk mencegah penularan dan penyebaran Covid-19 di lingkungan Kanimsus TPI Medan adalah:

  • Penyemprotan disinfektan di seluruh area Kanimsus TPI Medan

Virus Corona menular melalui percikan-percikan (droplet) dari hidung atau mulut sesorang yang terjangkit saat bernafas atau batuk. Droplet tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dengan terhirupnya droplet dari orang yang terinfeksi. Droplet tersebut juga dapat menularkan secara tidak langsung kepada penderita yang secara tidak sengaja menyentuh droplet yang menempel pada permukaan benda di sekitarnya dan setelah itu menyentuh mata, hidung ataupun mulut. Maka, salah satu upaya memutus rantai penyebaran Covid-19 adalah dengan melakukan disinfeksi benda/permukaan yang diduga terinfeksi oleh virus corona. Sasaran disinfeksi  adalah  benda/permukaan  (handle pintu,     saklar     lampu,     komputer,     meja, keyboard komputer,  dan  fasilitas  lain  yang sering   terpegang   oleh   tangan) dan   udara ruangan   (tempat   kerja)   yang   terindikasi adanya kontaminan. Untuk jenis disinfektan, direkomendasikan menggunakan larutan pemutih (bleach), alcohol70%,  karbol/lysol, senyawa   diamin,   dan   hidrogen   peroksida dengan  frekuensi  2  jam  sekali  dan  paling lambat 12 jam sekali (Kementerian Kesehatan,   2020a;   Tim   Satgas   Covid-19 UGM,  2020).[4]

Oleh karena itu, penyemprotan disinfektan dilakukan sebagai salah satu upaya jajaran Kanimsus TPI Medan dalam rangka pencegahan penyebaran virus corona dan memberikan perlindungan serta rasa aman bagi seluruh ASN Kanimsus TPI Medan yang bertugas serta masyarakat yang mengunjungi Kanimsus TPI Medan. Hal ini dapat terlihat pada gambar berikut ini:

                                               Gambar 1: Penyemprotan disinfektan di Kanimsus TPI Medan
  • Ketersediaan fasilitas cuci tangan yang ditempatkan di pintu gerbang masuk Kanimsus TPI Medan dan juga di beberapa titik di lingkungan Kanimsus TPI Medan

Salah satu cara untuk mencegah penularan virus adalah dengan menjaga kebersihan tubuh, khususnya untuk saat ini adalah bagian tangan. Sangat dianjurkan untuk segera mencuci tangan dengan air yang mengalir setelah bersalaman atau menyentuh berbagai benda. Secara ilmiah, mencuci tangan dengan tepat dapat mencegah penularan virus dan bakteri penyebab penyakit karena karena dengan mencuci tangan, bakteri yang ada di tangan tidak masuk ke area tubuh.[5] Oleh karena itu, dalam rangka menjaga kebersihan para ASN dan juga masyarakat yang berkunjung ke Kanimsus TPI Medan, maka disediakan fasilitas cuci tangan sebelum masuk ke area gedung Kanimsus TPI Medan seperti gambar berikut ini:

                                                   Gambar 2: Fasilitas Cuci Tangan di Kanimsus TPI Medan
  • Ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) berupa face shield, masker, sarung tangan karet, vitamin dan hand sanitizer bagi ASN yang memiliki resiko tinggi untuk terpapar penularan Covid-19

Jenis alat pelindung diri yang digunakan terkait COVID-19 ditentukan berdasarkan lokasi dan aktivitas yang dilakukan oleh petugas di lapangan. Untuk ASN di Kanimsus TPI Medan, kelengkapan APD diberikan prioritas kepada ASN yang berinterkasi langsung dengan masyarakat, seperti ASN yang bertugas di pelayanan paspor baik di Kanim dan Unit Layanan Paspor, ASN yang bertugas melayani Warga Negara Asing dan yang bertugas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Hal ini seperti terlihat di gambar berikut ini:

                 Gambar 3: ASN yang bertugas di Seksi Izin Tinggal mengenakan APD saat melayani pemohon

                           Gambar 4: ASN yang bertugas di TPI mengenakan APD saat melayani penumpang

Untuk kelengkapan APD yang digunakan oleh petugas di lapangan seperti Masker Bedah (Medical/Surgical mask) Respirator N95 Pelindung Mata (Goggles) Pelindung Wajah (Face Shield) dan Sarung tangan pemeriksaan (Examination Gloves) di data oleh Sub Bagian Umum dan didistribusikan kepada pegawai yang membutuhkan.

  • Penyesuaian Sistem Kerja dengan diberlakukannya Work From Home

ASN di Kanimsus TPI Medan sejak awal Maret 2020 bekerja dari rumah sesuai jadwal yang sudah ditentukan masing-masing bagian dan bidang. Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di Kanimsus TPI Medan tetap memastikan minimal terdapat 2 (dua) level pejabat struktural tertinggi tetap melaksanakan tugasnya di kantor agar penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat tidak terganggu. ASN yang bekerja di rumah (WFH) harus melaporkan kegiatan hariannya kepada atasan langsung dan dapat mengikuti rapat/pertemuan penting yang harus dihadiri melalui sarana teleconference/video conference. Meskipun bekerja dari rumah, ASN tetap diberikan tunjangan kinerja oleh Pemerintah. Hak cuti bagi PNS juga masih ada namun dibatasi dan diberikan sesuai dengan kebijakan PPK. Kegiatan daring yang dilakukan oleh ASN yang bekerja dari rumah dapat terlihat dari gambar berikut ini:

                                                                    Gambar 5: Kegiatan Apel secara daring
  • Kegiatan tes PCR dan Vaksinasi bagi ASN

Salah satu hak bagi ASN adalah adanya perlindungan kesehatan dan rasa aman dalam bekerja di situasi pandemi saat ini. Vaksinasi adalah salah satu upaya untuk memenuhi hak kesehatan tersebut. Seperti yang dilakukan oleh jajaran ASN di Kanimsus TPI Medan baru-baru ini seperti terlihat di gambar-gambar berikut:

                                                                      Gambar 6: Kegiatan Tes PCR bagi ASN

                                                                                Gambar 7: Kegiatan Vaksinasi Tahap I

                                                                         Gambar 8: Kegiatan VaksinaSI Tahap II

Penutup

Kanimsus TPI Medan sebagai Unit Pelaksana Teknis dapat menjadi sumber penyebaran dan penularan virus corona jika tidak segera ditanggulangi. ASN sebagai garda terdepan pelayanan memiliki hak kesehatan yang sama dengan warga negara lainnya. Oleh karena itu, hak-hak kesehatan dan hak-hak lainnya dalam bekerja harus diberikan dan tentunya untuk tujuan tetap terlaksananya pelayanan publik yang prima.

Catatan Kaki:

[1] Anwar, Choirul Ilham. “Tema Hari Hak Asasi Manusia HAM Saat Pandemi 10 Desember 2020”. https://tirto.id/f7Pm. Diakses 26 April 2021.

[2] Humas MenPANRB. https://menpan.go.id/site/berita-terkini/pencegahan-penyebaran-virus-covid-19-dengan-kerja-di-rumah-bagi-asn. Diakses 26 April 2021.

[3]Margianto, Heru. “Menyikapi Krisis HAM Akibat Covid-19”. https://www.kompas.com/tren/read/2020/12/14/183126665/menyikapi-krisis-ham-akibat-covid-19?page=all. Diakses 26 April 2021.

[4] Athena, dkk. 2020. Pelaksanaan Disinfeksi dalam Pencegahan Penularan Covid-19 dan Potensi Risiko terhadap Kesehatan di Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan Vo. 19 No. 1 Juni 2020, Hal : 1-20.

[5] Imandiar, Yudistira. Ini Manfaat Cuci Tangan untuk Cegah Penularan Virus Corona. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4928038/ini-manfaat-cuci-tangan-untuk-cegah-penularan-virus-corona. Diakses pada 26 April 2021.

Daftar Pustaka

Anwar, Choirul Ilham. 2020. Tema Hari Hak Asasi Manusia HAM Saat Pandemi 10 Desember 2020. Diakses 26 April 2021, dari https://tirto.id/f7Pm.

Athena, dkk. 2020. Pelaksanaan Disinfeksi dalam Pencegahan Penularan Covid-19 dan Potensi Risiko terhadap Kesehatan di Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan Vo. 19 No. 1 Juni 2020, Hal : 1-20.

Humas MenPANRB. 2020.  Pencegahan Penyebaran Virus Covid-19 dengan Kerja di Rumah bagi ASN. Diakses 26 April 2021, dari https://menpan.go.id/site/berita-terkini/pencegahan-penyebaran-virus-covid-19-dengan-kerja-di-rumah-bagi-asn.

Imandiar, Yudistira. 2020. Ini Manfaat Cuci Tangan untuk Cegah Penularan Virus Corona. Diakses pada 26 April 2021, dari https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4928038/ini-manfaat-cuci-tangan-untuk-cegah-penularan-virus-corona.

Margianto, Heru. Menyikapi Krisis HAM Akibat Covid-19. https://www.kompas.com/tren/read/2020/12/14/183126665/menyikapi-krisis-ham-akibat-covid-19?page=all. Diakses 26 April 2021.

Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Surat Edaran Menteri PANRB No.19 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara dalam Upaya Pencegahan Covid-19 di Lingkungan Instansi Pemerintah

Kewajiban Negara Melindungi HAM Warga Binaan Pemasyarakatan saat Pandemi Covid-19

Oleh:

Tyas Nisa Utami

(Balai Pemasyarakatan Kelas I Tangerang)

Pendahuluan

Pada 30 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) telah menyatakan wabah Corona Virus Disease of 2019 (Covid-19) sebagai darurat kesehatan global atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) karena virus Covid-19 telah menyebar secara masif ke 18 negara sejak ditemukan pertama kali pada bulan Desember 2019 di Kota Wuhan, China. Pemerintah Indonesia pun mengeluarkan beberapa kebijakan preventif guna mencegah penyebaran virus Covid-19 di Indonesia, seperti pengawasan ketat di jalur masuk ke Indonesia dari negara lain, meliputi bandara, pelabuhan, dan pos lintas batas darat, terutama daerah-daerah yang memiliki akses langsung ke China.

Kebijakan preventif yang dilakukan tidak bisa menghambat penyebaran virus Covid-19 ke Indonesia. Pada tanggal 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa 2 (dua) orang warga Indonesia positif terinfeksi virus Covid-19 di Istana Merdeka. Pengumuman ini merupakan kasus pertama warga Indonesia yang positif Covid-19 di Indonesia. Dalam 11 hari setelah pengumuman kasus pertama, jumlah kasus positif Covid-19 mencapai 69 orang, 4 (empat) orang di antaranya meninggal dan 5 kasus sembuh .

Virus Covid-19 menular melalui percikan dahak (droplet) dari saluran pernapasan. Apabila sekelompok orang berada dalam sebuah ruangan tertutup dan salah satunya terinfeksi virus, maka ketika orang yang terinfeksi virus batuk, percikan dahak (droplet) yang keluar dari mulut akan menyebar ke setiap orang yang ada di ruangan tersebut. Orang-orang yang di dalam ruangan tidak menyadari telah terpapar virus Covid-19 karena gejala-gejala Covid-19, umumnya muncul dalam waktu dua hari sampai dua minggu setelah terpapar virus Covid-19. Jika daya tahan tubuhnya kuat, orang yang terinfeksi virus Covid-19 bisa tidak merasakan gejala, namun tetap bisa menulari orang-orang di sekitarnya. Virusini bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian.

Tantangan Covid-19 pada Lapas dan Rutan

Penyebaran virus Covid-19 yang masif juga berdampak terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Hukum dan HAM RI, khususnya Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Sejak awal pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia, penanganan berfokus pada mengatur mobilitas orang dengan kebebasan, sedangkan orang-orang yang kebebasannya terbatas kurang mendapatkan perhatian. Padahal kesehatan di Rutan dan Lapas adalah bagian tak terpisahkan dari kesehatan masyarakat karena ada interaksi intensif antara petugas Lapas dan Rutan, Warga Binaan Pemasyarakatan (tahanan/narapidana) dan masyarakat.

Mobilitas yang tinggi saat seseorang masih berstatus tahanan dan sedang dalam pemeriksaan di persidangan, membuat tahanan tersebut berinteraksi secara intens dalam jarak dekat dan kontak fisik dengan Polisi, Hakim, Jaksa, dan Panitera. Ketika tahanan kembali ditahan di Rutan atau Lapas, mereka akan berinteraksi dengan petugas, tahanan, dan narapidana lain. Apabila tahanan tersebut terinfeksi virus Covid-19 saat berada di luar Rutan atau Lapas, tahanan tersebut berisiko menyebarkan virus Covid-19 kepada seluruh penghuni Rutan atau Lapas.

Kementerian Hukum dan HAM telah berupaya menerapkan kebijakan pelarangan kunjungan selama pandemi Covid-19, tetapi kebijakan ini tidak sejalan dengan perintah pengadilan yang tetap memanggil para tahanan untuk bersidang, maka penyebaran virus Covid-19 pada Rutan dan Lapas tetap bisa terjadi. Di sisi lain, petugas Rutan dan Lapas juga bisa menyebarkan virus Covid-19 karena mereka berinteraksi dengan masyarakat luar, sekaligus dengan Warga Binaan Pemasyarakatan.

WHO merekomendasi untuk menerapkan jaga jarak (social distancing) dalam usaha mengurangi penularan virus Covid-19 antar sesama Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun, kepadatan penghuni Lapas dan Rutan yang tinggi tidak bisa diterapkan jaga jarak diantara mereka. Menurut data Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan hingga Selasa, 31 Maret 2020, total Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Rutan dan Lapas di Indonesia sebanyak 270.386 orang, sementara kapasitas rutan dan lapas di Indonesia hanya mampu menampung 131.931 orang. Jumlah ini hampir 60% melebihi kapasitas tempat penampungan narapidana yang seyogianya hanya bisa menampung 170-an ribu narapidana. Artinya, ada overcapacity, bahkan bisa mencapai 300% di beberapa tempat yang ada di Indonesia.

Selain itu, keterbatasan ruangan, jumlah petugas pemasyarakatan yang sedikit dibandingkan jumlah tahanan dan narapidana, kurangnya staf perawatan kesehatan dan pengobatan, infrastruktur yang kurang memadai, keterbatasan anggaran Rutan dan Lapas, dan akses perawatan kesehatan di rumah sakit umum yang terbatas menjadi tantangan besar dalam proses perawatan tahanan atau narapidana yang terinfeksi virus Covid-19.

Jika akhirnya mereka terinfeksi virus Covid-19 dan tidak bisa lagi dirawat di dalam Rutan atau Lapas, mereka akan dirawat di luar Rutan atau Lapas dengan pengawalan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 Tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan. Kondisi riil tersebut tidak memungkinkan bagi petugas untuk melakukan pengawalan sesuai dengan peraturan apabila banyak Warga Binaan Pemasyarakatan yang terpapar COVID-19.

Virus Covid-19 yang terjadi di Lapas dan Rutan tidak hanya menyerang fisik para tahanan dan narapidana, melainkan juga psikologis mereka. Secara psikologis, situasi krisis akibat Covid-19 membuat mereka cemas dan takut terkena Covid-19 karena mereka berada di ruangan yang sempit bersama-sama dalam waktu yang lama dengan fasilitas kesehatan yang terbatas di Lapas dan Rutan, tertekan karena kehilangan dukungan keluarga akibat pelarangan kunjungan, sedih dan khawatir dengan keadaan keluarga yang berada diluar, marah dan frustasi karena tidak dapat berbuat apapun untuk menghindari virus Covid-19 di Rutan dan Lapas, dan lain-lain. Kondisi psikologis yang muncul pada mereka bisa memantik keinginan bunuh diri, protes yang berujung kerusuhan dan berpotensi mengganggu keamanan di dalam Rutan dan Lapas.

Hak Asasi Manusia pada Warga Binaan Pemasyarakatan

Kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi pada Lapas dan Rutan menjadi perhatian negara-negara di dunia karena banyaknya warga binaan pemasyarakatan yang berdekatan dalam Lapas dan Rutan dikhawatirkan akan memicu penyebaran virus Covid-19 yang lebih parah dan berujung pada pelanggaran hak asasi manusia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan bahwa kompleks penjara di seluruh dunia akan menyumbang “angka kematian yang sangat tinggi” akibat COVID-19 karena banyak dari kompleks penahanan kondisinya sangat padat.

Warga binaan pemasyarakatan (tahanan dan narapidana) merupakan individu yang sebagian haknya dibatasi khususnya hak mendapatkan kebebasan sebagai bentuk sanksi pidana bagi mereka. Namun, mereka tetap dapat memiliki hak-hak lainnya tanpa diskriminasi. Salah satu prinsip fundamental HAM adalah prinsip kesetaraan dan persamaan hak atau prinsip nondiskriminasi yang dijamin oleh negara dan menempel di semua dimensi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia. Setiap orang di dunia ini mempunyai HAM tidak terkecuali para tahanan dan narapidana. Pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan salah satu ciri dari negara hukum. Indonesia merupakan negara yang berlandaskan atas hukum sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat 3 UUD 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Narapidana yang sedang menjalani sanksi pidana di dalam Rutan atau Lapas tetap dilindungi hak asasinya sebagai manusia dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. Pelayanan dengan pendekatan penegakan HAM dalam pembinaan di Rutan dan Lapas menjadi sesuatu yang sangat penting karena negara berkewajiban melindungi dan menegakkan hak-hak asasi para tahanan dan narapidana.

Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan berisi tentang hak-hak narapidana, yaitu: melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; mendapatkan pendidikan dan pengajaran; mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; menyampaikan keluhan; mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; mendapatkan pembebasan bersyarat; mendapatkan cuti menjelang bebas; dan mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada saat terjadinya pandemi Covid-19 di Indonesia, tahanan dan narapidana adalah kelompok rentan terhadap penyebaran virus Covid-19 karena tinggal bersama-sama dalam institusi tertutup yang memiliki tingkat hunian tinggi dengan ventilasi yang kurang memadai. Terancamnya stabilitas kesehatan para tahanan dan narapidana membuat negara harus melindungi HAM mereka. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 4 menyatakan setiap orang berhak atas kesehatan dan Pasal 2 menyatakan bahwa pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.

