Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021
Pemohon:
Bahwa permohonan pengujian UU 37/2004 dalam perkara 23/PUU-XIX/2021 diajukan oleh PT. Sarana Yeoman Sembada diwakili oleh Sanglong alias Samad selaku Direktur PT Sarana Yeoman Sembada, yang memberikan kuasa kepada Husendro, S.H., M.H., Joan Gracia Patricia, S.H., M.H., para Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor HUSENDRO & PARTNERS..
Pokok Perkara:
Pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Permasalahan:
Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengujikan Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 yang berketentuan sebagai berikut:
Pasal 235 ayat (1)
“Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apa pun.”
Pasal 293 ayat (1)
“Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”
Pasal 295 ayat (1)
“Terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Bahwa pasal-pasal a quo dianggap Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 karena pasal-pasal a quo telah menyebabkan kerugian konstitusional bagi Pemohon.
Pertimbangan Hukum:
Bahwa terhadap pengujian UU 37/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi kriteria sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali. Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.8.1] Bahwa Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 pernah diajukan pengujiannya kepada Mahkamah dalam Perkara Nomor 17/PUUXVIII/2020 dan telah diputus pada 23 Juni 2020, dengan amar putusan, “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya”;
[3.8.2] Bahwa dalam perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 tidak mencerminkan asas keadilan dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena adanya pembatasan upaya hukum, sehingga tidak tertutup kemungkinan celah tersebut dimanfaatkan untuk merekayasa persaingan bisnis yang tidak sehat dengan tujuan menjatuhkan dan menghentikan bisnis kompetitornya melalui pengadilan niaga;
[3.8.3] Bahwa adapun dalam perkara a quo, Pemohon sebagaimana terurai dalam Paragraf [3.7] pada pokoknya mendalilkan adanya kesempatan yang diberikan kepada kreditor untuk mengajukan permohonan PKPU dapat digunakan untuk mempailitkan perusahaan atau badan usaha yang masih solven, padahal tidak ada upaya hukum apapun. Sementara itu, dalam undang-undang yang sama, perkara permohonan pailit yang juga berujung dijatuhkannya putusan pailit diberikan akses keadilan untuk mendapatkan upaya hukum, baik kasasi maupun peninjauan kembali. Hal ini tentu menunjukkan adanya ketidakadilan dan ketidakpastian serta diskriminasi upaya hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan hal tersebut Pemohon memohon agar Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
[3.8.4] Bahwa meskipun dalam Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 dan permohonan a quo menggunakan dasar pengujian yang sama yakni Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, akan tetapi dalam uraiannya Pemohon a quo menguraikan pertentangan pasal-pasal yang diuji tidak hanya dengan ketidakadilan namun juga ketidakpastian dan diskriminasi upaya hukum yang juga merupakan nilai atau asas yang terdapat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan Pemohon a quo dengan Perkara Nomor 17/PUUXVIII/2020 yakni Pemohon a quo secara spesifik telah menguraikan alasan tidak adanya upaya hukum apapun terhadap putusan PKPU yang permohonannya diajukan oleh kreditor sebagaimana dialami oleh Pemohon. Oleh karena itu, dalam petitum permohonan Pemohon a quo memohon menyatakan pasal-pasal yang diuji tidak sekadar inkonstitusional sebagaimana yang dimohonkan dalam Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020, namun inkonstitusional bersyarat. Terlebih lagi, dalam permohonan a quo pasal yang diuji tidak hanya Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 sebagaimana Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020, akan tetapi juga terdapat pengujian terhadap Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 yang menentukan ketiadaan upaya hukum peninjauan kembali terhadap persoalan konstitusional yang dihadapi Pemohon;
[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan atau tidak, secara formal permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali.
[3.10] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon memenuhi Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut. …
[3.17] Menimbang bahwa setelah membaca dan mencermati secara saksama 4 permohonan Permohon beserta alat-alat bukti yang diajukan, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan Pihak Terkait Mahkamah Agung, keterangan Pihak Terkait IKAPI, dan keterangan Pihak Terkait AKPI, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan dalil-dalil permohonan Pemohon sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa berkenaan dengan permohonan PKPU tidak dapat dilepaskan dari keadaan keuangan seorang debitor yang mengalami kesulitan, sehingga berpotensi adanya ketidakmampuan membayar utang-utangnya dan oleh karenanya diperlukan beberapa upaya antara lain:
1. mengadakan perdamaian di luar pengadilan dengan para kreditornya atau di dalam pengadilan apabila debitor digugat secara perdata;
2. mengajukan permohonan PKPU termasuk mengajukan perdamaian dalam PKPU;
3. mengajukan permohonan agar debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan termasuk mengajukan perdamaian dalam kepailitan.
Berkenaan dengan beberapa alternatif di atas, salah satu pilihan terbaik yang dapat dilakukan oleh debitor adalah dengan mengajukan permohonan PKPU kepada pengadilan niaga. Sebab, pilihan demikian sama halnya dengan debitor akan mendapatkan kesempatan untuk menata kembali kemampuan keuangannya dan pada akhirnya dapat dihindari akibat fatal yang dialami debitor pailit. Oleh karena itu, debitor mendapat kesempatan untuk menata kelangsungan usahanya serta memperoleh manfaat waktu, ekonomi, dan kepastian hukum. Dengan mendapatkan kesempatan untuk mengajukan permohonan PKPU, debitor dapat bermusyawarah dengan para kreditor tentang cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila diperlukan dan disepakati untuk melakukan restrukturisasi atas utang-utang debitor tersebut.
Bahwa berkenaan dengan permohonan PKPU dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (UU 4/1998) yang menjadi “cikal bakal” UU 37/2004 pada dasarnya hanya memberikan hak kepada debitor untuk mengajukan permohonan PKPU dengan alasan debitor tidak dapat atau memperkirakan bahwa debitor tidak akan dapat melanjutkan membayar utangutangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih [vide Pasal 212 UU 4/1998]. Namun, dalam ketentuan Pasal 222 ayat (1) UU 37/2004 permohonan PKPU tidak hanya diajukan debitor, akan tetapi juga dapat diajukan oleh kreditor. Hal demikian yang kemudian menimbulkan persoalan yang disebabkan adanya ketidaksesuaian antara tujuan permohonan PKPU, yang semula adalah menjadi instrumen bagi debitor di dalam menghindari adanya kepailitan dengan mengajukan permohonan PKPU, namun pada kenyataannya akibat pailit tersebut tidak dapat dihindari apabila permohonan PKPU diajukan oleh kreditor dan tidak diperoleh adanya perdamaian.
[3.17.2] Bahwa perspektif perdamaian a quo merupakan instrumen fundamental yang menjadi parameter keberhasilan permohonan PKPU. Sebab, tujuan yang paling hakiki dimohonkannya permohonan PKPU adalah untuk mencapai kesepakatan antara debitor dan kreditor dalam rencana menyelesaikan utang debitor baik sebagian atau seluruhnya serta dilakukannya restrukturisasi utangutang debitor tersebut. Oleh karena itu, kesepakatan adanya perdamaian atas rencana penyelesaian utang dan restrukturisasi utang debitor dimaksud meskipun berasal dari kedua belah pihak, debitor dan kreditor, akan tetapi debitorlah yang sesungguhnya mengetahui secara pasti tentang keadaan kemampuan keuangannya yang kemudian dijadikan bagian pada klausula-klausula dalam mengajukan skema pembayaran kepada kreditor. Dengan demikian, filosofi permohonan PKPU secara natural awalnya hanya menjadi hak dari debitor adalah berkenaan dengan argumentasi bahwa hanya debitorlah sesungguhnya yang mengetahui kemampuan pembayaran atas utang-utangnya. Oleh karena itu, persoalan mendasar yang harus diuraikan oleh Mahkamah selanjutnya adalah berkenaan dengan permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor.
