SIARAN PERS NOMOR : HAM.1-HH.01.07-37/HUMAS/15.09.2024
Jakarta – Direktur Jenderal HAM, Dhahana Putra, menyoroti adanya tren peningkatan anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) belakangan di tanah air. Menurutnya kondisi semacam ini membuat adanya dorongan publik agar pemerintah melakukan langkah yang lebih efektif untuk mencegah terjadinya ABH.
“Harus diakui, meningkatnya kasus kejahatan serius seperti pembunuhan dan kekerasan seksual yang melibatkan anak belakangan, menimbulkan pertanyaan bagaimana agar pendekatan restorative justice kepada ABH ini dapat berjalan dengan efektif” kata Dhahana.
Sejatinya, Direktur Jenderal HAM menjelaskan, pemerintah telah memiliki regulasi yang secara khusus menjawab persoalan ini sejak 12 tahun silam yaitu Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Tujuan disusunnya regulasi ini agar melindungi hak anak dan memberikan pendekatan restoratif, yang artinya mengutamakan pemulihan dan rehabilitasi daripada hukuman berat.
“UU SPPA ini mencoba mencegah anak-anak yang terlibat dalam kejahatan agar tidak terjerumus lebih dalam dengan cara mengalihkan penyelesaian kasus ke luar sistem peradilan pidana jika memungkinkan,” imbuhnya.
Namun, mengingat adanya tren peningkatan ABH yang juga menjadi sorotan publik belakangan, Dhahana memandang adanya keperluan untuk melakukan penyesuaian terkait UU SPPA. Ia menilai ada kebutuhan untuk standar prosedur yang lebih jelas, terutama untuk kasus-kasus dengan ancaman pidana di atas tujuh tahun.
“Penyesuaian ini harus memperjelas kapan rehabilitasi dapat diberikan dan kapan proses hukum formal lebih sesuai. Dengan juga mempertimbangkan keadilan bagi korban, dan di sisi lain tentu tanpa mengabaikan hak anak,” jelas Dhahana.
Dhahana juga tidak menampik adanya dorongan publik untuk melakukan revisi UU SPPA. Diharapkan dengan pada revisi UU SPPA mendatang dapat membuat proses hukum lebih adil dan sesuai dengan dinamika tindak kriminal yang berkembang.
“Dengan penyesuaian ini, diharapkan anak-anak yang terlibat dalam kejahatan dapat mendapatkan kesempatan rehabilitasi yang efektif, sementara hak-hak korban juga tetap terjaga,” pungkasnya.