Upaya Negara Melindungi Warga Binaan Pemasyarakatan dari Pandemi Covid-19

Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM RI , Yasonna H. Laoly mengambil kebijakan terkait layanan kesehatan pada penanganan Covid-19 di Rutan/Lapas[4], yaitu:

  1. Berkoordinasi dengan institusi lain, seperti Kementerian Kesehatan, Satgas Covid-19 Indonesia, Kepolisian dan Kejaksaan, Mahkamah Agung, WHO, UNODC, ICRC dan Lembaga Swadaya Masyarakat;
  2. Memperbaharui pedoman pelaksanaan pelayanan kesehatan di Rutan/Lapas secara berkala;
  3. Menyebarluaskan informasi tentang protokol kesehatan dan kebiasaan baru untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19;
  4. Mengintensifkan pelatihan di semua Rutan/Lapas menyesuaikan dengan kebiasaan baru atau new normal berlaku di Indonesia;
  5. Tidak ada tahanan baru yang diterima dari Kepolisian dan Kejaksaan;
  6. Kunjungan keluarga melalui virtual;
  7. Melaksanakan isolasi selama 14 hari bagi narapidana baru yang masih dalam proses persidangan;
  8. Memantau dan mengevaluasi upaya pencegahan dan penanganan pandemi Covid-19 di Lapas maupun Rutan di Indonesia.
  9. Membebaskan sejumlah narapidana dengan kriteria tertentu berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (No. 10/2020) tentang Ketentuan Pemberian Hak Asimilasi dan Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam rangka Pencegahan dan Pemberantasan Penyebaran Covid-19. Kebijakan tersebut diperbaharui dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 32 Tahun 2020.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menghimbau kepada seluruh jajaran Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan untuk melakukan empat langkah penyebaran Covid-19 di Rutan/Lapas, yakni pencegahan, penanganan, pengendalian, dan pemulihan. Setiap petugas, tahanan, dan narapidana diingatkan untuk selalu menjalankan protokol kesehatan seperti cuci tangan dengan sabun, menggunakan masker, melakukan pemeriksaan kesehatan pada tahanan, narapidana, anak, dan petugas saat memasuki Rutan dan Lapas, menjaga jarak, pembersihan dan penyemprotan ruangan dengan desinfektan secara rutin dan berkoordinasi dengan dinas kesehatan dan fasilitas kesehatan setempat.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan berusaha menyediakan pelayanan kesehatan bagi tahanan dan narapidana dengan merujuk pada Nelson Mandela Rules dimana setiap tahanan dan narapidana dapat menikmati perawatan kesehatan yang sama seperti yang tersedia di masyarakat dan memiliki akses ke layanan perawatan kesehatan yang diperlukan tanpa biaya, tanpa diskriminasi berdasarkan status hukum mereka. Oleh karena itu, setiap Rutan dan Lapas disediakan blok atau sel khusus untuk isolasi para tahanan/ narapidana yang terinfeksi virus Covid-19 dan bekerjasama dengan rumah sakit setempat yang menjadi rujukan dalam penanganan virus COVID-19.

Nelson Mandela Rules adalah standar minimum perlakuan terhadap narapidana yang dikeluarkan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Standar minimum yang diatur mulai dari akomodasi, kebersihan, layanan kesehatan, hingga hal-hal teknis seperti pengaturan sistem manajemen Lapas.

Reformasi Hukuman Pidana

Upaya yang telah dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM untuk mencegah virus Covid-19 masuk ke Rutan dan Lapas tidak berjalan sesuai dengan harapan karena kebijakan yang dibuat tidak mungkin mencegah adanya interaksi antara petugas, tahanan, dan narapidana dengan masyarakat.

Data terbaru Februari 2021, sebanyak 4.343 narapidana termasuk anak-anak telah terinfeksi, 374 masih menjalani perawatan isolasi dan 3.948 telah pulih. Kemudian sebanyak 21 narapidana meninggal. Sebanyak 1.872 Petugas Pemasyarakatan terjangkit, 380 orang masih menjalani perawatan isolasi dan 1.471 sudah sembuh. Lalu sebanyak 21 petugas meninggal.[5]

Pandemi Covid-19 telah membuka mata setiap orang bahwa Kepadatan tingkat hunian Rutan dan Lapas yang tinggi adalah hal yang mesti dipertimbangkan. Tanpa adanya pandemi Covid-19, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tahanan dan narapidana yang dicantumkan dalam Nelson Mandela Rules pun sulit terlaksana akibat kelebihan penghuni.

Jika selama ini pidana berakhir pada penempatan pelanggar hukum dalam sebuah fasilitas negara untuk menjalankan keputusan pengadilan adalah satu-satunya jalan bagi rehabilitasi pelaku, maka diperlukan  reformasi hukuman pidana sebagai strategi untuk mengurangi tingkat kepadatan penghuni Lapas dan Rutan.

Reformasi hukuman pidana tidak bisa dijalankan sendiri oleh Kementerian Hukum dan HAM RI, melainkan membutuhkan dukungan dari seluruh pihak, seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan RI, Kepolisian RI, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Kesehatan (Kemkes), Kementerian Sosial (Kemsos), Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Kesimpulan

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan perhatian yang besar dalam penjaminan hak asasi manusia para tahanan dan narapidana dengan membuat beberapa kebijakan selama pandemi Covid-19. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menghimbau kepada setiap Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan menerapkan empat langkah antisipasi penyebaran Covid-19 di Rutan dan Lapas, yakni pencegahan, penanganan, pengendalian, dan pemulihan. Setiap petugas, tahanan, dan narapidana diingatkan untuk selalu menjalankan protokol kesehatan.

Selain itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan membebaskan sejumlah narapidana yang memenuhi beberapa kriteria berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (No. 10/2020) tentang Ketentuan Pemberian Hak Asimilasi dan Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam rangka Pencegahan dan Pemberantasan Penyebaran Covid-19. Kebijakan tersebut diperbaharui dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 32 Tahun 2020.

Kebijakan yang telah dibuat tidak dapat menghindari penyebaran virus Covid-19 di Lapas dan Rutan karena interaksi antara tahanan, narapidana, petugas Lapas dan Rutan dengan masyarakat tidak dapat dihentikan. Tingkat kepadatan hunian yang tinggi mempermudah penyebaran virus Covid-19, maka pemerintah perlu bekerja sama dengan semua pihak mulai dari penegak hukum, dinas kesehatan, dinas sosial, hingga keluarga tahanan dan narapidana untuk mewujudkan perlindungan hak asasi manusia bagi tahanan dan narapidana.

Saran

Langkah-langkah yang bisa menjadi bahan pertimbangan dalam mengurangi kepadatan tingkat penghuni Rutan dan Lapas mencakup:

  1. Hadirnya kebijakan-kebijakan alternatif hukuman tanpa penjara seperti pengawasan dan pengabdian masyarakat sebagai restorative Konsep restorative justice merupakan suatu pendekatan yang menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi para pelaku tindak pidana dan korban.
  2. Narapidana yang melakukan pelanggaran tindak pidana ringan dapat ditempatkan di dinas sosial untuk pembinaan dan rehabilitasi. Keluarga bisa turut serta mengawasi dan membina di tempat tinggalnya dengan menjalankan wajib lapor kepada aparat penegak hukum.
  3. Reformasi kebijakan narkotika dengan menggunakan pendekatan kesehatan dimana pecandu narkotika mendapatkan rehabilitasi medis bukan menjalani pembinaan di Lapas atau Rutan.
  4. Pemberian grasi dan amnesti untuk beberapa tindak pidana resiko rendah dan para narapidana dan tahanan yang termasuk kelompok rentan, seperti ibu hamil, orang lanjut usia, dan anak.

 

Catatan Akhir:

[1]https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/upaya-dan-kebijakan-pemerintah-indonesia-menangani-pandemi-covid-19.

[2] http://www.ditjenpas.go.id/menyoal-over-kapasitas-penjara-di-tengah-tengah-pandemi-covid-19 pada 25 Maret 2021

[3] https://theconversation.com/mencegah-penyebaran-covid-19-di-penjara-tidak-cukup-hanya-dengan-membebaskan-narapidana-135820

[4] https://kemenkumham.go.id/publikasi/siaran-pers/pertemuan-virtual-unodc-menkumham-bagikan-pengalaman-kebijakan-tekan-penyebaran-covid-19-lapas-rutan-di-indonesia pada 28 Maret 2021.

[5] https://kemenkumham.go.id/publikasi/siaran-pers/pertemuan-virtual-unodc-menkumham-bagikan-pengalaman-kebijakan-tekan-penyebaran-covid-19-lapas-rutan-di-indonesia pada 28 Maret 2021.

 

Daftar Pustaka

Irsal. (2020). “Menyoal” Over Kapasitas Penjara di Tengah-Tengah Pandemi Covid-19. Diakses dari http://www.ditjenpas.go.id/menyoal-over-kapasitas-penjara-di-tengah-tengah-pandemi-covid-19 pada 25 Maret 2021.

Kemenkumham RI. Pertemuan Virtual UNODC, Menkumham Bagikan Pengalaman Kebijakan Tekan Penyebaran Covid-19 LapAs-Rutan di Indonesia. Diakses dari https://kemenkumham.go.id/publikasi/siaran-pers/pertemuan-virtual-unodc-menkumham-bagikan-pengalaman-kebijakan-tekan-penyebaran-covid-19-lapas-rutan-di-indonesia pada 28 Maret 2021.

Komnas HAM RI. (2020). Tata Kelola Penanggulangan Covid-19 dalam Perspektif HAM. Diakses dari https://www.komnasham.go.id/index.php/publikasi/2020/10/12/109/tata-kelola-penanggulangan-covid-19-dalam-perspektif-ham.html pada tanggal 25 Maret 2021.

Kompaspedia. (2020). Upaya dan Kebijakan Pemerintah Indonesia Menangani Pandemi Covid-19. Diakses dari https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/upaya-dan-kebijakan-pemerintah-indonesia-menangani-pandemi-covid-19.

Sudaryono, Leopold (2020). Mencegah penyebaran COVID-19 di penjara tidak cukup hanya dengan membebaskan narapidana. Diakses dari https://theconversation.com/mencegah-penyebaran-covid-19-di-penjara-tidak-cukup-hanya-dengan-membebaskan-narapidana-135820

The United Nation Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoner. Diakses dari https://www.unodc.org/documents/justice-and-prison-reform/Nelson_Mandela_Rules-E-ebook.pdf pada tanggal 25 Maret 2021.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

[1]https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/upaya-dan-kebijakan-pemerintah-indonesia-menangani-pandemi-covid-19.

[2] http://www.ditjenpas.go.id/menyoal-over-kapasitas-penjara-di-tengah-tengah-pandemi-covid-19 pada 25 Maret 2021.

[3] https://theconversation.com/mencegah-penyebaran-covid-19-di-penjara-tidak-cukup-hanya-dengan-membebaskan-narapidana-135820.

[4] https://kemenkumham.go.id/publikasi/siaran-pers/pertemuan-virtual-unodc-menkumham-bagikan-pengalaman-kebijakan-tekan-penyebaran-covid-19-lapas-rutan-di-indonesia pada 28 Maret 2021.

[5] https://kemenkumham.go.id/publikasi/siaran-pers/pertemuan-virtual-unodc-menkumham-bagikan-pengalaman-kebijakan-tekan-penyebaran-covid-19-lapas-rutan-di-indonesia pada 28 Maret 2021.

Aktualisasi Peran Petugas Pemasyarakatan di Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang dalam Meminimalisir Risiko Covid-19

Oleh:

Fiki Riwu Kore Manafe

(Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kupang)

 

Pendahuluan

Negara Indonesia adalah negara hukum dan negara kesatuan yang berbentuk Republik.[1] Hal ini bermakna bahwa potensi yang ada disatukan untuk suatu urusan bersama (Res Publica) dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan pengaturan hukum negara.

Kehadiran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah dinyatakan oleh World Health Organization (WHO) sebagai pandemik global, mengafirmasikan bahwa pengaturan dalam penyelenggaran pemerintahan negara harus mengoptimalkan setiap  potensi negara, termasuk lembaga negara dan komponennya untuk berorientasi pada peran kemanusiaan, diwujudkan dalam upaya memimalisir risiko Covid-19 yang telah ditetapkan sebagai bencana nasional non alam berupa wabah penyakit yang wajib dilakukan upaya penanggulangannya.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia  merupakan lembaga negara yang merepresentasikan peran kemanusiaan identik dengan “Pengayoman” yakni perlindungan terhadap seluruh rakyat Indonesia di bidang hukum dan hak asasi manusia (HAM). Terwujudnya perlindungan terhadap HAM diantaranya melalui pengaturan keamanan dan ketertiban di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) agar setiap orang yang melakukan aktivitas di dalamnya pada masa pandemi Covid-19 dapat tetap menikmati hidup sejahtera lahir dan batin, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.[2]

Pengaturan tentang keamanan dan ketertiban di dalam Lapas termuat dalam BAB V Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, bahwa setiap tahanan dan warga binaan pemasyarakatan (WBP) harus mematuhi seluruh tata tertib yang ada, dan seluruh petugas Lapas bertanggung jawab atas penyelenggaraan keamanan dan ketertiban. Penyelenggaraannya secara khusus di atur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lapas dan Rumah Tahanan Negara. Pengaturan keamanan dan ketertiban di Lapas bagian dari prioritas karena merupakan faktor penting untuk mendukung segala kegiatan yang ada di Lapas.

Adanya pandemi Covid-19 menghendaki perluasan perspektif keamanan dan ketertiban di Lapas untuk berorientasi pada HAM yang ditujukan bagi keselamatan seluruh aktivis Lapas, baik itu tahanan, WBP, pengunjung maupun petugas. Hal ini merupakan urgensi kemanusiaan didasarkan pada pertimbangan bahwa Lapas sebagai institusi tertutup, memiliki tingkat hunian tinggi yang dengan mudah terdampak wabah Covid-19.

Orientasi terhadap keselamatan seluruh aktivis di Lapas merupakan bentuk penghormatan terhadap martabat manusia bagian dari konsepsi HAM yang direfleksikan dari ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.[3]

Bertolak dari konsepsi HAM tersebut, maka artikel ini bertujuan untuk menampilkan berbagai aktualisasi peran petugas pemasyaratan di Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang dalam menimalisir risiko Covid-19.

Pembahasan

Petugas pemasyarakatan di Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang berperan dalam meminimalisir risiko Covid-19 dengan melakukan berbagai tindakan yang didasarkan pada protokoler kesehatan, diantaranya menyediakan wadah cuci tangan dan bilik disinfektan di lingkungan Lapas, wajib menggunakan masker dan mengukur suhu tubuh untuk petugas maupun pengunjung serta secara rutin menginisiasi WBP untuk menjemur tubuh pada pagi hari, melayani kunjungan online, penyemprotan disinfektan, Rapid Test bagi tahanan dan WBP baru, serta Swab Test bagi seluruh petugas Lapas. Upaya yang dilakukan secara tertib sebagai wujud tindakan preventif mengamankan dan meminimalisir Covid-19 mulai dari lingkungan internal Lapas. Uraiannya sebagai berikut:

1) Menyediakan Wadah Cuci Tangan dan Bilik Disinfektan di Lingkungan Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang serta Proaktif Memberikan Informasi tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Penyediaan wadah cuci tangan ditempatkan pada beberapa titik di lingkungan Lapas, yakni di halaman depan Lapas dan di area steril. Gambaran situasi ditampilkan pada gambar berikut:

Sumber :  Dokumentasi di Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang, 2020

Penyediaan fasilitas wadah cuci tangan dan bilik disinfektan merupakan upaya mengamankan dan melindungi penghuni Lapas dari risiko Covid-19. Fasilitas tersebut mudah diakses dan merupakan kewajiban pihak Lapas dan dijalankan oleh petugas sebagai penanggung jawab.

Bilik desinfektan ditempatkan di depan gerbang, dianggap perlu untuk membersihkan permukaan tubuh atau pakaian dan meminimalkan risiko masuknya virus ke dalam tubuh dan setiap aktivis di Lapas wajib mencuci tangan dengan sabun/cairan antiseptik pada air yang mengalir sebelum dan sesudah melakukan aktivitas. Selain itu, petugas secara terus menerus proaktif memberikan informasi tentang perilaku hidup bersih dan sehat serta etika batuk/bersin yang benar kepada tahanan dan WBP. Selanjutnya menghindari kontak fisik secara langsung seperti bersalaman, pertahankan jarak fisik, hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir Covid-19 di lingkungan internal Lapas.

2) Wajib Menggunakan Masker dan Mengukur Suhu Tubuh

Petugas wajib menggunakan masker merupakan upaya meminimalisir Covid-19 dilingkungan Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang. Masker sebagai alat pengaman dan pelindung diri yang menutupi hidung, mulut hingga dagu. Selain itu, petugas maupun pengunjung (rohaniawan dan petugas Kementerian Agama) diwajibkan mengukur suhu tubuh rutin sebelum masuk ke dalam Lapas. Pengukuran suhu tubuh merupakan bentuk pemantauan kondisi kesehatan berupa gejala deman, batuk pilek, nyeri tenggorokan dan/atau sesak napas. Gambaran pelaksanaan ditampilkan pada gambar berikut:

Sumber :  Dokumentasi di Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang, 2020

Pemeriksaan suhu tubuh (≥38°C).[4] Apabila suhu tubuh ≥38°C maka baik petugas maupun pengunjung tidak diperkenankan masuk ke dalam Lapas. Petugas Lapas secara berjenjang menghimbau kepada sesama petugas Lapas untuk tidak memasuki lingkungan Lapas apabila tidak menggunakan masker dan suhu ≥38°C. Oleh karena itu, petugas Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang secara proaktif menggunakan masker dan mengontrol suhu tubuh secara mandiri, bagian dari upaya meminimalisir risiko Covid-19.

3) Petugas Menginisiasi Pengawasan Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan Untuk Menjemur Tubuh Pada Pagi Hari

Petugas berperan menginisisasi pengawasan terhadap WBP untuk menjemur tubuh secara rutin di pagi hari selama 10 menit, mulai Pukul 09:30-09:40 Wita bertempat di area terbuka Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang.

Menjemur tubuh secara rutin di pagi hari merupakan langkah preventif meminimalisir risiko Covid-19 di lingkungan internal Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang. Menjemur mampu meningkatkan produksi vitamin D3 yang berfungsi untuk meningkatkan kekebalan tubuh dalam melawan mikroorganisme penyebab penyakit salah satunya virus Corona penyebab Covid-19. Selain itu, menjemur tubuh khususnya area kulit wajah, punggung, kedua tangan, bahu atau punggung belakang, beberapa area lengan dan kaki merupakan permukaan kulit yang efektif terpapar sinar matahari dalam meningkatkan respon sel darah putih dalam mencegah Covid-19.

Pengawasan petugas mengikuti gejala sains bahwa pada kisaran 09:30-10:00 Wita, Ultra Violet (UV) indeks Indonesia atau tingkat intensitas radiasi UVB berada dalam kategori rendah (<3)  sehingga manfaat berjemur akan optimal sekaligus meminimalisir risiko kulit terbakar.

4) Petugas Melayani Kunjungan Online dari Keluarga Warga Binaan Pemasyarakatan Melalui Media WhatsApp Video Call

Petugas berperan melayani kunjungan dari keluarga WBP melalui media online yaitu WhatsApp Video Call. Hal ini dilakukan untuk menimalisir kontak antara petugas dengan keluarga dari WBP, demikian halnya meminalisir kontak antara WBP dengan keluarganya. Kondisi ini dilakukan untuk menertibkan diri dan menjaga keamanan Lapas, mengingat virus Corona menyebar melalui kontak manusia yakni melalui droplet (partikel air liur). Pengunjung yang diizinkan masuk hanyalah rohaniawan, petugas pembina rohani dari Kementerian Agama, penasehat hukum tahanan, kepolisian, kejaksaan dan petugas dari Lapas/Rutan yang mengantarkan perpindahan WBP.