[3.17.3] Bahwa berkaitan dengan permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor secara terminologi adalah hak yang diberikan kepada kreditor untuk mengajukan permohonan dengan alasan kreditor memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan memohon agar debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya [vide Pasal 222 ayat (3) UU 37/2004]. Lebih lanjut, secara doktriner dapat dijelaskan, hak untuk mengajukan permohonan PKPU oleh kreditor didasarkan pada pertimbangan salah satunya penerapan asas keseimbangan dan asas keadilan. Artinya, apabila debitor benar-benar mengalami kesulitan untuk melakukan rencana pembayaran atas utangnya terhadap kreditor maka kepada kreditor diberi hak untuk mengajukan permohonan PKPU agar debitor tidak dalam keadaan yang semakin sulit di dalam menyelesaikan utang-utangnya, sehingga dapat dihindari adanya kepailitan. Oleh karena itu, “niat baik” dari kreditor seharusnya tidak boleh tercederai oleh tujuan lain yang justru akan menghadapkan debitor dalam posisi dapat kehilangan kesempatan untuk melanjutkan kelangsungan usahanya dan “terjebak” dalam keadaan pailit.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menjadi sangat penting untuk memberikan penegasan bahwa sepanjang permohonan PKPU masih dapat diajukan oleh kreditor perlu dilakukan kontrol atas itikad baik dari kreditor agar benar-benar tidak mencederai “niat baik” tersebut, sehingga eksistensi debitor yang menjadi bagian dari pelaku usaha yang turut berperan dalam menjaga stabilitas ekonomi tetap terjaga kelangsungan usahanya dan justru tidak disalahgunakan. Dengan demikian, kepastian hukum instrumen PKPU benar-benar dapat diwujudkan sesuai dengan semangat dari UU 37/2004 yaitu memberikan perlindungan hukum terhadap para pelaku usaha agar tidak mudah dipailitkan.
[3.18] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah menguraikan lebih jauh berkenaan dengan permohonan Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan permohonan a quo dengan Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 yang dalam amar putusannya pada pokoknya menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 adalah konstitusional. Namun demikian, setelah Mahkamah mencermati permohonan maupun amar putusan dalam Perkara Nomor 17/PUUXVIII/2020 tersebut, telah ternyata isu pokok yang dijadikan alasan dalam permohonannya tidak terkait dengan “agar dapat dilakukannya upaya hukum terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor”. Dengan demikian, berkaitan dengan putusan dalam permohonan a quo Mahkamah berpendapat dimungkinkan adanya perubahan pendirian oleh Mahkamah yang disebabkan karena adanya persoalan fundamental yang berkenaan dengan upaya hukum terhadap permohonan PKPU yang diajukan kreditor sebagaimana mengemuka dalam pemeriksaan persidangan perkara a quo. Khususnya, keterangan dari Pihak Terkait baik Mahkamah Agung maupun IKAPI. Oleh karena itu, perubahan pendirian demikian adalah hal yang dapat dibenarkan dan konstitusional sepanjang mempunyai ratio legis yang dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana telah Mahkamah uraikan pada pertimbangan hukum di atas.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan pertimbangan hukum tersebut di atas, sesungguhnya yang paling mengetahui secara konkret berkenaan dengan kemampuan keuangan atau finansial adalah debitor dan agar putusan pengadilan atas permohonan PKPU yang diajukan kreditor dapat dilakukan koreksi sebagai bagian dari mekanisme kontrol atas putusan pengadilan pada tingkat di bawah. Terlebih, terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian yang diajukan oleh debitor ditolak oleh kreditor, hal demikian tidak tertutup kemungkinan terdapat adanya “sengketa” kepentingan para pihak yang bernuansa contentiosa dan bahkan terhadap putusan hakim pada tingkat di bawah dapat berpotensi adanya keberpihakan atau setidak-tidaknya terdapat kemungkinan adanya kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim, maka Mahkamah berpendapat terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian dari debitor ditolak oleh kreditor diperlukan adanya upaya hukum.
Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan upaya hukum a quo Mahkamah mempertimbangkan, esensi permohonan PKPU adalah perkara yang berdimensi diperlukan adanya kepastian hukum yang cepat dalam lapangan usaha dan terkait dengan stabilitas perekonomian suatu negara, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU 37/2004 yang antara lain menjelaskan, “Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya.” Oleh karena itu, berkenaan dengan upaya hukum tersebut cukup dibuka untuk satu kesempatan (satu tingkat) dan terkait dengan upaya hukum dengan alasan karena adanya kemungkinan kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim di tingkat bawah, Mahkamah berkesimpulan jenis upaya hukum yang tepat adalah kasasi (tanpa dibuka hak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali). Sementara itu, untuk permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian dari debitor diterima oleh kreditor maka hal tersebut tidak ada relevansinya lagi untuk dilakukan upaya hukum.
[3.19] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tidak diterimanya tawaran perdamaian yang diajukan oleh debitor dapat diajukan upaya hukum kasasi, oleh karena itu sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap pasal-pasal lain yang terdapat dalam UU 37/2004 yang tidak dilakukan pengujian dan terdampak dengan putusan a quo maka pemberlakuannya harus menyesuaikan dengan putusan perkara ini. Demikian halnya, guna mengatur lebih lanjut berkenaan dengan mekanisme pengajuan upaya hukum kasasi sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, maka Mahkamah Agung secepatnya membuat regulasi berkaitan dengan tatacara pengajuan upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor di mana tawaran perdamaian dari debitor telah ditolak oleh kreditor.
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat norma Pasal 235 ayat (1) yang menyatakan “Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun” dan Pasal 293 ayat (1) yang menyatakan “Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini” UU 37/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila tidak dikecualikan diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor. Sementara itu, terhadap norma Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 yang menyatakan, “Terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini” oleh karena hal ini berkaitan dengan upaya hukum peninjauan kembali dan sebagaimana telah dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum sebelumnya terhadap upaya hukum peninjauan kembali a quo tidak dibenarkan dengan alasan untuk menghindari pembengkakan jumlah perkara di Mahkamah Agung dan demi kepastian hukum dalam kelangsungan dunia usaha. Di samping itu, oleh karena sifat perkara kepailitan dan PKPU adalah perkara yang berdimensi “cepat” (“speedy trial”) dengan demikian dalil Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 telah terbukti menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sedangkan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. [3.22] Menimbang bahwa terhadap dalil dan hal-hal lain dari permohonan dipandang tidak relevan, oleh karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
Amar Putusan:
- Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
- Menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor”;
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
- Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Putusan Nomor 21/PUU-XIX/2021
Pemohon:
Bahwa permohonan pengujian KUHP dalam perkara Nomor 21/PUU-XIX/2021, diajukan oleh Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga.
Pokok Perkara:
Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Permasalahan:
Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian terhadap Pasal 288 dan Pasal 293 KUHP yang berketentuan sebagai berikut:
Pasal 288 KUHP
(1) “Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan lukaluka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Pasal 293 KUHP
(1) “Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam Pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing Sembilan bulan dan dua belas tahun.”