5) Penyemprotan Disinfektan di Lingkungan Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang

Penyemprotan disinfektan dilakukan oleh petugas pemasyarakatan di Lingkungan Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang.

Penyemprotan disinfektan dilakukan di seluruh area Lapas bentuk dari tertib terhadap protokol kesehatan untuk menunjang keamanan Lapas. Penyemprotan dilakukan mulai dari halaman depan, area steril, area blok dan kamar hunian. Penyemprotan dilakukan sebagai optimalisasi menjaga kebersihan diri dan lingkungan selain mencuci tangan dan penggunaan hand sanitaizer meminimalisir risiko Covid-19.

6) Petugas Melakukan Rapid Test dan Isolasi Mandiri pada Penerimaan Tahanan dan Warga Binaan Baru

Penerimaan tahanan dan WBP baru mengikuti protokol kesehatan, dimulai dengan mencuci tangan, pemerikasaan suhu tubuh, sterilisasi barang bawaan melalui penyemprotan disinfektan, pengukuran tekanan darah dan selanjutnya dilakukan Rapid Test oleh Petugas Perawat Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang. Apabila hasil tes positif maka dilakukan karantina mandiri selama 14 hari dan isolasi pada ruang khusus bagi tahanan dan WBP. Petugas yang bekerja di area karantina harus mengenakan masker N95 sebagai bagian dari Alat Pelindung Diri. Kegiatan selanjutnya adalah pengujian sampel urine untuk pengecekan kehamilan dari tahanan dan WBP baru. Kegiatannya ditampilkan pada gambar berikut:

 

Pemeriksaan secara tertib mengikuti protokol kesehatan, dimaksudkan untuk memastikan bahwa tahanan dan WBP dalam kondisi sehat. Selain itu, dilakukan untuk mengamankan dan meminimalisir risiko Covid-19 di Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang.

7) Swab Test Bagi Seluruh Petugas Lapas

Pelaksanaan Swab Test mengikuti arahan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI yang terealisasi atas kerja sama dengan pihak Laboratorium Klinik Prodia.

Terdapat 61 orang Pegawai yang mengikuti Swab Test, termasuk di dalamnya Kepala Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang. Kegiatan Swab Test dilakukan dalam rangka mendukung upaya dan kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 di Kementerian Hukum dan HAM Nusa Tenggara Timur, terkhususnya sebagai upaya pencegahan penyebaran Virus Covid-19 dimulai dari lingkungan internal Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIB Kupang.

 

Bertolak dari berbagai aktualisasi peran petugas pemasyarakatan di Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang dalam meminimalisir risiko Covid-19, memperlihatkan tindakan yang telah sejalan dengan teori peran, bahwa petugas menjalankan perannya secara ideal (ideal role), seharusnya (expected role), diri sendiri (peceived role) dan yang sebenarnya (actual role).[5] Secara struktural, petugas Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang mempunyai kedudukan dan peranan karena terikat hak dan kewajiban secara proporsional untuk meminimalisir risiko Covid-19. Hal ini bukan saja dilakukan petugas Lapas karena mengikuti perintah konstitusi dan peraturan tentang HAM, namun didasarkan pada panggilan moral yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bagian-bagian sebelumnya, maka disimpulkan bahwa petugas pemasyarakatan di Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang berperan dalam meminimalisir risiko Covid-19 dengan melakukan tindakan aktual yang didasarkan pada protokoler kesehatan, diantaranya menyediakan wadah cuci tangan dan bilik disinfektan di lingkungan Lapas, wajib menggunakan masker dan mengukur suhu tubuh untuk petugas maupun pengunjung serta secara rutin menginisiasi warga binaan pemasyarakatan untuk menjemur tubuh pada pagi hari, melayani kunjungan online, penyemprotan disinfektan, Rapid Test bagi tahanan dan WBP baru, serta Swab Test bagi seluruh petugas Lapas.

Saran

Adanya pandemi global Covid-19 menghendaki perluasan perspektif keamanan dan ketertiban di Lapas yang berorientasi pada kemanusiaan terkhususnya keselamatan seluruh aktivis di Lapas Perempuan Kelas IIB Kupang, baik itu tahanan, WBP, pengunjung maupun petugas. Hal ini dapat terwujud secara optimal apabila petugas pemasyarakatan secara konsisten berperan secara ideal (ideal role), seharusnya (expected role) dan lahir dari kesadaran diri sendiri (peceived role) untuk terus proaktif memberikan informasi promotif kepada seluruh aktivis di Lapas sesuai protokol kesehatan.

 

Catatan Kaki:

[1] Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat, Pasal 1 ayat (1) dan (3)

[2] Ibid, Pasal 28 H Ayat (1)

[3] Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

[4] Satuan Tugas Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19 Pemasyarakatan. Pedoman Pelaksanaan Layanan Kesehatan di UPT Pemasyarakatan, (Jakarta : Direktorat  Jendral Pemasyarakatan, 2020), hlm.10

[5] Edy Suhardono, Teori Peran (Konsep, Derivasi dan Implikasinya), (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 3

 

Daftar Pustaka

Satuan Tugas Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19 Pemasyarakatan. 2020. Pedoman Pelaksanaan Layanan Kesehatan di UPT Pemasyarakatan. Jakarta : Direktorat  Jendral Pemasyarakatan.

Suhardono, Edy. 1994. Teori Peran (Konsep, Derivasi dan Implikasinya). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Undang-Undang  Dasar Republik Indonesi Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesi Nomor 12. Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Undang-Undang Republik Indonesi Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesi Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.

Kebijakan dan Inovasi Keimigrasian di Masa Pandemi: Suatu Upaya Perlindungan HAM

Oleh:

Romel Krismanto Malensang

(Analis Keimigrasian Pertama – Kantor Imigrasi Kelas I TPI Manado)

Artikel ini membahas secara deskriptif upaya jajaran Direktorat Jenderal Imigrasi dalam memberikan perlindungan HAM di tengah pandemi Covid-19. Perspektif dan analisis HAM dielaborasi bersumber dari berbagai bentuk kebijakan dan inovasi yang dilakukan dalam kaitannya dengan kepentingan serta keselamatan publik. Secara umum, tentu saja banyak aspek global yang terlewatkan dan tidak spesifik seperti ekonomi, kebijakan politik, infrastruktur, sumber daya kesehatan, bahkan keseluruhan kebijakan serta inovasi keimigrasian itu sendiri. Karena tujuan penulisan artikel ini sederhana, yaitu sebagai deskripsi dan bahan evaluasi sehingga persoalan HAM tetap menjadi kearusutamaan dalam aspek keimigrasian. Terlebih menjadi salah satu sudut pandang dalam membaca kondisi multilayer Covid-19 di Indonesia.

Kondisi Global, Nasional dan Dikotomi Ekonomi vs HAM 

World Health Organization (WHO) menetapkan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai pandemi global pada tanggal 11 Maret 2020. Dimana hingga saat ini jumlah orang yang terinfeksi di seluruh dunia terus mengalami peningkatan. Data WHO per tanggal 08 Oktober 2021 menunjukan angka yang fantastis yakni sejumlah 236.599.025 orang yang terakumulasi positif tertular serta 4,831,486 orang meninggal dunia di tingkat global (WHO, 2021). Sementara itu di Indonesia, hingga tanggal 10 Oktober 2021, angka positif menyentuh 4.227.932 orang dan 142.651 orang meninggal dunia (Kemkes, 2021). Covid-19 telah menjelma menjadi krisis kesehatan berkepanjangan yang berdampak terhadap hak asasi manusia.

Negara-negara di berbagai belahan dunia membuat langkah-langkah khusus dalam mengatasi kedaruratan ini dengan level dan efektivitas yang berbeda-beda. Pemberlakuan kebijakan karantina, isolasi dan pembatasan sosial menjadi upaya-upaya dalam meminimalisir penyebaran Covid-19. Namun, disisi lain juga berdampak langsung dalam menciptakan krisis baru yakni krisis ekonomi yang ditandai dengan perlambatan bahkan resesi ekonomi (Inman, 2020). Pada kondisi ini tampaknya terdapat keraguan para pengambil kebijakan untuk menangani Covid-19, terlebih dengan adanya kesan untuk mempertentangkan antara penyelamatan stabilitas ekonomi atau penyelamatan hak hidup dan hak kesehatan sebagai hak asasi manusia.

Di Indonesia, perdebatan terkait dikotomi ekonomi dan hak asasi manusia dalam penanganan Covid-19 secara praktis coba dijembatani secara hati-hati dengan banyak pertimbangan. Kebijakan New Normal dijalankan secara ketat supaya menjadi jalan tengah atas persinggungan ini (Purwanto dan Emilia, 2020). Menurut Mei Susanto dan Teguh Puja Tresna Asmara (2020) pendikotomian ekonomi dan hak asasi manusia adalah tidak tepat bahkan menyesatkan, dikarenakan ekonomi juga merupakan hak asasi manusia yang mempunyai prinsip tidak dapat dibagi, saling bergantung, saling terkait, dan tidak dapat dicabut. Hak ekonomi maupun hak kesehatan menjadi dua hak yang paling terdampak dari Pandemi Covid-19 sehingga yang dibutuhkan adalah harmonisasi kebijakan bukan pendikotomian. Meski demikian dengan berpegang pada prinsip “salus populi suprema lex esto” keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi, maka kebijakan dalam rangka penyelamatan, pencegahan, maupun penyembuhan dari Covid-19 harus menjadi prioritas pertama. Prinsip yang sama juga diterapkan dalam setiap kebijakan yang diambil Direktorat Jenderal Imigrasi, tanpa mengesampingkan fungsinya sebagai fasilitator pembangunan.

Pembatasan Kunjungan Orang Asing: Suatu Langkah Penyelamatan

Sejak pelonjakan jumlah kasus positif Covid-19 di Kota Wuhan, China diawal tahun 2020 dan penyebarannya yang semakin tidak terkendali. Negara-negara di dunia termasuk Indonesia mulai menyadari bahwa perjalanan masuk dan keluar wilayah potensial bagi carrier Covid-19. Sehingga untuk mengontrol lalu lintas orang di perbatasan negara, Ditjen Imigrasi yang berada di bawah garis komando Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan sejumlah kebijakan regulatif. Pertama, menerbitkan Permenkumham Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Bebas Visa Kunjungan, Visa dan Pemberian Izin Tinggal dalam Keadaan Terpaksa bagi Warga Negara Rakyat Tiongkok. Ketentuan yang diatur adalah penghentian sementara pemberian bebas visa kunjungan dan visa yang diberikan kepada warga negara Tiongkok serta orang asing yang pernah tinggal dan/atau mengunjungi wilayah China dalam kurun waktu 14 hari sebelum masuk wilayah Indonesia. Pemberian kurun waktu 14 hari disesuaikan dengan ketentuan rentang masa inkubasi virus corona. Peraturan tersebut dikeluarkan tanggal 5 Februari 2020 dan berakhir tanggal 29 Februari 2020 (Kusumawardani, 2020).

Kedua, Menteri Hukum dan HAM juga mengeluarkan Permenkumham Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Visa dan Izin Tinggal dalam Upaya Pencegahan Masuknya Covid-19, ditetapkan tanggal 28 Februari 2020. Peraturan ini mengatur tentang penghentian Bebas Visa Kunjungan (BVK) dan Visa Kunjungan Saat Kedatangan (VKSK) bagi orang asing yang pernah tinggal dan/atau mengunjungi wilayah Republik Rakyat Tiongkok dalam kurun waktu 14 (empat belas) hari sebelum memasuki Indonesia.  Selain Permenkumham Nomor 7 Tahun 2020, Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) juga mengeluarkan kebijakan baru dalam mencegah penyebaran Covid-19 di Indonesia. Dalam konferensi pers di kantor Kemlu, Jakarta, hari Kamis tanggal 6 Maret 2020, Menlu Retno Marsudi mengungkapkan bahwa sesuai laporan terkini WHO, saat ini terdapat kenaikan signifikan kasus Covid-19 di luar RRT, terutama di tiga negara, yaitu Iran, Italia dan Korea Selatan. Menyikapi perkembangan ini, pemerintah mengambil kebijakan baru bagi WNA dari ketiga negara tersebut untuk sementara waktu. Pertama, larangan masuk dan transit ke Indonesia bagi WNA yang dalam 14 hari terakhir melakukan perjalanan di wilayah-wilayah tertentu, yakni Tehran, Qom, dan Gilan di Iran; Lombardi, Veneto, Emilia Romagna, Marche, dan Piedmont di Italia; serta Kota Daegu dan Provinsi Gyeongsangbuk-do di Korea Selatan. Kedua, bagi WNA dari Iran, Italia, dan Korea Selatan di luar wilayah tersebut, untuk dapat masuk ke Indonesia diperlukan surat keterangan sehat yang dikeluarkan oleh otoritas kesehatan yang berwenang di masing-masing negara (Akbar, 2020).

Ketiga, menerbitkan Permenkumham Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Bebas Visa Kunjungan dan Visa Kunjungan Saat Kedatangan serta Pemberian Izin Tinggal Keadaan Terpaksa, ditetapkan tanggal 18 Maret 2020. Peraturan ini diterbitkan sebagai kepastian hukum bagi Orang Asing yang terdampak kebijakan lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan suatu negara akibat menyebarnya wabah Covid-19. Peraturan ini menetapkan penghentian sementara Kunjungan pemberian Bebas Visa kepada Orang Asing Penerima Bebas Visa Kunjungan, yaitu 169 negara yang tercantum dalam bab lampiran di Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Bebas Visa Kunjungan. Bersamaan dengan terbitnya peraturan tersebut pemerintah juga menghimbau dengan sangat kepada agar warga negara Indonesia (WNI) agar membatasi bepergian ke luar negeri kecuali untuk kepentingan yang sangat mendesak dan tidak dapat ditunda (Setkab, 2020).

Keempat, menerbitkan Permenkumham Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pelarangan Sementara Orang Asing Masuk Wilayah Republik Indonesia yang berlaku sejak 2 April 2020. Melalui peraturan ini maka Permenkumham 7 dan 8 tahun 2020 dicabut. Meskipun pelarangan sementara terhadap masuknya orang asing masih tetap berlaku, namun terdapat pengecualian bagi WNA yang memenuhi kriteria berikut:

  1. Orang Asing yang telah memiliki Izin Tinggal Terbatas dan Izin Tinggal Tetap yang berlaku;
  2. Orang Asing pemegang Visa Diplomatik dan Visa Dinas;
  3. Orang Asing pemegang Izin Tinggal Diplomatik dan Izin Tinggal Dinas;
  4. Tenaga bantuan dan dukungan medis, pangan, dan alasan kemanusiaan;
  5. Awak alat angkut;
  6. Orang Asing yang akan bekerja pada proyek strategis nasional.

Kelima, seiring dengan kampanye pemerintah terhadap frasa New Normal yang kemudian dinarasikan menjadi “Adaptasi Kebiasaan Baru”. Terbit pula Permenkumham Nomor 26 Tahun 2020 tentang Visa dan Izin Tinggal Keimigrasian dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru yang diundangkan pada tanggal 1 Oktober 2020. Direktur Lalu Lintas Keimigrasian Ditjen Imigrasi, Cucu Koswala mewakili Direktur Izin Tinggal Keimigrasian mengatakan, penerbitan aturan terbaru dilatar belakangi oleh adanya Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Melalui aturan tersebut, Pemerintah RI menghendaki pelaksanaan penanganan Covid-19 di Indonesia harus berjalan beriringan dengan upaya pemulihan ekonomi nasional (Widyanto, 2020).

Terakhir, saat artikel ini ditulis, berlaku Permenkumham Nomor 34 Tahun 2021 tentang Pemberian Visa dan Izin Tinggal Keimigrasian dalam Masa Penanganan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, setelah sebelumnya sempat dilakukan kembali pembatasan masuk bagi orang asing selama masa PPKM darurat akibatnya melonjaknya jumlah positif Covid-19 di tanah air. Penerapan kebijakan pembatasan kunjungan orang asing serta izin tinggalnya senantiasa mengikuti edaran dari Satgas Covid-19. Peraturan-peraturan terkait lalu lintas orang asing selama pandemi selengkapnya diupdate secara berkala pada laman https://www.imigrasi.go.id/covid19.

Rentetan kebijakan diatas menunjukkan bahwa pemerintah tetap berkomitmen dalam memberikan perlindungan HAM baik bagi WNI maupun kepada WNA. Terhadap WNI, bahwa hingga 27 Desember 2020, pemerintah telah memulangkan lebih dari 20.000 orang dan sekitar 26.000 anak buah kapal (ABK) berkebangsaan Indonesia yang terjebak di luar negeri karena berbagai aturan pembatasan dan berpergian akibat pandemi Covid-19 (Santoso, 2020). Tentu saja sebelum masuk ke wilayah Indonesia, diberlakukan isolasi secara ketat bagi mereka. Ketentuan protokol kesehatan yang harus diikuti diatur dan diawasi oleh Kementerian Kesehatan dan Satgas Covid-19. Esensinya, pemerintah berpegang pada ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011, bahwa: “Setiap warga negara Indonesia tidak dapat ditolak masuk Wilayah Indonesia”. Ketentuan tersebut sesuai dengan prinsip HAM yang menyatakan bahwa seorang warga negara tidak boleh dilarang masuk ke negaranya sendiri. Adapun sebaliknya, bagi WNA yang berada di wilayah Indonesia selama masa pandemi Covid-19 dan tidak bisa kembali ke negaranya karena lockdown atau tiadanya penerbangan; Ditjen Imigrasi mengeluarkan kebijakan berupa pemberian izin tinggal keadaan terpaksa tanpa harus mengajukan perpanjangan izin tinggal yang bersangkutan di kantor imigrasi. Izin tinggal tersebut yang dikenal dengan istilah Emergency Stay Permit atau Izin Tinggal Darurat.

Inovasi Imigrasi di Tengah Pandemi

Untuk merespon perubahan perilaku masyarakat akibat pembatasan fisik dan pembatasan sosial, pemerintah dituntut untuk melakukan migrasi birokrasi dan pelayanan publik. Dari yang berbasis luring ke saluran berbasis daring. Penyelenggara negara diharapkan menerapkan pola yang lebih adaptif dan menekankan pada sistem digital (Kementerian PANRB, 2020). Secara khusus di Ditjen Imigrasi, telah sejak lama mengadopsi Transformasi Digital pada berbagai layanan publiknya. Sistem Manajemen Informasi Keimigrasian (SIMKIM) adalah induk kesisteman dari berbagai sistem-sistem yang ada di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi dengan tujuan untuk mencapai optimalisasi kinerja keimigrasian yang efektif, efisien, dan terintegrasi secara menyeluruh dengan unit fungsi keimigrasian baik di dalam negeri maupun luar negeri (Harfianto dan Obara, 2019). Hampir seluruh perangkat lunak penunjang layanan keimigrasian terkoneksi secara terpusat oleh SIMKIM.

Salah satu inovasi yang terbaru di era pandemi misalnya Aplikasi Permohonan Visa Online atau Visa Elektronik (e-Visa). Melalui aplikasi e-Visa, Orang Asing yang berniat masuk ke Indonesia kini hanya perlu mengajukan permohonan visa dan mengisi data secara daring melalui situs https://visa-online.imigrasi.go.id/ melalui browser, baik pada perangkat desktop maupun mobile. Prosedur yang sederhana dan sangat mudah untuk diikuti, sehingga pengguna layanan merasa aman dan nyaman. Tampilan website yang sederhana, serta mendukung Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris mempermudah navigasi aplikasi tersebut, baik bagi penjamin Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Entitas Asing. Bahkan, disediakan pula menu yang memberikan informasi kepada pemohon, terkait ketersediaan Kuota Visa pada hari dimana pemohon layanan mengakses aplikasi tersebut (Bahri, 2020). Tersedianya layanan ini membuat mobilitas menjadi terbatas dan mengurangi resiko penularan COVID-19 akibat kontak langsung.

Khusus bagi WNI, inovasi lainnya yang diluncurkan Ditjen Imigrasi di masa pandemi yakni pelayanan paspor secara kolektif. Program ini diberi nama “Eazy Passport”. Dengan menggunakan layanan Eazy Passport, pemohon dapat mengajukan permohonan paspor tanpa perlu mendatangi kantor imigrasi. Petugas yang akan datang langsung ke lokasi pemohon. Selanjutnya seluruh proses permohonan paspor mulai dari penyerahan dan pemeriksaan berkas persyaratan, wawancara, serta pengambilan data biometrik berupa foto dan sidik jari dilakukan di lokasi kegiatan. Paspor yang sudah jadi nantinya bisa diambil secara perwakilan atau bisa juga dikirim ke rumah melalui jasa PT Pos Indonesia. Program ini menyasar komunitas besar seperti pegawai di perkantoran pemerintah/TNI/Polri/BUMN/BUMD/swasta, warga perumahan, dan komunitas atau organisasi dengan syarat minimal pemohon sebanyak 50 orang. Dalam pelaksanaannya, program pelayanan ini menerapkan protokol kesehatan yang ketat demi mencegah penyebaran Covid-19.

Berbagai inovasi unggulan untuk meningkatkan kualitas pelayanan keimigrasian menjamur di semua kantor imigrasi. Kantor Imigrasi Kediri misalnya meluncurkan Halte Ramah HAM sebagai pengembangan layanan ramah HAM, Layanan Pengambilan Paspor secara Drive-Thru, dan Cek Status Paspor melalui Whatsapp Gateway. Kantor Imigrasi Kelas I Non TPI Tanggerang meluncurkan 12 inovasi pelayanan publik yaitu Lentera (Layanan Terpadu Permohonan Paspor), WhatsApp Gateway, Si ROSI (Layanan Satu Hari Seksi Teknologi Informasi dan Komunikasi Keimigrasian), Gesit (Gerai Paspor Mall TangCity), Si Pintar (Mesin Antrian Pengambilan Paspor), Jebol (Jemput Bola), Bima (Mobil Informasi Keimigrasian), Immigrasi Corner, i-Tone (Immigration Tangerang on Emmergency Call), Podcast Bintang (Bincang Imigrasi Tangerang), Digits (Digital Immigration Tangerang Services), dan SiTaNos (Immigration Tangerang On Line Service). Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Batam meluncurkan 3 inovasi layanan yaitu Pelayanan Imigrasi On Emergency (PIONEER), Imigrasi Antar Paspor Prioritas (SIAPP) dan Berkas Lengkap Langsung BAP (BALAP).

Di luar pulau Jawa ada Kantor Imigrasi Kelas I TPI Manado tempat penulis bertugas yang juga tidak ketinggalan untuk berinovasi. Dengan mengusung layanan KUKIS (Kemudahan Untuk masyaraKat melaluI inovaSi), dikembangkan 9 inovasi layanan keimigrasian bagi WNI dan WNA serta 2 inovasi berbasis teknologi informasi dalam bentuk aplikasi guna mendukung proses administrasi pelaksanaan tugas. Masih banyak lagi inovasi-inovasi layanan yang diluncurkan pada setiap kantor imigrasi. Inovasi yang ada disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah masing-masing. Kemudian bermuara pada upaya pemenuhan hak masyarakat untuk menerima layanan keimigrasian yang berkualitas meskipun pada masa krisis pandemi.

Dalam lingkup internal, jaminan perlindungan kesehatan terhadap pegawai imigrasi yang melaksanakan tugas keimigrasian tetap diutamakan. Kebijakan refocusing dan realokasi anggaran diberlakukan untuk mendukung pelaksanaan pengadaan vaksin dan program vaksinasi nasional terutama kepada jajaran insan imigrasi. Prioritas anggaran menyasar program-program penanganan pandemi Covid-19 seperti pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi petugas imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI), petugas intelijen dan penindakan keimigrasian, pelayanan izin tinggal, pelayanan paspor dan pos-pos layanan keimigrasian lainnya. Sistem work from home serta digitalisasi administrasi kepegawaian juga diberlakukan guna menghindari berkumpulnya pegawai dalam jumlah banyak pada tempat yang sama. Meski demikian, untuk memastikan kinerja, sistem work from home harus memiliki target kinerja yang terukur dengan jelas. Apa target yang harus dicapai tiap hari hingga tiap tahun merupakan indikator yang digunakan untuk menilai kinerja seorang pegawai (Apriliyanti dan Pramusinto, 2020).

Sejalan dengan pendapat Shiller (2010) dalam artikelnya “Crisis and Innovation” yang menggambarkan bahwa krisis dapat menjadi peluang bagi inovasi atau sebaliknya, mengakibatkan kemunduran ketika inovasi tersebut tertunda. Sekiranya yang perlu diwaspadai adalah keberlanjutan dari inovasi-inovasi tersebut. Munculnya inovasi-inovasi ini jangan sampai hanya bersifat reaktif (beroperasi dalam “emergency mode”) namun harus konsisten. Segala sumber daya harus dipersiapkan untuk keberlanjutan program dan inovasi. Perubahan yang ada harus menunjukkan karakteristik ketangkasan (agility) dan adaptif serta konsistensi pengambil kebijakan. Komitmen ini yang dapat membuat hak-hak masyarakat terhadap layanan yang berkualitas tetap berlangsung bahkan ketika pandemi usai.

Kesimpulan

Kendatipun secara global wabah Covid-19 telah berakibat secara buruk bagi kesehatan masyarakat dan ekonomi secara nasional, respon kebijakan pemerintah dalam aspek keimigrasian sudah cukup memadai. Tantangan terbesar yang dihadapi untuk menyelamatkan sebanyak mungkin orang beserta hak-hak yang melekat pada dirinya (HAM) di tengah situasi pandemi difasilitasi melalui kebijakan dan inovasi-inovasi keimigrasian. Kebijakan pembatasan masuk keluar orang di wilayah Indonesia misalnya dapat berupa pelarangan perlintasan secara total pada suatu waktu namun dalam kondisi tertentu bersifat dinamis dengan pengecualian-pengecualian. Tujuannya agar perputaran roda ekonomi tidak mengalami krisis yang brutal. Sesuai dengan prinsip selectif policy yakni hanya orang asing yang bermanfaat dan berguna bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang diijinkan masuk wilayah Indonesia. Disaat yang bersamaan, jajaran imigrasi terus mengembangkan inovasi pelayanan agar kebutuhan masyarakat di bidang keimigrasian tetap terpenuhi dengan semestinya. Sebaliknya jaminan kesehatan terhadap pegawai juga tetap dilindungi dengan memberikan fasilitas dan metode kerja yang aman. Kontak fisik secara langsung diminimalisir dan mengembangkan metode kerja serta pelayanan berbasis digital. Harapannya, pandemi ini cepat berakhir dan menjadi pelajaran berharga bagi para perumus kebijakan untuk tetap mengedapankan HAM dalam membuat kebijakan-kebijakan keimigrasian di masa yang akan datang.

Daftar Pustaka

Akbar, Norvantry Bayu. 2020. “Menangkal Covid-19 di Pintu Masuk Negara”, Infopublik.id, 6 Maret. Sumber: https://infopublik.id/kategori/lawan-covid-19/440203/menangkal-covid-19-di-pintu-masuk-negara (diakses 5 April 2021).

Apriliyanti, Indri Dwi dan Agus Pramusinto. 2020. “Perubahan dalam Normal Baru: Meredefinisi Birokrasi di Masa Pandemi”, dalam New Normal: Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Akibat Covid-19, diedit oleh Wawan Mas’udi dan Poppy S. Winanti. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Bahri, Mohammad Thoriq. 2020. “Layanan Visa Online, Bentuk Inovasi di Tengah Pandemi”, Ditjen Imigrasi, 29 November. Sumber: https://www.imigrasi.go.id/berita/detail/layanan-visa-online,-bentuk-inovasi-di-tengah-pandemi (diakses 12 April 2021).

Harfianto, Hendy Dwi dan Putrima Obara. 2019. “Percepatan SIMKIM 2 di Kantor Imigrasi”, Bhumipura, Mei 2019. Sumber: https://majalah.imigrasi.go.id/2019/bhumipura02.pdf (diakses 20 April 2021).

Inman, Philip. 2020. “A Hundred years on, will there be another Great Depression?”, The Guardian, 21 Maret. Sumber: https://www.theguardian.com/business/2020/mar/21/100-years-on-another-great-depression-coronavirus-fiscal-response (diakses 31 Maret 2021)

Kementerian Kesehatan RI. 2021. “Situasi Covid-19”, Kemkes RI, 10 Oktober. Sumber:  https://www.kemkes.go.id/ (diakses 10 Oktober 2021).

Kementerian PANRB. 2020. “COVID-19 Membawa Transformasi Sistem Kerja Pemerintah”, KemenpanRB, 16 Juni. Sumber: https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/covid-19-membawa-transformasi-sistem-kerja-pemerintah (diakses 01 April 2021).

Kusumawardani, Desinta Wahyu. 2020. “Menjaga Pintu Gerbang Negara Melalui Pembatasan Kunjungan Warga Negara Asing Dalam Mencegah Penyebaran Covid-19, Jurnal HAM, Vol. 14, No. 3, hal: 517-538. Sumber: https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebijakan/article/view/1269 (diakses 02 April 2021).

Purwanto, Erwan Agus dan Ova Emilia. 2020. “New Normal Sebagai Jalan Tengah?: Kesehatan vs. Ekonomi dan Alternatif Kebijakan Dalam Pandemi COVID-19”, dalam New Normal: Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Akibat Covid-19, diedit oleh Wawan Mas’udi dan Poppy S. Winanti. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Santoso, Bangun. 2020. “Indonesia Pulangkan 20.000 lebih WNI selama Pandemi dari 62 Negara”, Suara.com, 29 Desember. Sumber: https://www.suara.com/news/2020/12/29/080012/indonesia-pulangkan-20000-lebih-wni-selama-pandemi-dari-62-negara? (diakses 01 April 2021).

Sekretariat Kabinet RI. 2020. “Berlaku 20 Maret Pukul 00.00 WIB, Inilah Sikap Pemerintah RI terhadap Perlintasan Orang dari dan ke Indonesia”, Setkab RI, 18 Maret. Sumber: https://setkab.go.id/berlaku-20-maret-pukul-00-00-wib-inilah-sikap-pemerintah-ri-terhadap-perlintasan-orang-dari-dan-ke-indonesia/ (diakses 15 April 2021)

Susanto, Mei dan Teguh Tresna Puja Asmara. 2020. “Ekonomi Versus Hak Asasi Manusia Dalam Penanganan Covid-19: Dikotomi Atau Harmonisasi, Jurnal HAM, Vol. 11, No. 2, hal: 301-317. Sumber: https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/ham/article/view/1211 (diakses 31 Maret 2021)

Widyanto, Guntur. 2020. “Penyesuaian Pemberian Izin Tinggal WNA di Masa Adaptasi Kebiasaan Baru”, Kompasiana, 10 November. Sumber: https://www.kompasiana.com/gunturwdynto/5faa9c14d541df48af2725f2/penyesuaian-pemberian-izin-tinggal-wna-di-masa-adaptasi-kebiasaan-baru?page=all (diakses 15 April 2021).

World  Health Organization. 2021. “WHO Coronavirus (COVID-19) Dashboard”, WHO, 08 Oktober. Sumber: https://covid19.who.int/ (diakses 10 Oktober 2021).

 

Asimilasi: Pemenuhan Hak Asasi Manusia di Masa Pandemi Covid-19

Oleh:

Achmad Fauzi, A.Md.IP., S.H., M.H

(Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kep. Bangka Belitung)

 

Pendahuluan

World Health Organization telah menetapkan Covid-19 sebagai pandemi pada tanggal 11 Maret 2020[1], artinya Covid-19 telah menyebar ke seluruh dunia. Sedangkan, Pemerintah Indonesia juga menetapkan wabah Covid-19 sebagai bencana nasional pada tanggal 14 Maret 2020. Penularan Covid-19 terjadi melalui droplet yang mengandung virus SARS-CoV-2 yang masuk ke dalam tubuh melalui hidung, mulut dan mata, untuk itu pencegahan penularan Covid-19 pada individu salah satunya dilakukan menjaga jarak minimal 1 (satu) meter dengan orang lain untuk menghindari terkena droplet dari orang yang batuk atau bersin. Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko penularan Covid-19 yaitu ruang tertutup, kontak erat, tempat ramai, durasi dan keragaman kontak. Probabilitas penularan virus semakin meningkat apabila seluruh faktor saling tumpang tindih dan terjadi bersamaan. Demikian juga, kondisi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai tempat menjalani pidana bagi terpidana yang telah dijatuhkan hukuman dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) sebagai tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan saat ini telah mengalami overcrowded dari kapasitas yang ada. Saat ini narapidana dan anak pada Lapas, Rutan, dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) seluruh Indonesia berjumlah 239.340 orang dengan kapasitas penghuni sebanyak 135.704 orang[2], artinya terdapat kelebihan penghuni dari kapasitas yang ada sebanyak 76 %.

Dengan adanya kelebihan kapasitas tersebut, bukan tidak mungkin menjaga jarak minimal 1 (satu) meter tidak dapat terjaga. Meskipun tahanan, narapidana, dan anak berada di dalam Rutan, Lapas, dan LPKA, akan tetapi keluar masuknya pegawai dan penerimaan tahanan baru menjadi risiko tersendiri. Salah satu Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa tujuan Pemerintah Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, maka dari itu negara pun melindungi narapidana dan anak dari pandemi Covid-19 yang bisa mengancam nyawa dan kesehatan dikarenakan fasilitas kesehatan dan alat pelindung diri di Rutan, Lapas, dan LPKA belum memadai dalam penanganan Covid-19.

Mengacu hal tersebut, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 30 Maret 2020 mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Kemudian, tanggal 22 Desember 2020 telah diundangkannya Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat bagi Narapidana dan Anak dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 yang selanjutnya diubah menjadi Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 24 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat bagi Narapidana dan Anak dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 . Kebijakan ini pun sebagai upaya pemerintah melakukan upaya penyelamatan terhadap narapidana, dan anak  yang berada di Lapas, Rutan, dan LPKA dari wabah Covid-19. Lantas, apakah kebijakan ini merupakan salah satu pemenuhan hak asasi manusia dalam rangka menyelamatkan hidup manusia dari wabah pandemi covid-19?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan menguraikan kebijakan asimilasi dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia di masa pandemi Covid-19.

Pembahasan

Sistem Kepenjaraan di Indonesia telah berubah paradigma sejak ide “Pohon Beringin Pengayoman” yang dipidatokan oleh Dr. Sahardjo (Menteri Kehakiman pada saat itu) dalam acara penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Ide tersebut memunculkan konsep Pemasyarakatan dalam Konferensi Kepenjaraan pada 27 April 1964 yang menyatakan bahwa hukuman yang diberikan kepada orang yang bersalah bukan dimaksudkan untuk balas dendam, tetapi mereka dianggap telah menjadi orang yang sesat. Perubahan paradigma inipun diperkokoh dengan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dimana pada hakikatnya tahanan, narapidana, dan anak sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan terpadu serta melahirkan Sistem Pemasyarakatan yang bertujuan agar tahanan, narapidana, dan anak menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

  • Overcrowded tahanan dan narapidana pada awal pandemi Covid-19

Pada saat  awal terjadi pandemi Covid-19, permasalahan yang terjadi di Lapas, Rutan, dan LPKA adalah terjadinya overcrowded isi penghuni dimana terdapat kelebihan isi penghuni dari kapasitas hunian yang tersedia. Adapun data tahanan dan narapidana pada Lapas dan Rutan seluruh Indonesia pada tanggal 31 Maret 2020 sebagai berikut:

Tabel 1
Data Tahanan dan Narapidana
Pada Lapas dan Rutan Seluruh Indonesia
Per 31 Maret 2020
Sumber : http://smslap.ditjenpas.go.id diakses tanggal 31 Maret 2021

Berdasarkan tabel diatas, tentu ini dikhawatirkan akan berpotensi menimbulkan cluster baru Covid-19, sehingga penanganan pencegahan dan penanggulangan Covid-19 di Lapas dan Rutan membutuhkan kebijakan yang cepat, terukur, konstitusional dan tidak menimbulkan polemik dikemudian hari dalam rangka melindungi hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia[3].

Pemberian asimilasi dan hak integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19 di Lapas dan Rutan juga merupakan langkah serta kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia. Kebijakan tersebut menurut Yasonna H. Laoly merupakan rekomendasi dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan beberapa lembaga pemerhati HAM lainnya.[4]

  • Asimilasi dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia di Masa Pandemi Covid-19

Overcrowded narapidana dan tahanan di Lapas, LPKA, dan Rutan di masa pandemi Covid-19 tidak memungkinkan melaksanakan program pembinaan dalam lembaga dikarenakan tidak terpenuhinya physical distancing atau menjaga jarak kurang lebih 1 (satu) meter dan diperlukan pembinaan dan pembimbingan di luar lembaga salah satunya program asimilasi. Jika melihat data kasus positif Covid-19 tanggal 31 Maret 2020 mencapai 1.528 orang, tentu hal ini menjadi kekhawatiran bagi petugas pemasyarakatan, narapidana dan anak pada saat itu yang dalam kesehariannya saling berinteraksi.

Asimilasi dalam artikel ini diartikan sebagaimana Pasal 1 butir 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 32 Tahun 2020 jo Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 24 Tahun 2021 adalah proses pembinaan Narapidana dan Anak yang dilaksanakan dengan membaurkan Narapidana dan Anak dalam kehidupan masyarakat. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun 2020 menjelaskan narapidana yang dapat diberikan asimilasi adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut :

Pasal 4 :

(1) Narapidana yang dapat diberikan Asimilasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi syarat :

  1. berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir;
  2. aktif mengikuti program pembinaan dengan baik; dan
  3. telah menjalani ½ (satu per dua) masa pidana.

(2) Anak yang dapat diberikan Asimilasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi syarat: a. berkelakuan baik yang dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terakhir;

  1. aktif mengikuti program pembinaan dengan baik; dan
  2. telah menjalani masa pidana paling singkat 3 (tiga) bulan.

(3) Dalam hal syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dapat dipenuhi karena sisa masa pidananya kurang dari 6 (enam) bulan, maka asimilasi dapat diberikan bagi Narapidana yang telah menjalani ½ (satu per dua) masa pidana dan berkelakuan baik.