Bahwa pasal-pasal a quo dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 karena dinilai telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon.
Pertimbangan Hukum:
Bahwa terhadap pengujian KUHP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa berkaitan dengan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada esensinya adalah berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 288 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) dan ayat (2) KUHP sebagaimana inti petitum para Pemohon yang dapat dipahami Mahkamah pada Paragraf [3.7] angka 4. Terhadap hal tersebut penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan norma Pasal 288 KUHP (dikutip dari buku KUHP terbitan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Tahun 2010) yang selengkapnya berbunyi:
- Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan lukaluka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
- Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.
- Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Sedangkan norma Pasal 293 KUHP (dikutip dari buku KUHP terbitan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Tahun 2010) selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
- Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah-lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
- Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
- Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
Selanjutnya berkenaan dengan norma di atas, para Pemohon pada pokoknya memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 288 ayat (1) KUHP sepanjang frasa “belum waktunya untuk dikawin” dan Pasal 293 ayat (1) KUHP sepanjang frasa “belum dewasa” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “batas umur 19 Tahun”. Begitu pula, dengan Pasal 293 ayat (2) KUHP, para Pemohon memohon agar norma a quo dimaknai secara bersyarat sepanjang frasa “penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu” (delik aduan absolut) diubah menjadi delik biasa.
Terhadap permohonan para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan berkaitan “batas umur” sebagai usia minimal untuk dapat melangsungkan perkawinan, Mahkamah telah menegaskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 tanggal 13 Desember 2018 yang dalam Paragraf [3.17] antara lain, menyatakan sebagai berikut:
“… Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 sepanjang frasa “umur 16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca “umur 19 (sembilan belas) tahun” sebagaimana dimohonkan para Pemohon dalam petitumnya.
Bahwa sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, penentuan batas usia minimal perkawinan merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Apabila Mahkamah memutuskan batas minimal usia perkawinan, hal tersebut justru akan menutup ruang bagi pembentuk undang-undang di kemudian hari untuk mempertimbangkan lebih fleksibel batas usia minimal perkawinan sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, Mahkamah memberikan waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun kepada pembentuk undang-undang untuk sesegera mungkin melakukan perubahan kebijakan hukum terkait batas minimal usia perkawinan, khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974. Sebelum dilakukan perubahan dimaksud, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 masih tetap berlaku.
Bahwa apabila dalam tenggang waktu tersebut pembentuk undangundang masih belum melakukan perubahan terhadap batas minimal usia perkawinan yang berlaku saat ini, demi untuk memberikan kepastian hukum dan mengeliminasi diskriminasi yang ditimbulkan oleh ketentuan tersebut, maka batas minimal usia perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 diharmonisasikan dengan usia anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak dan diberlakukan sama bagi laki-laki dan perempuan.”
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum tersebut di atas, berkenaan dengan batas usia termasuk dalam hal ini batas usia perkawinan sesungguhnya Mahkamah telah menegaskan batas dimaksud yang kemudian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menyatakan batas usia dimaksud adalah 19 (sembilan belas) tahun. Dengan demikian, frasa “belum waktunya untuk dikawin” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 288 ayat (1) KUHP dan frasa “belum dewasa” dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP telah terjawab dengan perubahan norma dimaksud. Namun demikian, perubahan yang berkaitan dengan penentuan batas usia bukanlah menjadi kewenangan Mahkamah untuk menentukannya. Oleh karena itu, melalui Putusan a quo Mahkamah menegaskan agar pembentuk undang-undang untuk menyesuaikan batas usia dalam frasa “belum waktunya untuk dikawin” dalam Pasal 288 ayat (1) KUHP dan frasa “belum dewasa” dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP pada perubahan KUHP sesuai dengan semangat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 tersebut.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 288 ayat (1) KUHP, sepanjang frasa “belum waktunya untuk dikawin”, dan Pasal 293 ayat (1) KUHP sepanjang frasa “belum dewasa” adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon terkait dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 293 ayat (2) KUHP agar dimaknai secara bersyarat sepanjang frasa “penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu” (delik aduan absolut) diubah menjadi delik biasa. Terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa berkenaan dengan korban tindak pidana dalam perbuatan asusila termasuk dalam hal ini tindak pidana pencabulan yang menjadi korban tidak saja orang dewasa akan tetapi sangat dimungkinkan dialami oleh anak di bawah umur. Oleh karena itu, berkaitan dengan syarat untuk dapat diprosesnya tindak pidana tersebut diperlukan adanya laporan berkenaan dengan telah terjadinya peristiwa pidana yang hal tersebut dapat dilakukan oleh masyarakat maupun korban secara langsung.
Secara doktriner laporan adanya peristiwa pidana dapat dilakukan oleh masyarakat terutama terjadi pada tindak pidana biasa yang tidak dipersyaratkan adanya keharusan pengaduan dari pihak yang menjadi korban (delik biasa) [vide Pasal 108 ayat (1) KUHAP]. Namun demikian, terdapat peristiwa pidana yang diperlukan adanya persyaratan khusus untuk dapat ditindaklanjuti peristiwa pidana tersebut pada tingkat penyidikan dengan syarat secara khusus harus ada pelaporan atau pengaduan dari korban, sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP. Berkenaan dengan persyaratan dimaksud penting bagi Mahkamah untuk menyatakan faktor usia atau kedewasaan memiliki peran berkenaan dengan ada tidaknya laporan tersebut sebagai syarat formal untuk dapat ditindaklanjutinya suatu peristiwa pidana. Dalam hal ini, dalam batas penalaran yang wajar, bilamana korban dari tindak pidana adalah anak di bawah umur, anak di bawah umur dimaksud memiliki banyak keterbatasan untuk melaporkan peristiwa pidana yang dialaminya. Sehingga, sulit bagi proses penegakan hukum yang hanya mengandalkan untuk dilakukannya penyidikan terhadap laporan korban, in casu yang korbannya adalah anak di bawah umur yang secara pengetahuan, psikologis, dan lain-lain memiliki banyak keterbatasan. Sementara itu, korban yang merupakan anak di bawah umur akan membawa dampak sangat serius berkaitan dengan kelangsungan masa depan korban anak di bawah umur yang bersangkutan. Namun demikian, berkenaan dengan laporan atau pengaduan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP acapkali menimbulkan dilema, di mana tidak setiap korban termasuk keluarga korban menghendaki adanya laporan atau pengaduan tersebut dengan pertimbangan akan terbukanya aib atas peristiwa pidana yang menimpa korban. Namun demikian, di sisi lain tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP adalah tindak pidana yang serius dan tidak dapat dibenarkan, baik dari sisi agama, kesusilaan, maupun ketertiban umum. Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan antara perlindungan terhadap korban dan penegakan hukum atas tindak pidana yang telah dilakukan maka ketiadaan laporan atau pengaduan dari korban tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mengungkap peristiwa pidana tersebut. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat untuk mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh korban anak di bawah umur, di samping dapat dilaporkan atau diadukan oleh anak dimaksud, laporan atau pengaduan terhadap peristiwa pidana yang terjadi dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, syarat pelaporan atau pengaduan berkenaan dengan korban anak di bawah umur dalam tindak pidana Pasal 293 ayat (2) KUHP menurut Mahkamah harus dilakukan penyesuaian agar dapat mengakomodir perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sebagaimana telah dipertimbangkan tersebut di atas. Oleh karena itu, terhadap frasa “penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu” sebagaimana termaktub dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengaduan dapat dilakukan tidak hanya oleh korban akan tetapi dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya”. Dengan demikian, dalil para Pemohon selebihnya berkaitan dengan norma Pasal 293 ayat (2) KUHP a quo harus dimaknai dari “delik aduan absolut” menjadi “delik biasa” tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan. Sebab, dengan telah dimaknainya norma Pasal 293 ayat (2) KUHP berkaitan dengan pengaduan dapat dilakukan tidak hanya oleh korban akan tetapi dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya. Oleh karena itu, delik aduan absolut yang termaktub dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP dengan sendirinya menjadi delik aduan relatif.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 293 ayat (2) KUHP telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan telah menghilangkan hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabat sebagaimana termaktub dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil-dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil para Pemohon lainnya dan halhal lain yang tidak relevan tidak dipertimbangkan lebih lanjut, sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Amar Putusan:
- Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian;
- Menyatakan ketentuan norma Pasal 293 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak
dimaknai “pengaduan dapat dilakukan tidak hanya oleh korban akan tetapi
dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya”; - Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya; - Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Putusan Nomor 70/PUU-XVII/2019
Pemohon: Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D., Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H., Eko Riyadi, S.H., M.H., Ari Wibowo, S.H., S.HI., M.H., dan Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H.