(4) Dalam hal syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak dapat dipenuhi karena sisa masa pidananya kurang dari 3 (tiga) bulan, maka asimilasi dapat diberikan bagi Anak yang telah menjalani ½ (satu per dua) masa pidana dan berkelakuan baik.

Kebijakan asimilasi kepada narapidana dan anak pada masa pandemi covid-19 sebagai upaya penyelamatan terhadap narapidana dan anak yang berada di Lapas, LPKA, dan Rutan dalam rangka pencegahan dan penyebaran covid-19. Pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi bertujuan juga melindungi hak asasi manusia bagi narapidana dan anak agar memperoleh hak untuk hidup, artinya pemerintah berupaya melakukan penyelamatan terhadap narapidana, dan anak yang berada di Lapas, Rutan, dan LPKA dari wabah Covid-19.

Hubungan antara pemberian asimilasi bagi narapidana dan anak dengan hak untuk hidup disebabkan wabah Covid-19 itu mematikan. Data dari Kementerian Kesehatan terkait perkembangan Covid-19 di Indonesia sebagai berikut :

Tabel 2
Data Perkembangan Covid-19 di Indonesia
Per 13 April 2021
Sumber : http://sehatnegeriku.kemkes.go.id , diakses tanggal 13 April 2021

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa wabah Covid-19 itu mematikan dan penyebarannya pun cepat. Hal inilah yang menyebabkan hak untuk hidup bagi narapidana dan anak harus dilindungi. Beberapa artikel hak untuk hidup dalam perlindungan hak asasi manusia hanya melihat permasalahan yang ditimbulkan antara lain perkara kasus pembunuhan dengan menghilangkan nyawa orang lain dan dilema hukuman mati bagi terpidana mati. Penulis menganalisa bahwa pemberian asimilasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19 juga memberikan ruang bagi narapidana dan anak dalam mendapatkan hak untuk hidup dikarenakan fasilitas kesehatan di Lapas, Rutan, dan LPKA terbatas dalam menangani kasus terkonfirmasi positif narapidana dan anak serta adanya kelebihan jumlah narapidana dan tahanan dari kapasitas hunian yang ada. Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang paling mendasar bagi diri setiap manusia. Sifat keberadaan hak ini tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights). Dalam article 6 International Covenant on Civil and Political Rights “1. Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life”[5]. Artinya, setiap manusia memiliki melekat hak untuk hidup, hak ini harus dilindungi oleh hukum, tidak seorang pun insan manusia yang secara gegabah boleh dirampas hak kehidupannya.

Hak untuk hidup juga diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, salah satunya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[6], melalui beberapa pasal yang merumuskan mengenai hak untuk hidup sebagai berikut :

Pasal 28A :

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Pasal 28 B ayat (2) :

Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 28H ayat (1) :

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Pasal 28I ayat (1) :

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Instrumen nasional lainnya yang berkaitan dengan hak untuk hidup adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Adapun pasal yang mengaturnya antara lain :

Pasal 4  :

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Pasal 9 :

(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.

(2) Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.

(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Pasal 53 ayat (1) :

Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.

Berdasarkan instrumen peraturan diatas, 3 (tiga) kebijakan asimilasi yang dikeluarkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun 2020, dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 24 Tahun 2021 merupakan kebijakan yang cepat, terukur, dan konstitusional dalam rangka pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia di masa pandemi Covid-19. Narapidana dan anak yang sedang menjalani pidana di Lapas, Rutan, dan LPKA merupakan Warga Negara Indonesia yang hak asasinya sudah melekat berupa hak untuk hidup dari pandemi Covid-19 serta harus dilindungi dan dipenuhi oleh negara dari penyebaran wabah Covid-19.

Kesimpulan

Asimilasi dalam proses pemasyarakatan merupakan suatu tahapan pembinaan narapidana dan anak yang dilaksanakan dengan membaurkan dalam kehidupan masyarakat. Asimilasi juga memberikan kesempatan bagi narapidana dan anak untuk dapat berkumpul dengan keluarga serta menjadi manusia yang bermanfaat bagi lingkungannya agar tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.

Selain itu, dalam penanganan overcrowded, data pada tanggal 30 April 2020 menunjukkan bahwa Lapas, LPKA, dan Rutan seluruh Indonesia telah melaksanakan asimilasi dan integrasi dengan mengeluarkan narapidana sebanyak 39.193 orang artinya terjadinya penurunan overcrowded dari 106% menjadi 76% dan menghemat anggaran sebesar Rp. 341.000.000.000 (tiga ratus empat puluh satu milyar rupiah). Sedangkan data terakhir yang penulis dapatkan dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada tanggal 11 Oktober 2021 menunjukkan bahwa pelaksanaan ketiga regulasi tersebut tercatat telah mengeluarkan narapidana dan anak sebanyak 108.574 orang.

Dari pembahasan diatas, program asimilasi yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM sangatlah tepat dalam situasi pandemi Covid-19. Hal ini disebabkan adanya upaya pemerintah melindungi dan memenuhi hak asasi manusia berupa hak untuk hidup secara konstitusional guna mencegah penyebaran wabah Covid-19 di Lapas, Rutan, dan LPKA.

Saran

Kebijakan asimilasi melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 24 Tahun 2021 secara konstitusional memberikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi narapidana dan anak di masa pandemi Covid-19. Adapun saran yang penulis sampaikan yaitu kebijakan asimilasi hendaknya terus dilanjutkan jika pandemi Covid-19 masih mewabah dalam jangka waktu yang lama mengingat Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 24 Tahun 2021 hanya memfasilitasi pemberian asimilasinya bagi narapidana yang 2/3 masa pidananya dan anak yang ½ masa pidananya sampai dengan tanggal 31 Desember 2021.

Catatan Kaki:

[1] Sentosa Sembiring, Penjelasan atas Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), Bandung, Nuansa Aulia, 2006, hlm.126.

[2] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta Amandemen, Cetakan Kesatu, Jakarta: Sinar Grafika, 2018.

[3] Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

[4] https://nasional.tempo.co/read/1376729/beri-asimilasi-kepada-narapidana-yasonna-ini-rekomendasi-pbb-dan-komnas-ham/full&view=ok diakses tanggal 31 Maret 2021.

[5] Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 Revisi Kelima, Jakarta, Kementerian Kesehatan, 2020.

[6] http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/daily , diakses tanggal 31 Maret 2021.

 

Daftar Pustaka

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Revisi Kelima. Jakarta.

Sembiring, Sentosa. 2006. Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covennant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Bandung: Nuansa Aulia.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 2018. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Beserta Amandemen. Cetakan Kesatu. Jakarta: Sinar Grafika

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi pada Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat Bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.HH.19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/daily

https://nasional.tempo.co/read/1376729/beri-asimilasi-kepada-narapidana-yasonna-ini-rekomendasi-pbb-dan-komnas-ham/full&view=ok

http://sehatnegeriku.kemkes.go.id

 

 

 

Anak Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Psikologi

Oleh:

Husni Mubarok, S.Psi

(Bapas Kelas II Pontianak)

Pendahuluan

Pembahasan mengenai anak menjadi diskursus berbagai disiplin ilmu pengetahuan, salah satu yang membahasan mendalam adalah ilmu psikologi. Tema perkembangan anak dibahas secara detail oleh aliran-aliran/madzhab teori psikologi dari aliran Behavioral, Psikonalisa maupun Gestalt.

Aliran-aliran teori tersebut mempunyai sudut pandang yang berbeda. Perbedaan ini berakar pada akar ontologi dan epistemologinya dalam memandang manusia. Behavioral memandang anak adalah kertas putih atau tabula rasa, lingkungan yang membentuk dan mempengaruhi masa perkembangan anak. Aliran Psikoanalisa memandang manusia membawa potensi energi bawah sadar yang disebut oleh Sigmund Freud sebagai Id. Sisi lain Gestalt memandang bahwa perkembangan manusia itu proses diferensiasi. Proses diferensiasi yang primer/ utama adalah keseluruhan, sedangkan bagian-bagiannya adalah sekunder. Sesuatu hanya mempunyai arti jika dilihat secara keseluruhan dalam hubungan fungsionalnya (Lindzey, Gardner dan Calvin S Hall, 1993)

Pada masa rentang hidup manusia mengalami proses perkembangan dari bayi, anak-anak menuju dewasa dan menua. Perkembangan merupakan pola gerakan atau perubahan yang secara dinamis. Mulai dari pembuahan atau konsepsi dan terus berlanjut sepanjang siklus kehidupan manusia. Untuk tujuan pengorganisasian materi dan mempermudah pemahaman pada umumnya kita menggambarkan perkembangan dalam tahap-tahapan (Santrock, 1995).

Penggambaran tahapan perkembangan berdasarkan periodesasi adalah sebagai berikut: periode pra kelahiran, masa bayi, anak-anak awal, kanak-kanak akhir, masa remaja, masa dewasa awal, dewasa madya, dan masa lanjut usia. Pada setiap fase perkembangan mempunyai tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan untuk mencapai kepribadian yang utuh.

Menurut Havighurst, tugas perkembangan merupakan tugas-tugas yang harus diselesaikan individu pada fase-fase atau periode kehidupan tertentu; dan apabila berhasil mencapainya mereka akan bahagia, Tetapi sebaliknya, apabila mereka gagal akan kecewa, dicela orang tua atau masyarakat dan perkembangan selanjutnya juga akan mengalami kesulitan (Hurlock, 1980).

Hurlock menyebut tugas-tugas perkembangan ini sebagai social expectations yang artinya setiap kelompok budaya mengharapkan anggotanya menguasai keterampilan tertentu yang penting dan memperoleh pola perilaku yang disetujui oleh berbagai usia sepanjang rentang kehidupan. Tugas-tugas perkembangan tersebut merupakan suatu hal yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan Apabila individu berhasil menuntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan ke tugas perkembangan selanjutnya. Namun jika gagal akan menyebabkan ketidakbahagiaan dan kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas perkembangan berikutnya.

Kesulitan-kesulitan yang timbul dan tidak teratasi dengan baik menimbulkan pola perilaku maladaptif atau tidak sesuai dengan tuntutan nilai dan norma masyarakat. Perilaku tersebut bisa berbentuk penyimpangan atau gangguan mental pada individu yang mengalaminya. Bentuk penyimpangan yang muncul salah satunya adalah perilaku yang melanggar norma hukum pidana (kriminal).

Anak Berhadapan dengan Hukum

Kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi perlindungan terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak.

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mendefinisikan Anak yang Berhadapan dengan Hukum adaa anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. UU SPPA menggunakan pendekakatan keadilan restoratif dimana penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Konsekuensi dari keadilan restoratif adalah mengedapankan kepentingan terbaik untuk anak dari pada kepentingan masyarakat. Oleh karena itu Pasal 2 UU SPPA, Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:

  1. perlindungan;
  2. keadilan;
  3. non diskriminasi;
  4. kepentingan terbaik bagi Anak;
  5. penghargaan terhadap pendapat Anak;
  6. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
  7. pembinaan dan pembimbingan Anak;
  8. proporsional;
  9. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir;
  10. penghindaran pembalasan.

Selain itu Pasal 3 mengatur bahwa setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak:

  1. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
  2. dipisahkan dari orang dewasa;
  3. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
  4. melakukan kegiatan rekreasional;
  5. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
  6. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
  7. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
  8. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
  9. tidak dipublikasikan identitasnya;
  10. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;
  11. memperoleh advokasi sosial;
  12. memperoleh kehidupan pribadi;
  13. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
  14. memperoleh pendidikan;
  15. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
  16. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Meskipun ABH dianggap sebagai anak yang bermasalah, pendekatan keadilan restoratif yang mengedepankan pemulihan dan bukan balas dendam sangat penting melindungi hak anak dalam penerapannya. Keadilan restoratif yang bertujuan memulihkan kembali perilaku sehat ABH perlu didukung dengan pemenuhan hak-hak anak tersebut. Hal ini menghindari pelabelan yang tidak perlu dan penanganan yang tepat pada ABH.

Sebuah Jalan Keluar; Pemahaman Perkembangan Anak

Penerapan UU RI No. 11/ 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan semangat keadilan restoratif sudah berjalan efektif namun peningkatan jumlah anak berhadapan dengan hukum masih mengalami tren kenaikan. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan dalam interval tahun 2015-2018 sebesar 0, 08 % atau meningkat 232 perkara anak. Semangat keadilan restorative merupakan bentuk kemajuan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun demikian, masih perlu untuk terus dikembangkan agar dapat mencapai tujuan dari Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.

sumber gambar:
http://bankdata.kpai.go.id/infografis/data-isu-strategis-dan-pembangunan-perlindungan-anak

Kenakalan atau perilaku kriminal yang dilakukan anak dalam kaca mata psikologi dianggap sebagai kegagalan anak untuk memenuhi harapan atau tuntutan sosial nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat. Hal ini bisa disebabkan oleh anak yang mengalami kesulitan atau hambatan dalam menyelesaikan tugas perkembangan.

Kesulitan-kesulitan dan kegagalan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dapat mengakibatkan masalah kepribadian. Gerald Corey (2007) berpendapat bahwa masalah kepribadian yang muncul baik secara individu atau kelompok terdiri dari;

  1. Ketidakmampuan menaruh kepercayaan diri pada diri sendiri dan pada orang lain, ketakutan untuk mencintai dan untuk membentuk hubungan yang intim, dan rendahnya rasa harga diri.
  2. Ketidakmampuan mengakui dan mengungkapkan perasaan-perasaan benci dan marah, penyangkalan terhadap kekuatan sendiri sebagai pribadi, dan kekurangan perasaan-perasaan otonom/ mandiri.
  3. Ketidakmampuan menerima sepenuhnya seksualitas dan perasaan-perasaan seksual diri sendiri, kesulitan menerima diri sendiri sebagai pria atau wanita, dan ketakutan pada seksualitas.

Masalah kepribadian tersebut jika tidak ditangani akan menimbulkan kegagalan penyesuaian diri/maladaptasi individu terhadap harapan dan norma sosial masyarakat (social expectations). Maladaptasi yang dimaksud Gerald Corey adalah konflik sosial antara anak dengan nilai sosial dan norma hukum, maka munculah tindakan melawan hukum dan menjadi pelaku tindak pidana.

Dalam membedah Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) maka kita perlu melihat bagaimana para ahli ilmu psikologi dalam membahas perkembangan manusia. Perkembangan anak menjadi perhatian khusus dari para tokoh ilmu Psikologi. Dinamika perkembangan anak ini perlu kita ketahui untuk memahami dan memperkirakan penyebab munculnya perilaku.

Sigmund Freud merupakan psikolog pertama yang menekankan masa bayi dan anak-anak adalah masa terpenting dalam hidup manusia. Freud berpendapat bahwa kepribadian sudah cukup terbentuk pada akhir tahun ke-lima, dan perkembangan selanjutnya adalah bentuk elaborasi terhadap struktur dasar tersebut. Menurutnya kepribadian berkembang sebagai respon terhadap empat tegangan pokok, yakni; (1) proses-proses perkembangan fisiologis, (2) frustasi-frustasi, (3) konflik-konflik dan ancaman-ancaman. Meningkatnya tegangan-tegangan dari sumber-sumber ini memaksa individu untuk mempelajari cara mereduksi tegangan.

Cara yang digunakan individu untuk mengatasi tekanan-tekanan melalui proses disebut identifikasi dan pemindahan. Identifikasi adalah mengambil ciri-ciri atau kualitas diri orang lain yang dianggap lebih berhasil untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari kepribadiannya. Jika dalam mengambil ciri dan kualitas diri ini terhalang atau mengalami rintangan dari dalam dan/atau luar dirinya, maka individu melakukan pemindahan terhadap objek lain.

Proses pemindahan tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kemiripan objek pengganti dengan objek asli dan larangan-larangan yang ada di masyarakat. Objek-objek tersebut akan selalu berganti-ganti karena tidak pernah bisa menekan habis sumber tegangan-tegangan. Individu akan selalu mencari cara pemindahan objek tersebut. Hal ini menyebabkan keanekaragaman tingkah laku serta menimbulkan keresahan dan menimbulkan kepribadian yang tidak stabil. Ketidakstabilan yang terus menerus akan menimbulkan penyimpangan perilaku bahkan gangguan kepribadian.

Tokoh lain yang memandang fase awal anak-anak penting adalah Henry A Muray. Menurutnya kepribadian manusia merupakan kompromi antara dorongan-dorongan dalam diri sendiri dengan tuntutan-tuntutan serta kepentingan-kepentingan orang lain. Tuntutan dari orang lain ini terkumpul secara kolektif oleh pranata-pranata dan pola budaya tempat individu itu berada. Sedangkan proses implus-implus (tekanan) sendiri dikompromikan oleh kekuatan-kekuatan disebut proses sosialisasi.

Proses sosialisasi dipengaruhi oleh otoritas yang ada di lingkungan (orang tua, masyarakat). Proses kompromi akibat tekanan-tekanan individu yang terus menerus ini mempunyai efek negatif yakni hilangnya daya kreasi dan kebebasan individu. Salah satu hal yang muncul biasanya ketika anak berada di luar jangkauan dari tekanan otoritas tersebut atau mendapatkan tekanan lain yang lebih kuat dari otoritas di lingkungan psikososial di luar keluarga, anak akan terjadi konflik dalam dirinya. Kita dapat menemukan anak yang di rumah dikenal berperilaku baik ternyata di luar rumah menjadi anak nakal atau bahkan terlibat tindak kriminal.

Tokoh psikologi sosial Erik H. Erikson membahas lebih lanjut mengenai perkembangan dengan proses-proses sosial. Pada anak setiap tahapnya mengandung kebutuhan yang mendesak untuk dipenuhi krisis yang perlu diselesaikan. Pada anak ada lima tahapan, antara lain sebagai berikut:

1. Percaya vs Kecurigaan (Tahun Pertama)

Pada fase ini anak mulai mengembangkan kemampuan hal yang berhubungan dengan perkembangan rasa percaya diri dan dunia diluar dirinya. Bayi mulai mengembangkan rasa percaya jika dicintai oleh ibunya. Rasa cinta ini akan mengembangkan kepercayaan diri pada anak. Jika mengalami kegagalan dalam dalam fase perkembangan ini maka muncul kecurigaan akibat rasa kecewa tidak dicintai. Dinamika antara percaya diri dan kecewa yang proporsional adalah harapan. Hal ini menjadi kebajikan paling awal dan paling dasar dan intrinsik dalam hidup.

2. Otonomi vs Rasa Malu dan Ragu (1-3 Tahun)

Pada masa kanak-kanak awal ini anak mengembangkan kemampuan mandiri. Anak mulai belajar menguasai lingkungan dan mulai mencoba hal-hal yang baru untuk menguji kemampuannya. Pada tahap ini, anak sangat membutuhkan dukungan untuk bereksperimen dan mulai belajar bergantung dengan orang lain secara sehat. Kegagalan atau terhambatnya tugas perkembangan pada fase ini menimbulkan sifat ragu sehingga menimbulkan hubungan ketergantungan yang tidak sehat dengan orang dewasa di lingkungannya.