Pokok Perkara:
Permohonan Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Permasalahan: Norma Pasal 24 dan Pasal 45A ayat (3) huruf a UU 19/2019 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena sebagian pegawai KPK yang ada saat ini tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pegawai ASN, terutama bagi mereka yang telah berusia 35 tahun sehingga akan kehilangan pekerjaannya atau setidak-tidaknya tidak dapat lagi mengembangkan kariernya di KPK serta berpotensi terjadinya kekosongan jabatan dalam KPK sehingga menghambat kinerja KPK.
Pertimbangan Hukum:Bahwa terhadap pengujian UU 19/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Pengujian Formil
[3.17] Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian formil terkait UU 19/2019 telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Nomor 79/PUU-XVII/2019, bertanggal 4 Mei 2021, selesai diucapkan pukul 15.13 WIB dan telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum, sehingga pertimbangan hukum tersebut berlaku secara mutatis mutandis sebagai pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 a quo. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 tersebut Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yang pendapat berbeda tersebut berlaku juga untuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU- XVII/2019 a quo;
Berdasarkan pertimbangan hukum demikian, yang pada pokoknya menurut Mahkamah prosedur pembentukan UU 19/2019 telah bersesuaian dengan UUD 1945, maka permohonan para Pemohon dalam perkara a quo mengenai pengujian formil konstitusionalitas UU 19/2019 harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum;
[3.18] Menimbang bahwa oleh karena permohonan pengujian formil dinyatakan tidak beralasan menurut hukum maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan pengujian materiil.
Pengujian Materiil
[3.20.1] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai norma Pasal 1 angka 3 UU 19/2019, penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu kedudukan pasal a quo dalam kaitan dengan pasal-pasal lainnya. Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 pada pokoknya merupakan bagian dari Ketentuan Umum yang mengatur mengenai definisi KPK yang selengkapnya menyatakan “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini”. Dalam UU sebelumnya [Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberatansan Tindak Pindana Korupsi (UU 30/2002)], definisi/pengertian KPK tidak ditempatkan dalam Pasal 1 tetapi terakomodasi dalam ketentuan Pasal 3 UU 30/2002. Sementara itu, oleh pembentuk undang-undang juga dirumuskan norma yang secara substansial merupakan pengertian KPK dalam Pasal 3 UU 19/2019, yang selengkapnya menyatakan, “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Dalam kaitan inilah, seolah-olah terdapat dua rumusan definisi/pengertian yakni sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU 19/2019. Jika memang benar hal demikian yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang maka di antara keduanya tidak dibolehkan menimbulkan pengertian yang tidak sejalan, sebagaimana hal ini telah dinyatakan dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011), angka 107 menyatakan, “Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda”. Pertanyaannya adalah apakah definisi/pengertian tersebut telah lengkap dan tidak menimbulkan pengertian ganda.
Setelah mempelajari secara saksama rumusan definisi Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 terdapat frasa “melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Sementara itu, jika dikaitkan dengan rumusan definisi Pasal 1 angka 4 UU 19/2019 yang selengkapnya menyatakan bahwa “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian kegiatan untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”, hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pengertian “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” dengan sendirinya telah tercakup sekaligus pengertian pencegahan dan pemberantasan. Walaupun dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 kata “pemberantasan” tidak ditulis dengan huruf kapital, namun dalam batas penalaran yang wajar dimaksud yang terkandung adalah sebagaimana yang tersurat dalam Pasal 1 angka 4 UU 19/2019. Apalagi dalam Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 menyebutkan secara eksplisit kata “pencegahan” yang dapat mereduksi makna pemberantasan tindak pidana korupsi seolah-olah hanya berupa pencegahan, padahal makna dalam pemberantasan tindak pidana korupsi juga meliputi “penindakan” dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penyelamatan keuangan negara. Dengan demikian, kata “pencegahan” yang dimaktubkan dalam Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 merupakan rumusan yang sesungguhnya mereduksi pengertian pemberantasan itu sendiri. Selain itu, jika Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 tetap menjadi bagian dari Pasal 1 (Ketentuan Umum) maka substansinya seharusnya sejalan dengan Pasal 3 UU 19/2019 yang menegaskan bahwa KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat “independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Artinya, rumusan demikian mengandung kekurangan karena tidak sejalan dengan Pasal 3 UU 19/2019, terutama dengan tidak dinyatakannya tugas dan wewenang pemberantasan tindak pidana korupsi dan penegasan sifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun. Di mana, kekurangan substansi dimaksud merupakan unsur esensial dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan apabila dibiarkan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam batas penalaran yang wajar membiarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 tanpa membuatnya sejalan dengan ketentuan Pasal 3 UU 19/2019 menimbulkan ketidakpastian hukum dalam memahami secara utuh KPK sebagai lembaga penegak hukum dalam menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar putusan akan menyatakan terhadap Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.20.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa “dalam rumpun kekuasaan eksekutif” dalam ketentuan Pasal 3 UU 19/2019 yang dikhawatirkan para Pemohon akan melemahkan independensi kelembagaan KPK. Berkenaan dengan dalil tersebut, selain Mahkamah telah mempertimbangkan keberadaan Pasal 3 UU 19/2019 dalam kaitannya dengan konstitusional bersyarat ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 dalam Sub-paragraf [3.20.1], Mahkamah juga telah menegaskan dalam putusan- putusan Mahkamah Konstitusi, di antaranya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU- XV/2017 yang pada pokoknya menyatakan bahwa independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan manapun adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya yang tidak boleh didasarkan atas pengaruh, arahan ataupun tekanan dari pihak manapun. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bersifat erga omnes yang memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum (vide Pasal 47 UU MK), oleh karenanya keberlakuan putusan Mahkamah tidak dapat hanya dimaknai secara kontekstual atau tekstual sebagaimana dalil para Pemohon terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 karena putusan a quo berlaku dan mengikat kepada siapapun. Bahkan, Mahkamah dalam mempertimbangkan ihwal yang terkait dengan permohonan a quo, in casu mengenai kelembagaan KPK pun harus memperhatikan putusan-putusan Mahkamah sebelumnya. Sehingga, berkenaan dengan berlakunya frasa “dalam rumpun kekuasaan eksekutif” dalam Pasal 3 UU 19/2019, menurut Mahkamah tidak menyebabkan pelaksanaan tugas dan wewenang KPK menjadi terganggu independensinya karena KPK tidak bertanggung jawab kepada pemegang kekuasaan eksekutif, in casu Presiden sebagaimana hal tersebut dinyatakan dalam ketentuan Pasal 20 UU 30/2002 yaitu, “KPK bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR dan BPK”. Penyampaian laporan kepada Presiden dimaksud bukan berarti KPK bertanggung jawab kepada Presiden.