3. Inisiatif vs Rasa Malu (3-5 Tahun)

Tadap ini merupakan tahapan yang mementukan anak mengenal kecakapan-kecakapan dasar seperti mengenali identitas seksual, standar moral, meniru perilaku orang dewasa. Anak dalam fase ini mulai mengembangkan kemampuan mengendalikan dorongan dan belajar rasa bersalah.

4. Industrial vs Inferioritas (6-12 Tahun)

Pada tahap ini anak belajar mengembangkan sifat kompetitif dan kooperatif. Anak belajar bersaing (menang-kalah) dan bekerjasama dengan temannya. Anak belajar sikap setia kawan dan mengenali aturan-aturan yang belaku di lingkungan. Anak siap untuk bersosialisasi di luar rumah tanpa orang tuanya dalam waktu terbatas seperti belajar di sekolah.

5. Identitas vs Difusi peran/ Kekacauan Indentitas (12-18 Tahun)

Tahap ini terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti orang dewasa. Mulai nampak adanya kontradiksi bahwa ia dianggap dewasa tetapi sisi lain ia dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan fase standarisasi diri, yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur, dan aktivitas/ kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber perlindungan dan nilai utama akan menurun. Adapun peran kelompok atau teman sebaya menjadi tinggi, teman sebaya dianggap sebagai teman senasib, partner, dan saingan. Melalui kehidupan berkelompok ini, remaja bereksperimen dengan peranan dan dapat menyalurkan diri. Remaja memilih orang-orang dewasa yang penting baginya yang dapat mereka percayai dan tempat mereka berpaling saat kritis (mempunyai masalah). Perkembangan identitas berpangkal pada kebutuhan inheren manusia untuk berafiliasi, tujuan hidup dan makna hidup. Kegagalan mendapat identitas diri menyebabkan kebingungan akan peran identitasnya.

Tahap perkembangan psikososial diatas memberikan gambaran bahwa perilaku anak terbentuk dan muncul dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Konflik-konflik tekanan terus menerus mengakibatkan anak belajar untuk memilih perilaku yang dianggap mampu menekan krisis-krisis yang terjadi. Anak harus mendapatkan dukungan dari orang tua agar dapat menyelesaikan tugas-tugas pokok pada lima tahap perkembangan psikososialnya. Kegagalan menyelesaikan tugas pokok akan memunculkan krisis-krisis yang menjadi kebalikan dari kualitas-kualitas positif setiap tahapan perkembangannya hingga dewasa.

Perkembangan anak dan perilaku sosial juga mendapatkan perhatian Albert Bandura dalam teori belajar sosialnya. Bandura percaya bahwa kita belajar dengan mengamati apa yang dilakukan orang lain. Melalui belajar observasi secara kognitif individu merepresentasikan perilaku orang lain dan mengambilnya. Proses kognisi dalam proses belajar sosial meliputi; (1) perhatian/ atensi, (2) mengingat/ retensi, (3) reproduksi gerak dan motivasi.

Singkatnya pendekatan munculnya perilaku teori Bandura menekankan pada proses pembiasaan/ habituasi respon dan peniruan. Kognisi dan lingkungan bersifat interaktif atau saling mempengaruhi. Proses interaktif menggambarkan bahwa manusia mempunyai kemampuan memilah dan memilih perilaku yang mau ia pelajari. Proses interaktif juga berkaitan dengan respon orang lain yang memperkuat atau memperlemah perilaku (reinforcement atau Reward & Punishment).

Berdasarkan pendekatan ini maka orang dewasa dan lingkungan tempat tinggal sangat erat pengaruhnya pada perilaku anak. Orang tua perlu menumbuhkan kemampuan kognitif (pikir) yang baik agar dapat dipergunakan anak untuk memilah dan memilih. Perlu penanaman pindidikan nilai dan norma sosial sejak dini untuk mengembangkan kemampuan tersebut. Proses pendidikan harus dapat menanamkan anak berpikir kritis sebagai filter yang logis. Hal ini dilakukan dalam lingkungan keluarga dan juga institusi pendidikan formal. Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan anak dalam proses belajar observasi perilaku secara kognisi.

Kesimpulan

Berdasarkan penyebab munculnya perilaku anak kita dapat memahami bahwa sebenarnya Anak Berhadapan dengan Hukum merupakan korban dari lingkungan psikososial mereka. Lingkungan psikososial tersebut mulai dari lingkungan keluarga dan lingkungan pergaulan mereka di luar rumah. Pola asuh keluarga secara langsung berpengaruh pada kualitas pribadi seorang anak. Tidak mudah memang untuk menentukan metode pola asuh yang ideal karena kondisi ekonomi, sosial dan budaya setiap keluarga yang sangat beragam.

Oleh karena itu maka perilaku anak melakukan tindak pidana termasuk dalam perilaku maladaptif dengan tuntuan norma sosial dan hukum lingkungannya. Undang-undang sistem peradilan pidana anak mengedepankan keadilan restorative dengan semangat memulihkan hubungan yang sehat antara perilaku anak dengan norma sosial

Namun. kunci utamanya pola asuh ideal adalah metode pola asuh yang dapat menumbuhkan kepribadian anak dengan kualitas kemandirian untuk mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah. Anak dengan pola asuh yang tidak menumbuhkan kemandirian mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah menjadi salah satu penyebab perilaku maladaptif.

Hal ini berkorespondensi dengan temuan yang diperoleh penulis selama tiga tahun melakukan pendampingan terhadap ABH. Anak pelaku tindak pidana sebenarnya adalah korban dari pola asuh yang tidak menumbuhkan dua kualitas utama kepribadian anak. Fenomena ini diperburuk dengan lingkungan sosial di luar rumah yang cenderung negatif. Sebagai peniru yang ulung, anak dalam pergaulan di lingkungan sosial tidak mendapatkan figur tiru yang positif (teladan).

Proses sosialisasi lingkungan pergaulan membuat anak cenderung terpengaruh teman sebaya, bahkan sering ditemukan anak mendapat tekanan sosial (perintah) dari orang dewasa untuk melakukan tindak kriminal. Anak sebenarnya belum bisa dimintai pertanggungjawaban di depan hukum, karena secara substansi mereka adalah korban. Setelah mengetahui bagaimana latar belakang terbentuknya perilaku ABH, maka kita akan mengerti mengapa kepentingan terbaik untuk masa depan anak harus diutamakan dan didahulukan dari kepentingan masyarakat.

Daftar Pustaka

  • Corey, Gelard, 2007. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama
  • Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga
  • Lindzey, Gardner dan Calvin S Hall, 1993. Psikologi Kepribadian 1, Teori-teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius
  • Lindzey, Gardner dan Calvin S Hall, 1993. Psikologi Kepribadian 2, Teori-teori Yogyakarta: Kanisius
  • Pembimbing Kemasyarakatan Indonesia, Tim, 2020, Kapita Selekta Pemasyarakatan. Pontianak: Ide Pulishing
  • Santrock, John W. 2002. Life Span Development, Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga
  • Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
  • kpai.go.id/infografis/data-isu-strategis-dan-pembangunan-perlindungan-anak (diakses 19/ 03/ 2021 pukul 17:11 WIB)

 

Kewajiban Pemerintah Indonesia dalam Memutus Rantai Statelessness pada Anak

Ditulis oleh: Vania Prameswari dan Erlangga Hendratono

 

Permasalahan Anak Tanpa Kewaganegaraan di Indonesia

Dalam kerangka hukum Internasional, statelessness atau tanpa kewarganegaraan, adalah seseorang yang tidak diakui sebagai warga negara oleh negara mana pun berdasarkan hukumnya.Keadaan tanpa kewarganegaraan bagi seseorang merupakan permasalahan yang kompleks dan berkepanjangan. Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) memberikan estimasi bahwa masih terdapat 12 juta orang tanpa kewarganegaraan hingga tahun 2018. Indonesia sendiri tidak terlepas dari permasalahan tanpa kewarganegaraan. Walaupun sulit untuk diidentifikasi dan tidak ada jumlah resmi, dalam pengajuan UNHCR  pada sesi ke-27 Universal Periodic Review tahun 2017 disampaikan bahwa terdapat indikasi jumlah populasi orang tanpa kewarganegaraan yang berpotensi besar di Indonesia.

Keadaan tanpa kewarganegaraan terhadap seseorang tidak mengenal usia. Seseorang bisa kehilangan kewarganegaraan pada saat dewasa atau bahkan terlahir tanpa kewarganegaraan. Anak yang terlahir dari orang tua yang tidak memiliki kewarganegaraan akan berpotensi menerima status tanpa kewarganegaraan pula, sehingga menimbulkan siklus antar generasi. Mengingat anak merupakan kelompok rentan, tidak dapat dipungkiri bahwa anak yang terlahir tanpa kewarganegaraan akan menanggung dampak yang lebih berat.

Untuk mencegah dan mengurangi keadaan tanpa kewarganegaraan, masyarakat internasional telah menyepakati dua Konvensi terkait tanpa kewarganegaraan. Selain itu, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan berbagai instrumen internasional hak asasi manusia telah mengatur bahwa setiap orang berhak atas kewarganegaraan. Namun demikian, kewaraganegaraan hanya dapat diberikan kepada seseorang atas diskresi suatu Negara. Adapun Indonesia sebagai duty bearer dalam hal ini memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas kewarganegaraan. Dengan pelaksanaan kewajiban tersebut, diharapkan akan mengurangi atau bahkan menghilangkan status tanpa kewarganegaraan bagi anak di Indonesia. Untuk itu, pada tulisan ini akan dibahas terkait urgensi hak atas kewarganegaraan atau hak untuk tidak dalam keadaan tanpa kewarganegaraan bagi anak di Indonesia.  Kemudian, akan dibahas mengenai kewajiban Pemerintah Indonesia terkait hak anak atas kewarganegaraan secara normatif. Pada bagian terakhir, akan diulas terkait implementasi dari kewajiban negara terkait hak anak atas kewarganegaraan dalam bentuk legislasi dan kebijakan nasional yang telah diterapkan Pemerintah Indonesia.

 

Urgensi Hak atas Kewarganegaraan bagi Anak di Indonesia

Anak memiliki serangkaian hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang telah diakui dalam instrumen internasional hak asasi manusia. Sebagaimana sifat universal dalam hak asasi manusia, hak dan kebebasan dasar tersebut berlaku bagi anak tanpa terkecuali, termasuk anak tanpa kewarganegaraan. Akan tetapi, faktanya banyak negara yang menjadikan kewarganegaraan pada seseorang sebagai prasyarat praktis untuk dapat memperoleh penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia secara optimal.  Hal ini disebabkan karena melalui kewarganegaraan tersebut akan menimbulkan suatu hubungan hukum yang bersifat timbal balik antara negara dan warga negara. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki kewarganegaraan akan memiliki hak dan kewajiban dalam suatu negara dan sebaliknya negara memiliki kewenangan dan kewajiban tertentu terhadap warga negaranya. Untuk itu, seorang anak yang memiliki kewarganegaraan akan memperoleh suatu jaminan sebagai warga negara, bahwa negaranya tersebut memiliki kewajiban negara atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya.

Pada praktiknya, beberapa hak asasi manusia hanya bisa dinikmati dan diwujudkan dengan menjadi seorang warga negara. Contoh yang paling sederhana adalah hak untuk turut serta dalam pemerintahan dalam bentuk memilih dan dipilih hanya dapat dilakukan oleh warga negara suatu negara.   Kemudian, hak untuk masuk tanpa ditolak dan menetap secara permanen dalam wilayah suatu negara adalah hak warga negara. Adapun perlindungan dan bantuan hukum bagi seseorang di luar negeri hanya dapat diberikan Pemerintah kepada warga negaranya.

Ada pula kebijakan-kebijakan negara yang ditujukan khusus untuk warga negaranya dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi manusia secara optimal. Dalam bidang pendidikan di Indonesia, Pemerintah telah mengambil kebijakan wajib belajar, dimana setiap warga negara yang berusia 6 (tahun) dapat mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Selain itu, anak tanpa kewarganegaraan pada umumnya lahir tanpa didaftarkan dan tidak memiliki suatu dokumen kependudukan yang dapat menunjukkan identitas hukum mereka. Apabila seorang anak tidak memiliki dokumen kependudukan, maka anak tersebut akan kesulitan untuk dapat mengurus segala sesuatu hal yang membutuhkan identitias diri, seperti untuk masuk sekolah dan memperoleh ijazah pendidikan, mendapatkan jaminan sosial dan akses kesehatan, mendaftarkan perkawinan, memperoleh pekerjaan pada saat dewasa dan lain-lain.

Mengingat hak asasi manusia bersifat interelated dan interdependent, terlihat bahwa tidak terpenuhinya hak atas kewarganegaraan bagi seorang anak akan berdampak pada pemenuhan hak asasi manusia lainnya. Dalam keadaan tidak bisa mengakses sepenuhnya hak asasi manusia dan kebebasan dasar tersebut, seorang anak tanpa kewarganegaraan akan rentan terhadap kekerasan, pelecehan dan eksploitasi. Dengan melihat urgensi dari hak atas kewarganegaraan bagi anak tersebut, maka setiap Negara, termasuk Indonesia, memiliki kewajiban atas pemenuhan dan perlindungan hak anak atas kewarganegaraan sesuai dengan hukum internasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Kewajiban Pemerintah Indonesia Terkait Hak Anak Atas Kewarganegaraan

Walaupun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan pada tahun 1954 dan Kovensi tentang Pengurangan Keadaan Tanpa Kewarganegaraan pada tahun 1961, Indonesia telah meratifikasi beberapa instrumen internaisonal hak asasi manusia yang mengatur tentang hak anak atas kewarganegaraan, yakni sebagai berikut:

  1. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD)mengatur bahwa Negara Pihak wajib melarang dan menghilangkan diskriminasi rasial dalam segala bentuk dan menjamin hak setiap orang termasuk hak atas kewarganegaraan tanpa membedakan ras, warna kulit, kebangsaan dan suku.
  2. Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR)menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk didaftarkan segera setelah kelahirannya, mendapatkan suatu nama dan memperoleh kewarganegaraan.
  3. Konvensi tentang Hak-Hak Anak (CRC)juga mengatur hal yang serupa dengan ICCPR. Namun, CRC dalam hal ini memberikan penegasan terkait anak tanpa kewarganegaraan yakni dengan mewajibkan Negara Pihak untuk mengimplementasikan hak-hak ini sesuai dengan hukum nasionalnya, khususnya apabila anak menjadi tanpa kewarganegaraan.
  4. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW)menjamin bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki berkenaan dengan pemberian kewarganegaraan pada anak-anak mereka.

Sebagai negara pihak dari instrumen internasional hak asasi manusia tersebut, Indonesia wajib menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan iktikad baik. Dalam perspektif hak asasi manusia, kewajiban Indonesia untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia tidak hanya terbatas kepada warga negara Indonesia. ICCPR menegaskan bahwa Negara Pihak wajib menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada yurisdiksi hukumnya, tanpa pembedaan apapun. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia setiap orang, termasuk anak-anak tanpa kewarganegaraan yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada yurisdiksi hukumnya.

Dalam kerangka hukum nasional, kewajiban Negara atas hak asasi manusia telah daitur di Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Dalam hal ini, kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah harus bisa dimanifestasikan dalam bentuk langkah implementasi yang efektif.

 

Langkah-langkah Pemerintah Indonesia dalam Memutus Rantai Keadaan Tanpa Kewarganegaraan pada Anak

Walaupun berbagai instrumen internasional hak asasi manusia telah secara eksplisit mengatur hak anak atas kewarganegaraan, instrumen-instrumen tersebut tidak mewajibkan negara untuk memberikan kewarganegaraan pada setiap anak yang lahir di wilayahnya. Selain itu, instrumen-instrumen tersebut juga tidak menentukan tata cara pemberian kewarganegaraan oleh suatu negara pada tataran praktis. Adapun setiap Negara diberikan diskresi untuk menentukan kriteria-kriteria pemberian kewarganegaraan dalam hukum nasionalnya masing-masing. Namun, tata cara pemberian kewarganegaraan tersebut harus dilakukan sesuai batasan-batasan untuk memastikan bahwa tidak ada anak tanpa kewarganegaraan.  Dalam hal ini, langkah-langkah Pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan keadaan tanpa kewarganegaraan dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni solusi pencegahan (preemptive remedies) dan solusi naturalisasi (naturalization remedies).

Dalam solusi pencegahan, Pemerintah Indonesia harus mengambil legislasi dan kebijakan nasional untuk memastikan seorang anak yang lahir di Indonesia tidak dalam keadaan tanpa kewarganegaraan. Pemerintah Indonesia sudah mengakui dan mengatur di dalam legislasi nasional atas hak setiap anak untuk memperoleh suatu nama dan status kewarganegaraan sejak kelahirannya sebagai hak asasi manusia. Menurut Konstitusi, yang diakui sebagai warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Ketentuan tersebut tidak bersifat diskriminatif karena tidak menentukan bangsa, etnis atau suku tertentu yang merupakan bangsa Indonesia asli. Selain itu, ketentuan tersebut mengakui bahwa seseorang di luar bangsa Indonesia asli dapat menjadi warga negara Indonesia apabila telah memenuhi persyaratan-persyaratan di dalam undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, anak tanpa kewarganegaraan yang bukan bangsa Indonesia asli masih memiliki kesempatan untuk menjadi warga negara Indonesia jika memenuhi ketentuan di dalam undang-undang.

Secara umum, Indonesia memberikan kewarganegaraan pada seorang anak berdasarkan asas ius sanguinis. Dalam hal ini, dapat dipastikan seorang anak akan lahir sebagai warga Negara Indonesia jika satu satu atau kedua orang tua merupakan warga Negara Indonesia. Dalam hal seorang anak dilahirkan dari atau di luar perkawinan yang sah antara warga negara Republik Indonesia dan warga negara asing, maka anak tersebut tetap berhak memperoleh kewarganegaraan dari kedua ayah dan ibunya. Anak tersebut akan memiliki kewarganegaraan ganda terbatas, dimana setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraan. Selain itu, Undang-Undang ini telah menjamin kesetaraan gender karena seorang Ibu dapat menurunkan kewarganegaraannya kepada anak.Bahkan, Undang-Undang ini menetapkan status warga Negara Indonesia bagi anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut. Langkah-langkah ini merupakan suatu upaya agar anak yang terlahir dari ayah dan / atau ibu yang merupakan warga negara Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.

Namun, permasalahan muncul ketika terdapat seorang anak yang terlahir di Indonesia dari ayah dan ibu yang tidak memiliki kewarganegaraan. Dalam kondisi-kondisi tertentu, status kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada seorang anak berdasarkan asas ius soli secara terbatas. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia, walaupun ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya. Walaupun Indonesia belum melakukan ratifikasi, ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan sudah sesuai dengan Kovensi tentang Pengurangan Keadaan Tanpa Kewarganegaraan pada tahun 1961. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk mengupayakan tidak ada anak yang terlahir di Indonesia tanpa kewarganegraan.