Hal ini yang menjadi salah satu karakter dari keberadaan lembaga negara yang independen, yang tidak memiliki relasi apapun dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dengan pemegang kekuasaan manapun. Bahkan, terkait dengan “kekuasaan manapun” telah dijelaskan pula dalam Penjelasan Pasal 3 UU 19/2019 adalah kekuatan yang dapat memengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau dalam keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 3 UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.21.2] Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 12B ayat (1) UU 19/2019 penyadapan yang dilakukan KPK harus mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Berkenaan dengan ketentuan tersebut, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan mengenai kedudukan Dewan Pengawas berdasarkan UU 19/2019. Dewan Pengawas secara inheren adalah bagian dari internal KPK yang bertugas sebagai pengawas guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Sebagai salah satu unsur dari KPK, Dewan Pengawas bertugas dan berwenang mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Dalam pengertian demikian, kedudukan Dewan Pengawas tidak bersifat hierarkis dengan Pimpinan KPK sehingga dalam desain besar pemberantasan korupsi keduanya tidak saling membawahi namun saling bersinergi dalam menjalankan fungsi masing-masing. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Paragraf [3.19] di atas, KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangan yudisial bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, termasuk di dalamnya ketika KPK melakukan penyadapan sebagai bentuk perampasan kemerdekaan orang (hak privasi), yang merupakan bagian dari tindakan pro Justitia. Adanya ketentuan yang mengharuskan KPK untuk meminta izin kepada Dewan Pengawas sebelum dilakukan penyadapan tidak dapat dikatakan sebagai pelaksanaan checks and balances karena pada dasarnya Dewan Pengawas bukanlah aparat penegak hukum sebagaimana kewenangan yang dimiliki Pimpinan KPK dan karenanya tidak memiliki kewenangan yang terkait dengan pro Justitia.
Bahwa berkenaan dengan pertimbangan di atas, Mahkamah perlu untuk menegaskan, adanya kewajiban Pimpinan KPK untuk mendapatkan izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan, tidak saja merupakan bentuk campur tangan (intervensi) terhadap aparat penegak hukum oleh lembaga yang melaksanakan fungsi di luar penegakan hukum, akan tetapi lebih dari itu merupakan bentuk nyata tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum, khususnya kewenangan pro Justitia yang seharusnya hanya dimiliki oleh lembaga atau aparat penegak hukum. Sebab, tindakan-tindakan penegakan hukum yang di dalamnya mengandung upaya-upaya paksa yang kerap kali beririsan dengan perampasan kemerdekaan orang/barang adalah tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang secara kelembagaan telah tertata dalam pelembagaan criminal justice system.
Bahwa selanjutnya juga penting dipertimbangkan, oleh karena berkenaan dengan tindakan penyadapan sangat terkait dengan hak privasi seseorang maka penggunaannya harus dengan pengawasan yang cukup ketat. Artinya, terkait dengan tindakan penyadapan yang dilakukan KPK tidak boleh dipergunakan tanpa adanya kontrol atau pengawasan, meskipun bukan dalam bentuk izin yang berkonotasi ada intervensi dalam penegakan hukum oleh Dewan Pengawas kepada Pimpinan KPK atau seolah-olah Pimpinan KPK menjadi sub-ordinat dari Dewan Pengawas. Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan tindakan penyadapan yang dilakukan Pimpinan KPK tidak memerlukan izin dari Dewan Pengawas namun cukup dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas yang mekanismenya akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pertimbangan hukum berkaitan dengan izin atas tindakan penggeledahan dan/atau penyitaan oleh KPK pada pertimbangan hukum selanjutnya.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dengan tidak diperlukan lagi izin penyadapan oleh KPK dari Dewan Pengawas, sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 12B ayat (1) UU 19/2019 maka terhadap ketentuan tersebut harus dinyatakan inkonstitusional dan selanjutnya sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap norma Pasal 12B ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 19/2019 tidak relevan lagi untuk dipertahankan dan harus dinyatakan pula inkonstitusional. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 12B UU 19/2019 adalah beralasan menurut hukum.
Bahwa sebagai konsekuensi yuridis Dewan Pengawas tidak dapat mencampuri kewenangan yudisial/pro Justitia dan terhadap Pasal 12B UU 19/2019 telah dinyatakan inkonstitusional maka frasa “dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas” dalam Pasal 12C ayat (2) UU 19/2019 harus pula dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai menjadi “diberitahukan kepada Dewan Pengawas”.
[3.21.3] Bahwa selanjutnya terhadap dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas penggeledahan dan/atau penyitaan harus dengan izin Dewan Pengawas sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019, menurut Mahkamah, dikarenakan tindakan penggeledahan dan/atau penyitaan oleh KPK adalah juga merupakan bagian dari tindakan pro Justitia sebagaimana telah dipertimbangkan pada Sub-paragraf [3.21.2] di atas maka izin dari Dewan Pengawas yang bukan merupakan unsur aparat penegak hukum menjadi tidak tepat karena kewenangan pemberian izin tersebut tersebut merupakan bagian dari tindakan yudisial/pro Justitia. Oleh karena tidak diperlukan lagi izin dimaksud maka pertimbangan Mahkamah terkait kewenangan Dewan Pengawas dalam pemberian izin penyadapan sebagaimana dipertimbangkan pada Paragraf [3.21.2] di atas mutatis mutandis berlaku pula sebagai pertimbangan hukum untuk mempertimbangkan dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019. Selanjutnya, oleh karena berkenaan dengan penggeledahan dan/atau penyitaan tidak diperlukan lagi izin dari Dewan Pengawas dan hanya berupa pemberitahuan maka konsekuensi yuridisnya sepanjang frasa “atas izin tertulis dari Dewan Pengawas” dalam Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019 harus dimaknai menjadi “dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas”. Begitu pula dengan ketentuan norma Pasal 47 ayat (2) UU 19/2019 meskipun tidak dimohonkan oleh para Pemohon, namun oleh karena tidak ada relevansinya lagi untuk dipertahankan, maka harus dinyatakan inkonstitusional. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.21.4] Bahwa oleh karena Dewan Pengawas tidak memiliki kewenangan untuk memberikan izin, baik terhadap penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan yang dilakukan oleh KPK sebagaimana dipertimbangkan pada Sub-paragraf [3.21.2] dan Sub-paragraf [3.21.3] di atas maka menurut Mahkamah, konsekuensi yuridis terhadap ketentuan norma Pasal 37B ayat (1) huruf b UU 19/2019 yang juga mengatur ketentuan tentang kewenangan Dewan Pengawas memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan yang dilakukan oleh KPK harus pula dinyatakan inkonstitusional. Dengan demikian dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 37B ayat (1) huruf b UU 19/2019 beralasan menurut hukum.
[3.21.5] Bahwa untuk menghindari adanya penyalahgunaan wewenang terkait dengan tindakan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan oleh KPK dikaitkan dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas, menurut Mahkamah, terkait dengan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan tersebut, KPK hanya memberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak penyadapan dilakukan, sedangkan terhadap penggeledahan dan/atau penyitaan diberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak selesainya dilakukan penggeledahan dan/atau penyitaan. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 38 UU 19/2019, terkait dengan penggeledahan, berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu diperlukan izin dari ketua pengadilan negeri setempat dan dalam keadaan mendesak dapat dilakukan penggeledahan terlebih dahulu baru kemudian segera melaporkan untuk mendapatkan persetujuan ketua pengadilan negeri setempat, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 KUHAP. Maka dengan demikian, tindakan pengeledahan dan/atau penyitaan oleh KPK tidak diperlukan lagi izin dari Dewan Pengawas. Sedangkan terkait dengan penyitaan, atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, KPK dapat melakukan penyitaan tanpa izin ketua pengadilan negeri.
[3.22] Menimbang bahwa para Pemohon selanjutnya mendalilkan yang pada pokoknya menyatakan norma Pasal 24 dan Pasal 45A ayat (3) huruf a UU 19/2019 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena sebagian pegawai KPK yang ada saat ini tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pegawai ASN, terutama bagi mereka yang telah berusia 35 tahun sehingga akan kehilangan pekerjaannya atau setidak-tidaknya tidak dapat lagi mengembangkan kariernya di KPK serta berpotensi terjadinya kekosongan jabatan dalam KPK sehingga menghambat kinerja KPK.
Jka dipelajari secara saksama substansi Pasal 24 UU 19/2019 sama sekali tidak mengandung aspek pembatasan kesempatan yang sama untuk menjadi ASN bagi pegawai KPK, terlebih lagi dalam pelaksanaan proses peralihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN masih harus didasarkan pada Ketentuan Peralihan UU 19/2019 yang muatannya berkenaan dengan penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan undang-undang yang lama terhadap undang-undang yang baru, di mana tujuan adanya Ketentuan Peralihan tersebut adalah untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan undang-undang, mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara (vide angka 127 Lampiran II UU 12/2011).
Oleh karena itu, Ketentuan Peralihan dalam Pasal 69B dan Pasal 69C UU 19/2019 telah menentukan bagaimana desain peralihan dimaksud supaya tidak terjadi persoalan bagi mereka yang terkena dampak apalagi sampai menimbulkan kekosongan jabatan dalam KPK sebagaimana didalilkan para Pemohon.
Selanjutnya, berkaitan dengan persoalan usia pegawai KPK yang telah mencapai usia 35 tahun sehingga dikhawatirkan para Pemohon akan kehilangan kesempatan jika pegawai KPK nantinya menjadi pegawai ASN.
…..
Adanya ketentuan mekanisme pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan kondisi faktual pegawai KPK. Oleh karenanya, Mahkamah perlu menegaskan bahwa dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana telah ditentukan mekanismenya sesuai dengan maksud adanya Ketentuan Peralihan UU 19/2019 maka dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut. Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan.
Selanjutnya, dalam kaitan dengan pengalihan status pegawai KPK sebagai pegawai ASN, para Pemohon tanpa memberikan argumentasi persoalan konstitusionalitas norma namun mengkhawatirkan akan terjadinya dualisme pengawasan, yaitu pengawasan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan oleh Dewan Pengawas KPK sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan. …Pembentukan KASN ini untuk monitoring dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN agar dapat dijamin terwujudnya sistem merit serta pengawasan terhadap penerapan asas, kode etik, dan kode perilaku ASN.
Oleh karenanya tidak ada relevansinya mempersoalkan status pegawai ASN dengan pengawasan ASN oleh KASN dan pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas karena keduanya dapat saling melengkapi.
Selanjutnya, para Pemohon juga mempersoalkan norma Pasal 45A ayat (3) huruf a UU 19/2019 yang akan menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan karena mengatur syarat pemberhentian penyidik KPK disebabkan oleh diberhentikannya sebagai ASN. … Sebagai konsekuensi beralihnya status pegawai KPK menjadi pegawai ASN maka pengaturan pemberhentian ASN dalam UU 5/2014 dan peraturan pelaksananya berlaku sepenuhnya bagi penyelidik atau penyidik KPK dan pegawai KPK tanpa ada yang dikecualikan. Pasal 45A UU 19/2019 pada pokoknya mengatur mengenai syarat yang harus dipenuhi untuk pengangkatan penyidik KPK yang statusnya dalam Pasal 69B ayat (1) UU 19/2019 sebagai ASN. Dengan sendirinya apabila penyidik diberhentikan sebagai ASN maka diberhentikan pula dari jabatannya sebagai penyidik KPK. Pemberhentian PNS tersebut dapat karena diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan tidak dengan hormat (vide Pasal 87 UU 5/2014). Dengan demikian jika terpenuhi penyebab diberhentikannya PNS baik dengan hormat atau tidak dengan hormat maka jabatan apapun yang melekat pada diri PNS tersebut ikut berhenti, in casu jabatan sebagai penyidik KPK.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 24 dan Pasal 45A ayat (3) huruf a UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.23.2] Bahwa berdasarkan dalil para Pemohon di atas, sekalipun petitum para Pemohon menghendaki Mahkamah menyatakan Pasal 40 UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945, namun setelah mencermati esensi alasan-alasan mengajukan permohonan (posita/fundamentum petendi), inti yang dipersoalkan oleh para Pemohon adalah konstitusionalitas frasa “yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun” karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, menurut para Pemohon tidak jelas sejak kapan penghitungan waktu 2 (dua) tahun tersebut, apakah sejak penyidikan atau sejak penuntutan.
Menurut Mahkamah, adanya ketentuan tenggang waktu 2 (dua) tahun untuk melakukan penyidikan dan penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 adalah suatu kekhususan yang diberikan kepada KPK sebagai suatu lembaga yang extra ordinary yang berwenang menangani tindak pidana korupsi sebagai salah satu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Kewenangan menghentikan penyidikan dan/atau penuntutan dapat dijadikan sebagai salah satu alasan bagi KPK dalam menentukan seorang tersangka yang harus mempunyai bukti yang kuat sehingga dalam batas penalaran yang wajar tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan penghitungan 2 (dua) tahun demikian merupakan bentuk akumulasi sejak proses penyidikan, penuntutan hingga dilimpahkan ke pengadilan. Sehingga, apabila telah melewati jangka waktu 2 (dua) tahun perkara tersebut tidak dilimpahkan ke pengadilan dan KPK tidak menerbitkan SP3 maka tersangka dapat mengajukan praperadilan.