Disamping pemberian kewarganegaraan pada anak yang lahir di Indonesia, pendaftaran kelahiran juga dapat meminimalisir terjadinya keadaan tanpa kewarganegaraan pada anak. Setelah seorang anak lahir, dokumen resmi pertama yang sangat diperlukan sebagai pengakuan negara atas kedudukan hukum anak tersebut adalah akta kelahiran. Walaupun akta kelahiran tidak memberikan seseorang anak kewarganegaraan, akta kelahiran dapat memberikan keterangan resmi atas identitas seorang anak. Dalam hal ini, akta kelahiran dapat memberikan informasi terkait hubungan hukum antara anak dengan orang tua dan tempat kelahiran seorang anak, sehingga dapat menjadi bukti awal untuk menentukan kewarganegaraan seorang anak. Dalam kondisi-kondisi tertentu, anak yang tidak memiliki akta kelahiran akan berisiko menjad tanpa kewarganegaraan, seperti anak yang tinggal di pulau-pulau terluar / perbatasan yang rutin melakukan migrasi antar negara di perbatasan, anak yang lahir dari etnis minoritas, ataupun lahir dari orang tua tanpa kewarganegaraan di Indonesia.

Dalam peraturan perundang-undangan terkait administrasi kependudukan, kelahiran anak merupakan peristiwa penting yang wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. Berdasarkan ketentuan tersebut, akta kelahiran tidak hanya diberikan kepada warga negara Indonesia melainkan juga orang bukan warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Bahkan, peraturan ini juga mengakomodir pencatatan kelahiran dan penerbitan akta kelahiran terhadap peristiwa kelahiran seorang anak yang tidak diketahui asal-usulnya atau keberadaan orang tuanya. Namun demikian, peraturan perundang-undangan ini masih memiliki kelemahan karena melihat pelaporan kelahiran untuk memperoleh akta kelahiran sebagai kewajiban penduduk dan bukan hak dari penduduk.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, presentase anak yang memiliki akte kelahiran di Indonesia pada tahun 2016 adalah 81.68%. Untuk mempercepat proses pencatatan kelahiran dan meningkatkan kepemilikan akta kelahiran pada setiap anak, Pemerintah Indonesia telah menyusun Strategi Nasional Percepatan Administrasi Kependudukan untuk Pengembangan Statistik Hayati, dimana target pencapaian kepemilikian akta kelahiran pada penduduk 0-17 tahun adalah sebesar 90% pada tahun 2020 dan 100% pada tahun 2024. Meskipun masih terdapat kekurangan-kekurangan, Pemerintah dalam hal ini terus berupaya untuk mencapai pemenuhan hak anak di seluruh Indonesia untuk segera didaftarkan setelah kelahirannya dan memperoleh akta kelahiran.

Dalam solusi naturalisasi, Pemerintah Indonesia harus mengambil legislasi dan kebijakan nasional untuk memastikan seorang anak yang sudah dalam keadaan tanpa kewarganegaraan dan berada di wilayah Indonesia dapat memperoleh hak atas kewarganegaraan melalui naturalisasi / pewarganegaraan. Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan jika memenuhi persyaratan-persyaratan sebagaimana diatur di dalam Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Walaupun secara normatif dimungkinkan bagi anak tanpa kewarganegaraan untuk mengajukan permohonan pewarganegaraan pada saat telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, pada tataran praktis akan sangat sulit bagi mereka untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan, anak tanpa kewarganegaraan memiliki kesulitan dan hambatan untuk menikmati secara optimal hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya.  Dalam hal ini, anak tanpa kewarganegaraan belum tentu dapat memenuhi persyaratan pada huruf b (bertempat tinggal di wilayah Indonesia paling singkat 5 tahun berturut-turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut) dan huruf g (mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap).

Apabila anak tanpa kewarganegaraan masuk ke wilayah Indonesia secara tidak prosedural, maka besar kemungkinan anak tersebut akan ditahan di Rumah Detensi Imigrasi dan mendapatkan tindakan administratif keimigrasian seperti deportasi. Selain itu, apabila anak tanpa kewarganegaraan masuk ke wilayah Indonesia sebagai pencari suaka atau pengungsi, maka anak tersebut akan ditempatkan di  Rumah Detensi Imigrasi untuk dipulangkan secara sukarela, dideportasi, atau diproses untuk ditempatkan di negara ketiga berdasarkan keputusan UNHCR.

Adapun permasalahan dalam Undang-Undang tentang Kewarganegaraan adalah tidak mengatur secara khusus permohonan pewarganegaraan untuk orang tanpa kewarganegaraan. Dalam hal ini, anak tanpa kewarganegaraan yang  berada di wilayah Indonesia kurang memperoleh pemenuhan hak atas kewarganegaraan melalui solusi naturalisasi.  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa legislasi dan kebijakan Pemerintah Indonesia sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk memberikan hak anak atas kewarganegaraan dan sekaligus memutus rantai keadaan tanpa kewarganegaraan pada anak lebih berorientasi pada solusi pencegahan. Selain itu, Pemerintah Indonesia masih perlu mengambil langkah yang lebih optimal dalam hal proses naturalisasi / pewarganegaraan terhadap anak yang berada di wilayah Indonesia dalam keadaan tanpa kewarganegaraan.

(*Artikel ini dimuat dalam Majalah Mediasi HAM Edisi 20: https://pubhtml5.com/bookcase/afjt/gold)

Layanan Paspor Berbasis HAM bagi Penyandang Disabilitas

Oleh: Wahyono[1]

Pendahuluan

Tingkat kesadaran masyarakat yang semakin tinggi terhadap hak asasinya, diimbangi dengan perkembangan teknologi informasi membuat batasan antara informasi dan kebutuhan manusia semakin dekat. Masyarakat sadar bahwa sebagai Warga Negara miliki hak untuk dilayani, sedangkan kewajiban pemerintah adalah untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat (Hamdani, 2016). Pasalnya, pelayanan publik sejatinya merupakan tanggungjawab pemerintah dan dilaksanakan oleh instansi/lembaga pemerintah tingkat pusat hingga daerah.

Pelayanan publik merupakan unsur penting dalam menggerakkan roda pemerintahan karena bersentuhan dengan masyarakat secara langsung dan menyangkut aspek kehidupan secara merata dan meluas. Implementasi pelayanan sejatinya merupakan agenda untuk pemenuhan hak-hak dasar setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karenanya, Hal tersebut menuntut para penyelenggara pemerintahan untuk terus meningkatkan pelayanan publik terbaiknya. Pelayanan publik yang berkualitas dan bermutu tinggi menjadi tujuan utama setiap organisasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (Rimbawati, 2016).

Namun demikian, karakteristik pelayanan publik yang sebagian besar dilakukan oleh pemerintah bersifat monopolistik, akibatnya pemerintah tidak menemui persaingan pasar. Hal tersebut menyebabkan pengelolaan terhadap pelayanan menjadi kurang perhatian dan kontrol terhadap pelaksanaannya pun menjadi lemah. Hal ini menjadikan tidak jarang pengelola pelayanan untuk mengambil keuntungan pribadi dan bahkan cenderung mempersulit prosedur pelayanannya.

Masyarakat selama ini tidak jarang mengalami kendala untuk mendapatkan pelayanan publik, seperti kurangnya informasi terhadap layanan yang disediakan, kualitas pelayanan yang diberikan juga masih rendah.  Selain itu, masih adanya pungutan di luar ketentuan yang berlaku dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat oleh aparat birokrasi menyebabkan masyarakat semakin distrust. Hal tersebut diperparah dengan tingginya biaya yang harus dibayar dalam upaya mendapatkan pelayanan karena adanya pungutan liar, birokrasi yang panjang dan berbelit-belit juga telah menyulitkan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan. Namun, pelayanan publik tidak semuanya mengecewakan karena pemerintah juga terus gencar untuk meningkatkan pelayanannya ke masayarakat. Salah satu bentuk pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah layanan paspor yang termasuk jenis layanan publik yang dilakukan oleh Kantor Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI. Paspor adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada warga negara Indonesia untuk melakukan perjalanan antarnegara yang berlaku selama jangka waktu tertentu. Paspor merupakan domuken wajib yang harus dimiliki dan dibawa oleh seorang warga negara yang hendak bepergian ke luar negeri, pun termasuk untuk bekerja di negara lain.

Jumlah pemohon paspor pun selalu mengalami tren kenaikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Imigrasi menyebutkan terdapat peningkatan jumlah permohonan paspor dari tahun ke tahun. Pada 2015, terdapat 2.878.099 permohonan paspor. Sementara pada 2016, jumlah permohonan paspor mencapai 3.032.000. Jumlah itu naik pada 2017 menjadi sebanyak 3.093.000 permohonan paspor (Tirto, 2018). Angka tersebut menunjukkan mobilitas warga negara Indonesia untuk bepergian ke luar negeri terus meningkat.

Bagi orang yang tidak memiliki keterbatasan dalam mengurus paspor tentu tidak mengalami kendala untuk melakukan proses demi proses sampai akhirnya bisa mendapatkan paspor yang dimaksud. Namun, hal ini berbeda dengan seseorang dengan keterbatasan fisik atau biasa disebut penyandang disabilitas yang banyak mengalami kendala. Misalnya dalam hal sarana prasarana seperti ketidaktersediaan kursi roda, alat bantu disabilitas dan lainnya. Sesuai undang-undang Nomor 8 Tahun 2016, Penyandang Disabilitas didefinisikan sebagai setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Lebih lanjut, permasalahan lainnya yang mucul seperti adanya perlakuan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas ini. Mereka belum mendapatkan hak dan kesempatan yang sama seperti masyarakat lainnya. Penyandang disabilitas disamakan dengan orang yang tidak berdaya, sakit, tidak memiliki keahlian, dan lain sebagainya. Cara pandang tersebut mengakibatkan pelayanan publik terhadap penyandang disabilitas kurang diperhatikan. Untuk itu, diperlukan kesadaran dari segenap aparat pemerintah bahwa fungsi mereka adalah sebagai abdi masyarakat yang melayani dan bukan abdi negara yang selalu meminta untuk dilayani (Neng Kamarni, 2011). Karena sebagai abdi masyarakat wajib memperlakukan semua orang sesuai dengan hak asasinya tanpa membeda-bedakan satu dengan lainnya, karena setiap orang memiliki hak asasi manusia.

Seiring perubahan zaman, Jaminan layanan terhadap penyandang disabilitas mengalami perbaikan signifikan, agar terhindar dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu sesuai Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 pasal 28 I ayat (2), dan juga berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (3) yang menyatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Disamping dengan Undang-Undang tentang penyandang disabilitas, juga telah dilakukan melalui berbagai Peraturan PerUndang-Undangan, antara lain peraturan yang mengatur masalah ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan. Peraturan perUndang-Undangan tersebut memberikan jaminan kepada Penyandang Disabilitas diberikan kemudahan (aksesibilitas) (Muladi, 2015).

Perubahan paradigma tentang penyandang disabilitas telah membawa dampak positif terhadap pelayanan publik, terutama layanan paspor. Undang-Undang nomor 8 Tahun 2016 menjelaskan tentang hak-hak penyandang disabilitas ini untuk mendapatkan layanan yang manusia tanpa diskriminatif, yaitu a. memperoleh akomodasi yang layak dalam pelayanan publik secara optimal, wajar, bermartabat tanpa diskriminasi; dan b. pendampingan, penerjemahan, dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat layanan publik tanpa tambahan biaya sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pasal 19 ayat (a) dan (b). Kemudian diperkuat lagi dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia (Permenkumham) Nomor 27 Tahun 2018 tentang Penghargaan Pelayanan Publik Berbasis Hak Asasi Manusia. Melalui Permenkumham ini, seluruh layanan yang diselenggarakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) termasuk Kantor Imigrasi pada Direktorat Jenderal Imigrasi yang memiliki wewenang untuk menerbitkan paspor termotivasi untuk menyelenggarakaan pelayanan publik berbasis HAM. Layanan ini bertujuan untuk memberikan acuan, motivasi, dan penilaian terhadap kinerja pelayanan publik yang dilakukan oleh UPT untuk penghormatan, pelindungan, pemenuhan, dan pemajuan HAM sesuai Pasal 2 Permenkumham tersebut.

Selain Peraturan Menteri tersebut, komitmen pemerintah dipertegas dengan mengeluarkan  Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019. Rencana aksi tersebut diterjemahkan kedalam masing-masing institusi Pemerintah, termasuk pada Direktorat Jenderal Imigrasi dimana disebutkan bahwa ukuran keberhasilan yang dicanangkan yaitu tersedianya jalur layanan khusus bagi penyandang disabilitas di seluruh Kantor Imigrasi. Oleh karenanya, layanan bagi penyandang disabilitas terutama dalam memperoleh paspor ini menjadi prioitas dalam mewujudkan layanan publik berbasis Hak Asasi Manusia.

Layanan paspor berbasis HAM bagi penyandang disabilitas didasarkan pada 3 kriteria utama. Kriteria tersebut menjadi pedoman kantor imigrasi untuk menyelenggarakan layanannya, termasuk pada Kantor Imigrasi Kelas I TPI Surakarta yang akan mengusulkan layanan berbasis HAM ini. Pertama, Aksesibilitas dan Ketersediaan Fasilitas bagi pemohon penyandang disabilitas, diantaranya: 1) Maklumat Layanan. Pada Kantor Imigrasi Kelas I TPI Surakarta misalnya, maklumat tersebut sudah dituangkan dalam bentuk poster, spanduk, baliho, running teks, bahkan juga melalui voice (suara). 2) Kotak/loket pengaduan juga sudah ada bahkan pada masing-masing seksi, disertai dengan nomor telepon aduan dengan sifat kerahasiaan bagi pengadu/ pemohon. 3) Tersedianya toilet khusus penyandang disabilitas. Toilet ini merupakan bentuk layanan khusus sesuai Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 pasal 2. 4) Lantai pemandu (guiding block), merupakan area di depan jalur lalu lintas kendaraan, di depan pintu masuk/keluar dari dan ke tangga dan pada terminal transportasi umum, area pedestrian yang menghubungkan jalan dan bangunan, dan pada pemandu arah dari fasilitas umum ke stasiun transportasi umum tersebut (Sari, dkk, 2015). Jalur ini bertujuan untuk membantu memberikan informasi perjalanan bagi masyarakat difabel dengan memanfaatkan tekstur ubin sebagai pengarah dan peringatan (Kurniawan, 2014).

Selanjutnya, 4) Informasi pelayanan publik. Informasi mengenai paspor bagi penyandang disabilitas tersebar di beberapa media, diantaranya facebook, instagram, twitter, website resmi Kantor Imigrasi (Kanim) dan Direktorat Jenderal Imigrasi yang memuat segala jenis paspor mengenai syarat pembuatan paspor, prosedur mendapatkannya, kepastian waktu, hingga biaya yang ditimbulkan, sehingga proses dalam pembuatan paspor sangat akuntabel, jujur, bersih dan ada kepastian. 5) Rambu-rambu kelompok rentan. Penyandang disabilitas termasuk dalam kelompok rentan, memerlukan petunjuk-petunjuk jalan yang memungkinkan mereka dapat melakukan mobilitas seperti halnya orang lainnya. 6) Alat bantu kelompok rentan. Alat bantu bagi penyandang disabilitas yang sangat membantu dalam pelayanan paspor seperti kursi roda, sangat diperlukan mengingat tidak semua penyandang disabilitas membawa sendiri. 7) Jalan landai diperlukan untuk memberikan aksesibilitas agar memudahkan keluar masuk kantor, juga untuk menjaga keselamatan mereka pada saat beraktivitas. 8) Loket layanan khusus penyandang disabilitas. Loket ini biasanya dibedakan dengan loket-loket layanan bagi pemohon biasanya, namun lokasinya masih dalam tempat yang sama. 9) Tempat ibadah juga tersedia guna menjamin pemeluk agama menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing; dan 10) Pusat informasi pelayanan (helpdesk). Layanan ini selalu diletakkan di bagian depan layanan paspor, mengingat semua pertanyaan pemohon biasanya ditujukan pada bagian ini.

Kedua, Ketersediaan Petugas yang Siaga. Pada Kanim Kelas I TPI Surakarta kesigapan petugas ini dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) Piket Layanan. Piket ini dilaksanakan setiap hari pada jam kerja, baik pegawai Pegawai Negeri Sipil (PNS) struktural maupun staff hingga pegawai non PNS terlibat dalam piket layanan ini. Petugas tersebut membantu pemohon termasuk penyandang disabilitas untuk menerima kedatangan mereka di kantor guna mengurus paspor, memberikan informasi prosedur antrian pendaftaran paspor, persyaratan, informasi prosedur pengurusan paspor, jangka waktu penerbitan paspor, hingga bagaimana paspor tersebut dapat diperoleh baik melalui datang langsung maupun dikirim melalui jasa kirim/ekspedisi.

Ketiga, Kepatuhan Pejabat, Pegawai dan Pelaksana Terhadap Standar Pelayanan. Kriteria ini mencakup 3 hal; 1) Antrian pelayanan paspor. Dalam antrian paspor secara online, petugas dapat dipastikan sangat patuh pasalnya pemilihan jadwal antrian paspor dilakukan secara mandiri oleh pemohon dengan sistem, jadi tidak ada lagi pemohon berhadapan langsung dengan petugas. 2) Proses penerbitan paspor baru dan penggantian. Baik penerbitan baru maupun penggantian, sudah dituangkan peraturan tersendiri pada Direktorat Jenderal Imigrasi, dimana paspor akan dapat diambil atau dikirimkan (apabila pemohon menghendaki dikirimkan ke alamat pemohon) setelah 3 hari kerja sejak dilakukannya pembayaran paspor. 3) Perpanjangan ijin tinggal kunjungan. Khusus mengenai ijin tinggal, layanan ini dikhususkan Warga Negara Asing (WNA). Penyandang disabilitas dari WNA juga mendapatkan layanan ini dengan prosedur yang tetap menjunjung hak asasi manusia, baik proses pendaftaran hingga penerbitan perpanjangan ijin tinggal kunjungan dilaksanakan dengan memperhatikan aksesibilitas, ketersediaan fasilitas, ketersediaan petugas yang siaga hingga kepatuhan petugas.

Komitmen layanan berbasis HAM bagi penyandang disabilitas selain ditunjukkan melalui kriteria dan indikator diatas, juga diwujudkan dengan kesempatan bagi mereka untuk membuat paspor di seluruh wilayah Indonesia. Pembuatan paspor tidak tergantung tempat tinggal atau domisilinya, namun kini dapat diproses dan diterbitkan pada kantor imigrasi yang dituju, itu artinya kesempatan melalui mekanisme “exit” dapat dipenuhi. Mekanisme ”exit” berarti bahwa jika pelayanan publik tidak berkualitas maka konsumen harus memiliki kesempatan untuk memilih lembaga penyelenggara pelayanan publik lain yang disukainya. Selain mekanisme tersebut, pemohon juga diberikan kesempatan “voice”, yang artinya adanya kesempatan untuk mengungkapkan ketidakpuasan kepada lembaga penyelenggara pelayanan publik. Pendekatan pelayanan ini senada dengan Teori ”Exit” dan ”Voice” yang lebih dahulu dikembangkan oleh Albert Hirschman (Ratminto, dkk, 2006).