Menurut para Pemohon norma yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk menghentikan penyidikan dan/atau penuntutan terhadap perkara yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai sejak kapan penghitungan waktu akan dimulai, sejak penyidikan atau sejak penuntutan. Ketidakpastian hukum tersebut dapat melanggar hak konstitusional tersangka. Lebih lagi norma Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 bertolak belakang atau setidaknya tidak bersesuaian dengan maksud Pasal 40 ayat (4) UU 19/2019, bahwa penghentian penyidikan dan/atau penuntutan dapat dicabut oleh pimpinan KPK apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan/atau penuntutan atau berdasarkan putusan praperadilan. Menurut Mahkamah, adanya ketentuan tenggang waktu 2 (dua) tahun untuk melakukan penyidikan dan penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 adalah suatu kekhususan yang diberikan kepada KPK sebagai suatu lembaga yang extra ordinary yang berwenang menangani tindak pidana korupsi sebagai salah satu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Kewenangan menghentikan penyidikan dan/atau penuntutan dapat dijadikan sebagai salah satu alasan bagi KPK dalam menentukan seorang tersangka yang harus mempunyai bukti yang kuat sehingga dalam batas penalaran yang wajar tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan penghitungan 2 (dua) tahun demikian merupakan bentuk akumulasi sejak proses penyidikan, penuntutan hingga dilimpahkan ke pengadilan. Sehingga, apabila telah melewati jangka waktu 2 (dua) tahun perkara tersebut tidak dilimpahkan ke pengadilan dan KPK tidak menerbitkan SP3 maka tersangka dapat mengajukan praperadilan.
Selanjutnya, berkenaan dengan SP3 ini, Mahkamah dalam putusan- putusan sebelumnya telah berpendirian bahwa KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan/menerbitkan SP3 adalah konstitusional, namun demikian dengan mempertimbangkan adanya fakta-fakta empirik yang terjadi di KPK telah ternyata banyak perkara yang pelakunya telah ditetapkan sebagai tersangka namun perkaranya tidak kunjung dilimpahkan ke pengadilan sehingga hal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dalam putusan a quo, dapat memahami ketentuan adanya diskresi dalam norma Pasal 40 UU 19/2019 yang memberikan diskresi kepada KPK untuk menerbitkan SP3. Namun demikian Mahkamah perlu menegaskan apabila ditemukan bukti yang cukup KPK harus membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan sehingga terhadap tersangka yang bersangkutan harus diajukan ke pengadilan [vide Pasal 40 ayat (4) UU 19/2019]. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 haruslah dipandang sebagai dorongan bagi KPK untuk bekerja secara optimal dalam mendapatkan bukti sehingga seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada dasarnya harus dilimpahkan ke pengadilan. Oleh karena itu diskresi penerbitan SP3 tidak menjadi pilihan yang menyulitkan KPK dalam desain besar agenda pemberantasan korupsi.
Bahwa sebagai konsekuensi yuridis Dewan Pengawas tidak dapat mencampuri kewenangan judisial (pro Justitia) yang dimiliki oleh Pimpinan KPK sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, maka frasa “harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu” sebagaimana termaktub dalam Pasal 40 ayat (2) UU 19/2019 harus pula dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai menjadi “diberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja”.
[3.24] Menimbang bahwa dengan dinyatakan inkonstitusional norma Pasal 1 angka 3, Pasal 12B, frasa “dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas” dalam Pasal 12C ayat (2), Pasal 37B ayat (1) huruf b, frasa “tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun” dalam Pasal 40 ayat (1), frasa “harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu” dalam Pasal 40 ayat (2), frasa “atas izin tertulis dari Dewan Pengawas” dalam Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (2) UU 19/2019 tersebut di atas, menurut Mahkamah, sebagai konsekuensi yuridisnya maka dalam hal terdapat “Penjelasan” terhadap pasal-pasal a quo harus pula dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak disesuaikan dengan putusan a quo.
[3.25] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil-dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 1 angka 3, Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (2), dan Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019 beralasan menurut hukum secara bersyarat. Sedangkan, dalil-dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 12B dan Pasal 37B ayat (1) huruf b UU 19/2019 beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sementara itu, Pasal 12C ayat (2) UU 19/2019 harus pula dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagai konsekuensi dengan dinyatakannya Pasal 12B UU 19/2019 inkonstitusional. Begitu pula dengan Pasal 47 ayat (2) UU 19/2019 harus pula dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagai konsekuensi dengan dinyatakannya Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019 inkonstitusional. Selanjutnya, berkaitan dengan dalil para Pemohon selain dan selebihnya tidak beralasan menurut hukum.
Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020
Pemohon: Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda) yang dalam hal ini diwakilkan oleh kuasa hukumnya, yaitu M. Maulana Bungaran, S.H, Munathsir Mustaman, S.H, dan Dwi Ratri Mahanani, S.H
Pokok Perkara:
Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945
Permasalahan:
Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian terhadap Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu yang berketentuan sebagai berikut:
Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu “Partai politik peserta pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU”\
Bahwa pasal a quo dianggap Pemohon bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 karena dinilai telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.
Pertimbangan Hukum: Bahwa terhadap pengujian UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa terhadap verifikasi partai politik, Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 tanggal 11 Januari 2018 antara lain mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan persoalan konstitusional PERTAMA yaitu mengenai persoalan verifikasi partai politik peserta Pemilu yang terkait dengan konstitusionalitas Pasal 173 ayat (3) juncto Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu, Mahkamah perlu menjelaskan terlebih dahulu konstruksi dari kedua norma tersebut yang berkaitan satu sama lain. Dengan membaca konstruksi Pasal 173 secara utuh, keberadaan frasa “telah ditetapkan” dalam Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu sesungguhnya mengandung ketidakpastian hukum, karena frasa “telah ditetapkan” disejajarkan dengan frasa “lulus verifikasi” dengan menggunakan tanda baca “/” (garis miring). Frasa “telah ditetapkan/” sesungguhnya merupakan tindakan administratif menetapkan, sedangkan lulus verifikasi hanya baru sebatas hasil pengecekan terhadap keterpenuhan sesuatu syarat yang ditentukan Undang-Undang, di mana hasil verifikasi itulah kemudian yang akan berujung dengan adanya tindakan penetapan dan oleh karena itu keduanya merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat disetarakan sebagaimana dalam rumusan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu.
[3.12.1] Bahwa konstruksi pemahaman demikian linear dengan norma Pasal 179 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan, “Partai Politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) dan Pasal 178 ditetapkan sebagai peserta Pemilu oleh KPU”. Artinya, hasil verifikasi merupakan hasil pemeriksaan terhadap keterpenuhan syarat yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan penetapan sebagai peserta Pemilu oleh KPU. Dengan menghubungkan keberadaan Pasal 173 ayat (1) dengan Pasal 179 ayat (1) UU Pemilu, maka benar bahwa keberadaan frasa “telah ditetapkan/” telah menimbulkan ketidakpastian dan dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya perlakuan berbeda antarpartai politik peserta Pemilu.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu, pada pokoknya norma a quo memuat norma bahwa untuk partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu. Hal ini mengandung makna bahwa ada partai politik peserta Pemilu yang dikategorikan telah lulus verifikasi dengan syarat yang telah ditentukan dan ada partai politik calon peserta Pemilu yang belum lulus verifikasi. Dengan ketentuan tersebut, terhadap dua kelompok partai politik calon peserta Pemilu tersebut diatur atau diterapkan perlakuan berbeda.
[3.13.1] Bahwa terkait pengaturan tentang pengelompokan sekaligus perlakuan yang membedakan antarpartai politik calon peserta Pemilu sebelumnya telah pula pernah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 8/2012) yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya”. Dalam ketentuan a quo, perbedaan perlakuan terhadap partai politik calon peserta Pemilu dilakukan atas dasar partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional dengan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas dan partai politik baru.