Pelayanan berbasis HAM yang berkualitas diharapkan meniadakan stigmatisasi terhadap penyandang disabilitas, yang dahulunya diangap sebelah mata menjadi bagian individu sebagai seorang warga negara yang memiliki hak-hak yang mestinya dipenuhi oleh pemerintah tanpa diskriminasi sekecil apapun, sehingga penyandang disabilitas merasakan keadilan untuk mendapatkan layanan prima dari pemerintah.

Penutup

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan:

  1. Paradigma pelayanan bagi penyandang disabilitas telah berubah. Mereka tidak lagi dipandang sebelah mata oleh masyarakat ataupun petugas pelayanan, namun memiliki kesempatan dan kesetaraan seperti orang lain;
  2. Penyandang disabilitas memiliki hak-hak asasi yang melekat pada diri mereka sebagai seorang manusia seutuhnya guna mengurus layanan publik berupa penerbitan paspor;
  3. Melalui diterbitkannya Permenkumham mengenai penghargaan layanan berbasis HAM telah mendorong Kantor Imigrasi di seluruh Indonesia untuk meningkatkan layanannya khususnya layanan paspor sesuai dengan hak-hak yang dimiliki warga negara, termasuk penyandang disabilitas;
  4. Kriteria layanan berbasis HAM bagi penyandang disabilitas untuk mengurus paspor menekankan pada 3 (tiga) kriteria: aksesibilitas dan ketersediaan fasilitas; ketersediaan petugas yang siaga; dan kepatuhan pejabat, pegawai dan pelaksana terhadap standar pelayanan.
  5. Inovasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Imigrasi telah memudahkan bagi penyandang disabilitas untuk mengurus penerbitan paspornya secara mandiri, karena mulai dari pendaftaran hingga penerbitan paspor telah diaplikasikan melalui sistem agar meminimalisir interaksi antara pemohon dengan petugas, sehingga potensi pungli dapat ditekan dengan baik.

[1] Penulis adalah pegawai di Kementerian Hukum dan HAM dengan jabatan Analis Keimigrasian Ahli Pertama  pada Kantor Imigrasi Kelas I TPI Surakarta

(*Artikel dimuat dalam Majalah Mediasi HAM 2019, link download: http://ham.go.id/book/majalah-mediasi-ham-19-no-1/ )

Upaya Memenuhi Hak Penyandang Disabilitas

Oleh: Bambang Widodo

Penyandang Disabilitas belum mendapat tempat di masyarakat. Kehadirannya  masih  dipandang sebelah mata. Keterbatasan yang dimiliki, membuat mereka dianggap sebagai kelompok yang lemah, tidak berdaya dan hanya perlu  mendapatkan belas kasihan.  Hak-hak mereka sebagai manusia seringkali diabaikan. Mulai dari hak untuk hidup, hak untuk memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan hingga  hak kemudahan mengakses fasilitas umum.

Padahal Undang-undang  Dasar UUD 1945, sudah dengan tegas  menjamin para penyandang disabilitas.  Setidaknya dalam Pasal 28H ayat (2)  UUD 45, menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Selain itu  pemerintah Indonesia juga telah  meratifikasi   Convention On The Rights Of Persons With Disabillities,  pada 2011 lalu yang tertuamg  dalam Undang-undang No 19 Tahun 2011  tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas). Indonesia merupakan negara ke-107 yang meratifikasi konvensi tersebut.

Dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2001  diatur tentang  hak-hak para   penyandang disabilitas. Mulai dari  hak untuk bebas dari penyiksaan,  perlakuan yang kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, hingga hak untuk  bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena.

Selain itu, penyandang disabilitas juga  berhak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain, termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan pelindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.

Untuk  menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas,  pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 18 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.  Adanya  undang-undang penyadang disabilitas tersebut, tidak saja menjadi payung hukum  bagi penyandang disabilitas, tapi  jaminan  agar kaum disablitas  terhindar dari segala bentuk ketidakadilan, kekerasan dan diskriminasi.

Secara garis besar, Undang-Undang  Penyandang Disabilitas  mengatur mengenai ragam Penyandang Disabilitas, hak Penyandang Disabilitas, pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas. Dengan begitu, nantinya  adanya undang-undang tersebut, akan memperkuat  hak dan kesempatan  yang lebih baik  bagi penyandang disabilitas . Mulai dari hak hidup, hak mendapatkan pekerjaan yang layak, pendidikan yang lebih baik dan kemudahan mengakses fasilitas umum.

Terkait penyandang disabilitas, diatur dalam pasal 1 UU Nomor 18 tahun 2016. Disana disebutkan, bahwa penyadang disabilitas adalah setiap orang yang  mengalami keterbatasn fisik, intelektual, mental atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitasn untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainya berdasarkan kesamaan hak.

Sedang untuk mengimplementasikan UU Penyandang Disabilitas,  pemerintah tengah menyiapkan  8 Rancangan Peraturan Presiden (RPP).   Diantaranya, RPP Pemenuhan Hak  Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas;  Akomdasi Yang Layak Bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan; Layanan Habilitasi dan Rehabilitasi Bagi Penyandang Disabilitas, Akomodasi yang Layak Bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas,  Konsesi dan Insentif  Dalam Penghormatan;

Pemerintah juga telah menyiapkan RPP mengenai Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyadang Disabilitas; Perencanaan,Penyelenggaraan dan Evaluasi  Pelaksanaan  Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.  Selain itu pemerintah juga tengah menyiapkan, RPP Pemenuhan Hak Atas Pemukinan, Pelayanan Publik dan Perlindungan  dari Bencana yang Akses Bagi Penyandang Disabilitas dan RPP Unit Layanan Disabilitas Dalam Ketenagakerjaan.

Tidak hanya sebatas membuat aturan hukum, pemerintah juga telah  mengembangkan sejumlah program untuk melindungi kaum disabilitas. Salah satunya, yakni Program Asistensi Penyadang Disabiltas berat. Selama kurun waktu empat tahun terahir program ini telah  memberikan bantuan  sebanyak 71448 orang.   Ada juga program Keluarga Harapan khusus bagi penyandang disabililitas. Hingga kini sudah ada  73.932 penyandang disabiltas yang mendapat  bantuan program ini. Pemerintah juga telah memberikan bantuan alat bantu bagi penyandang disabiltas sebanyak 3.164 orang

Pendidikan Inklusi

Meski  telah memiliki  payung hukum,  diskriminasi masih terjadi bagi penyadang disabilitas. Salah sektor yang rawan diskriminasi itu adalah pendidikan. Sekedar contoh pada  mekanisme Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN)  tahun 2014 lalu  misalnya masih   mencantumkan  calon mahasiswa disyaratkan tidak tuna netra, tuna runggu, tuna wicara, dan buta warna. Akibatnya, penyandang disabilitas banyak yang  tidak bisa melanjutkan  pendidikan ke perguruan tinggi.  Data di  Badan Pusat Statistik  (BPS) tahun 2015, menyebutkan penyandang disabilitas usia 5-29 tahun hanya 36,49 persen yang sekolah, sebanyak 41,89 persen tidak bersekolah/putus sekolah dan sebanyak  21,61 persen tidak pernah sekolah.

Padahal dalam  Pasal 10  UU No.18 tahun 2016, disebutkan   bahwa penyandang disabilitas berhak untuk mendapatkan layanan  pendidikan.  Hak  tersebut  meliputi  hak untuk mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu di semua  jenis, jalur dan jenjang pendidikan.

UU Nomor 18 tahun 2016 juga mengamanatkan kepada pemerintah  untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi. Hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 40 UU Nomor 8 tahun 2016. Disana disebutkan,  pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan dan memfasilitasi pendidikan untuk penyandang disabilitas disetiap jalur, jenis, dan  jenjang pendidikan sesuai kewenangannya.

Untuk memenuhi amanah  tersebut, pemerintah  telah  mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan inklusi bagi penyandang disabilitas.  Kebijakan itu diatur dalam  Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, tentang sistem Pendidikan Nasional.  Dalam Pasal 15  dan Pasal 32, disebutkan, bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk perserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang  memiliki  kecerdasan luar biasa yang  diselenggarakan secara inklusi baik pada tingkat dasar  maupun   menengah.

Sebagai payung hukum pendidikan inklusi, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Mandikdasmen nomor 380 tanggal  20 Januari  2003 perihal pendidikan inklusif.  Selain itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri  (Permen)  Pendikan  Nasional Nomor 70 tahun 2009 tentang   Pendidikan Inklusif  bagi Perserta Didik yang Memiliki  Kelainan  dan  Memiliki Potensi Kecerdasaan  dan atau   Bakat Istimewa.

Sekedar untuk diketahui, pendidilkan inklusif  merupakan  sistem layanan  pendidikan yang  memberikan kesempatan bagi  penyandang difabel   untuk sekolah  umum dan dikelas reguler  bersamaa  teman seusianya. Dengan pendidikan inklusif  siswa dapat belajar  bersama dengan aksesbilitas yang mendukung untuk semua , tanpa  terkecuali penyandang disabilitas.

Dengan adanya  pendidikan Inklusi,  semua anak  memiliki kesempatan yang sama untuk secara aktif mengembangkan potensi dirinya  dalam lingkungan yang sama. Dengan begitu, dengan adanya pendidikan inklusi, penyandang disabiitaas akan membuat mereka terbiasa  berinteraksi tidak hanya dengan sesama penyandang disabilitas.

Adanya, pendidikan inklusi juga menunjukan adanya pengakuan dan penghargaaan  terhadap keragaman. Pendidilkan inklusif merupakan pendidikan non diskriminatrif. Hal ini  karena  pendidikan inkusfi memiliki prinsip terbuka,  tanpa diskriminatif,  peka terhadap  setiap perbedaan, relevan dan akomodatif terhadap cara belajar, dan berpusat pada kebutuhan dan keunikan  peserta didik.

Saat ini menurut data di Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hingga 2010, jumlah sekolah yang menyelenggarakan  pendidikan inklusif sebanyak 814 sekolah dengan jumlah siswa mencapai 15.181 orang.

Pemenuhan hak pendidikan bagi penyandang disabiltas melalui pendidikan inklusi telah pula dirasakan masyarakat di daerah. Sejumlah pemerintah daerah sudah banyak  menyelenggarakan pendidikan inklusi. Bahkan, ada beberapa kota  yang mendeklarasikan sebagai kota inklusif.

Hasil penelitian yang dilakukan  Eta Yuni Lestani, 2017  di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah  misalnya,  menyebutkan  penyandang disabilitas  sudah mendapatkan fasilitas pendidikan,  mulai dari jenjang  pendidikan Taman Kanak-kanak  (TK) hingga  Sekolah  Menengah  Atas (SMA).

Hanya saja,  dalam upaya memenuhan hak pendidikan bagi penyandang disabilitas  ada sejumlah persoalan yang  dihadapi.  Salah satunya, tidak adanya Balai Rehabilitas milik pemerintah, terbatasnya anggaran yang tersedia untuk penyandang disabilitas, dan  terbatasnya sumber daya manusia  yang kompeten.   Di sekolah  insfratruktur untuk penyandang disabilitas juga masih  terbatas.

Hasil penelitian  tersebut juga menemukan kurangnya kesadaran keluarga akan pentingnya pendidikan bagi  penyandang disabilitas. Mereka cenderung malu  memiliki anak penyandang disabilitas. Akibatnya, mereka lebih memilih untuk  tidak menyekolahkan anaknya.

Dalam praktiknya, penyelenggaraan pendidikan inklusi  memang masih  memiliki banyak kendala. Tidak hanya di Indonesia.  Di Inggris misalnya,  Richard Rieser (2000) dalam esai Special Educational Needs or Inclusive Education: The Challenge of Disability Discrimination in Schooling mengungkapkan salah satu hambatan dalam penyelenggaraan praktik pendidikan inklusi adalah lingkungan yang tidak ramah dan menyulitkan bagai  anak-anak  penyandang disabiltas  untuk  melaksanakan proses pembelajaran.

Richard Rieser,  menawrkan solusi, agar  pendidikan inklusi dapat terselenggara secara efektif, sebuah sekolah inklusi harus mengadopsi cara pandang social model terhadap difabel. Dalam mengadopsi social model ini, para guru dan sekolah harus peduli terhadap tantangan yang menghambat pendidikan inklusi. Diantaranya, yakni hambatan fisik, komunikasi, sosial, dan kurikulum.

Richard Rieser, menjelaskan, hambatan fisik terjadi ketika tata arsitektural gedung sekolah dan media pembelajaran yang  tidak aksesibel bagi penyandang disabilitas. Sedangkan hambatan komunikasi, salah satunya  tidak adanya pemahaman mengenai kebutuhan akan bahasa isyarat dan huruf braille.

Hambatan lain yang mungkin dihadapi oleh penyandang disabiltas adalah dalam membangun pertemanan. Anak penyandang disabiltas cenderung kesulitan berteman. Akibatnya mereka  terisolasi dari  pergaulan di sekolah.  Richard Rieser menemukan banyak kasus terjadi di sekolah-sekolah inklusi, anak penyandang disabiltas  menjadi  bahan olok-olok dari teman-temannya.

Terakhir, tantangan yang paling sering terjadi adalah kurikulum. Saat ini, kurikulum di sekolah inklusi seperti materi, metode, dan sistem evaluasi belajar masih diskriminatif terhadap anak penyandang disabiltas.  Padahal, tanpa adanya penyesuaian dan akomodasi dalam kurikulum, anak-anak penyandang disabiltas  akan kesulitan dalam mengikuti proses belajar di sekolah inklusi.

 Peluang  Kerja  Penyandang Disabiltas

Seperti diketahui, setiap orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan. Tidak terkecuali bagi penyandang disabilitas.  Data di  Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial menyebutkan  pada 2012 lalu, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 1.250.780 orang. Mereka terdiri dari tuna daksa, tunanetra, tuli dan penyandang disabilitas mental.

Ironisnya, dari jumlah penyandang disabilitas  tersebut, tidak semuanya bisa memperoleh pekerjaan. Kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh pekerjaan  masih sangat rendah.  Data di Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) menyebutkan, pada tahun 2014  jumlah penyandang disabiltas yang tidak bekerja sebanyak 1,5 juta orang.

Sedangkan hasil pendataan yang telah dilakukan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Departemen Sosial pada tahun 2008 tercatat sebesar 74,4% penyandang disabilitas adalah pengangguran alias tdak bekerja, dan sebesar 25,6% penyandang disabilitas memiliki pekerjaan. Jenis pekerjaan yang kerap dijalani  yakni petani,  buruh dan jasa.

Padahal, dalam pasal 53 ayat (1) UU Penyandang Disabilitas menyebutkan,  pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, wajib mempekerjakan  paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas  dari jumlah pegawai. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan,  mewajiban perusahaan swasta untuk memperkerjakan paling sedikit satu persen penyandang disabilitas dari jumlah pekerja.

Ada banyak faktor yang menyebabkan, para penyandang disabilitas tidak mendapat kesempatan untuk bekerja. Hasil penelitian yang dilakukan Susilowati (2004) menyebutkan penyebab perusahaan tidak memperkerjakan penyandang disabilitas, karena perusahaan tidak memiliki informasi yang  cukup mengenai bagaimana perusahaan dapat merekrut tenaga kerja penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas yang memiliki keterampilan yang sesuai kebutuhan perusahaan.

Selain itu, masih terdapat persepsi yang salah mengenai tenaga kerja penyandang disabilitas yang dianggap sebagai beban perusahaan. Padahal menurut  laporan yang dirilis ILO (2011), mengabaikan potensi produktif penyandang disabilitas di dunia kerja mengakibatkan kerugian bagi masyarakat bahkan negara. ILO memperkirakan sebanyak 3 hingga 7 persen produktifitas penyandang disabilitas memengaruhi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Padahal, menurut Roberge, Lewicki, Hietapelto, dan Abdyldaeva (2011),    pengelolaan tenaga kerja bagi penyandang disabilitas jika dilaksanakan dengan baik akan memberikan pengaruh besar bagi kemajuan perusahaan, baik melalui peningkatan loyalitas karyawan (employee retention), peningkatan citra perusahaan, perluasan pasar, serta penurunan tingkat absensi dan turnover karyawan.

Hasil penelitian yang  dilakukan Sari Dewi Poerwanti,  yang bertajuk   “Pengelolaan Tenaga Kerja Difabel untuk Mewujudkan  Workplace Inclusion di PT. Trans Retail Indonesia” menunjukan bahwa  pengelolaaan tenaga kerja penyandang disabilitas di PT Trans Retail Indonesia telah mencapai level awareess dalam level kematangan diversity dan inklusi. Hal ini dapat diartikan bahwa perusahaan memiliki modal awal yang cukup untuk mengembangkan diversity management yang menjunjung asas-asas workplace inclusion.

Selain itu, hasil penelitian itu juga menunjukan,  PT. Trans Retail Indonesia  merekrut tenaga kerja penyandang disabilitas tidak berlandas pada amal (charity base) namun berlandaskan hak asasi manusia (human right base) dan perundangan. Karena itu calon tenaga kerja disabilitas di seleksi dan ditempatkan berdasarkan kemampuan dan kebutuhan perusahaan.

Dalam pemberian balas jasa perusahan juga menjunjung asas keadilan dan kesetaraan,  dimana seluruh karyawan di gaji berdasarkan upah minimum regional (UMR) dan kinerja mereka selama bekerja. Perusahaan juga mengakui dan menghargai potential benefit yang diperoleh dari karyawan penyandang disabilitas seperti kepribadian yang baik, keterampilan kerja khusus, meningkatkan penjualan produk, menciptakan lingkungan kerja yang ramah, dan meningkatkan citra perusahaan.

Melalui program magang ANGKASA, PT. Trans Retail Indonesia   juga telah melakukan upaya empowerment bagi penyandang disabilitas. Mereka dikenalkan dengan dunia kerja, sistem kelola usaha retail, dan hal teknis lainnya. Hal ini berguna untuk mencetak penyandang disabilitas menjadi karyawan yang siap pakai dengan keterampilan yang sesuai dengan usaha retail  seperti Carrefour.

Hanya saja, dari segi penyediaan aksesibilitas, PT. Trans Retail Indonesia  belum memenuhi akses bangunan yang ramah penyandang disabilitas. Seperti K3 khusus karyawan penyandang disabilitas, akses bangunan, jalan dan transportasi. Hal tersebut mengakibatkan perusahan harus menfokuskan pada jenis disabilits tunarungu saja.

Selain itu, penelitian itu juga menemkan belum adanya  sistem pengelolaan tenaga kerja penyandang disabilitas  yang tersusun secara formal dan menyeluruh di perusahaan. Meski begitu PT. Trans Retail Indonesia   dianggap mampu menjaga komitmen dalam mengembangkan pengelolaan tenaga kerja penyandang disabilitas,  meskipun belum sepenuhnya inklusif. Seiring dengan perjalanan waktu tentu komitmen perusahaan diharapkan akan mengarah pada sistem kelola yang lebih komperhensif sehingga mencapai workplace inclusion. ***

(*Artikel dimuat dalam Majalah Mediasi HAM 2019, link download: http://ham.go.id/book/majalah-mediasi-ham-19-no-1/ )

Skip to content