[3.13.2] Bahwa sekalipun dasar pembedaan antarpartai politik calon peserta Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang menjadi objek permohonan a quo berbeda dengan apa yang diatur dalam UU 8/2012, namun kedua-duanya sama-sama mengatur pembedaan perlakuan antarpartai politik calon peserta Pemilu. Bahwa terkait pembedaan perlakuan terhadap calon peserta Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, Mahkamah dalam putusan terdahulu, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, bertanggal 29 Agustus 2012, telah menyatakan norma Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 dengan pokok pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa ketentuan a quo mengandung ketidakadilan karena, “…dipenuhinya ambang batas perolehan suara pada Pemilihan Umum Tahun 2009 tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam keikutsertaan partai politik lama sebagai peserta Pemilihan Umum Tahun 2014. Karena ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 10/2008 berbeda dengan ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 8/2012 yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2014.” (Putusan Nomor 52/PUU-X/2012, hlm. 89-90);
2. Bahwa menurut Mahkamah, “…terdapatnya fakta hukum bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk mengikuti pemilihan umum legislatif tahun 2009 ternyata berbeda dengan persyaratan untuk pemilihan umum legislatif tahun 2014. Syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum bagi partai politik tahun 2014 justru lebih berat bila dibandingkan dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik baru dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009. Dengan demikian adalah tidak adil apabila partai politik yang telah lolos menjadi peserta pemilihan umum pada tahun 2009 tidak perlu diverifikasi lagi untuk dapat mengikuti pemilihan umum pada tahun 2014 sebagaimana partai politik baru, sementara partai politik yang tidak memenuhi PT harus mengikuti verifikasi dengan syarat yang lebih berat” (Putusan Nomor 52/PUU X/2012, hlm. 91);
3. Bahwa lebih jauh, Mahkamah menilai bahwa “…memberlakukan syarat yang berbeda kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama merupakan perlakuan yang tidak sama atau perlakuan secara berbeda (unequal treatment) yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, terhadap semua partai politik harus diberlakukan persyaratan yang sama untuk satu kontestasi politik atau pemilihan umum yang sama, yaitu Pemilihan Umum Tahun 2014.” (Putusan Nomor 52/PUU-X/2012, hlm. 92);
4. Bahwa agar ketidakadilan dan perlakuan berbeda terhadap calon peserta Pemilu dapat diatasi, Mahkamah menyatakan, “Untuk mencapai persamaan hak masing-masing partai politik ada dua solusi yang dapat ditempuh yaitu, pertama, menyamakan persyaratan kepesertaan Pemilu antara partai politik peserta Pemilu tahun 2009 dan partai politik peserta Pemilu tahun 2014, atau kedua, mewajibkan seluruh partai politik yang akan mengikuti Pemilu tahun 2014 dengan persyaratan baru yang ditentukan dalam Undang-Undang a quo. Dalam hal ini, demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah menentukan bahwa untuk mencapai perlakuan yang sama dan adil itu seluruh partai politik peserta Pemilu tahun 2014 harus mengikuti verifikasi. Dengan semangat yang sejalan dengan maksud pembentuk undang-undang, demi penyederhanaan partai politik, menurut Mahkamah, syarat menjadi peserta pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 harus diberlakukan kepada semua partai politik yang akan mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2014 tanpa kecuali.” (Putusan Nomor 52/PUU-X/2012, hlm. 93).
[3.13.3]Bahwa berdasarkan pertimbangan dalam pengujian terhadap ketentuan UU 8/2012 yang pada pokoknya mengandung perlakuan berbeda terhadap partai politik calon peserta Pemilu, dapat ditarik benang merah yang harusnya dipedomani pembentuk undang-undang dalam menentukan syarat maupun untuk menerapkan syarat kepada setiap calon peserta Pemilu. Benang merah dimaksud adalah:
a. Norma UU Pemilu tidak boleh memuat norma yang pada pokoknya mengandung perlakuan berbeda terhadap calon peserta Pemilu, sebab perlakuan berbeda bertentangan dengan hak atas kesempatan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan;
b. Perlakuan berbeda terhadap partai politik calon peserta Pemilu dapat dihindari dengan cara bahwa dalam pelaksanaan Pemilu, setiap partai politik calon peserta Pemilu harus mengikuti verifikasi.
Bahwa sekalipun perlakuan berbeda melalui penerapan norma secara berbeda kepada subjek hukum yang diaturnya bukanlah sesuatu yang tidak selalu dilarang atau bertentangan dengan UUD 1945, namun pada ranah kepesertaan dalam kontestasi politik seperti Pemilu, perlakuan berbeda sama sekali tidak dapat dibenarkan. Hal mana, perlakuan berbeda dimaksud tidak sesuai dengan jaminan pemberian kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk duduk dalam pemerintahan. Menurut Mahkamah, perlakuan berbeda terhadap calon peserta Pemilu merupakan hal yang bertentangan dengan Konstitusi. Hal mana bukan saja karena hal itu bertentangan dengan hak untuk mendapat kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, melainkan juga karena perlakuan berbeda menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan Pemilu.
[3.13.4] Bahwa untuk memastikan tidak ada perlakuan berbeda terhadap setiap calon peserta Pemilu, dari dua kemungkinan alternatif jalan yang dapat ditempuh sebagaimana dimuat dalam Putusan a quo, Mahkamah telah menentukan caranya, yaitu dengan melakukan verifikasi terhadap seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2014. Sementara pembentuk UU Pemilu dalam merumuskan Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu justru memberikan perlakuan yang berbeda terhadap partai politik yang memiliki kursi di DPR berdasarkan hasil Pemilu 2014.
[3.13.5] Bahwa dalam perkembangannya, alternatif yang telah ditentukan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 sesungguhnya telah sesuai dengan perkembangan sistem penyelenggaraan Pemilu Indonesia yang periodik lima tahun sekali. Sebab, sekalipun syarat kepesertaan Pemilu telah ditentukan secara sama di dalam undang-undang, namun perkembangan dan dinamika partai politik, penataan wilayah negara ke dalam satuan-satuan pemerintahan daerah dan juga perkembangan demografis sebagai faktor penentu keterpenuhan syarat calon peserta Pemilu merupakan sesuatu yang bersifat dinamis. Hal demikian, bila dihubungkan dengan fakta bahwa dalam setiap Pemilu selalu ada partai politik baru calon peserta Pemilu, maka jalan untuk menghindari terjadinya perlakuan berbeda adalah dengan memverifikasi seluruh partai politik calon peserta Pemilu tanpa membeda-bedakan partai politik yang telah mengikuti verifikasi pada Pemilu sebelumnya dengan partai politik yang belum pernah mengikuti Pemilu maupun partai politik yang sudah pernah mengikuti Pemilu namun tidak memperoleh kursi di DPR.
[3.13.6] Bahwa oleh karena itu, sekalipun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 Mahkamah menyatakan verifikasi dilakukan terhadap seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2014, namun guna menghindari adanya perlakuan berbeda terhadap partai politik calon peserta Pemilu 2019, pertimbangan dimaksud juga relevan dan harus diberlakukan untuk setiap partai politik calon peserta Pemilu 2019. Bahkan, tidak hanya untuk Pemilu 2019, melainkan juga untuk Pemilu anggota DPR dan DPRD dalam Pemilu periode-periode selanjutnya. Alasan mendasar lainnya mempertahankan verifikasi adalah untuk menyederhanakan jumlah partai politik peserta Pemilu. Dalam batas penalaran yang wajar, bilamana dalam setiap penyelenggaraan Pemilu tidak dilakukan verifikasi terhadap semua partai politik calon peserta Pemilu, maka jumlah partai politik akan cenderung terus bertambah. Misalnya dalam Pemilu 2019, partai politik yang memiliki kursi di DPR tidak diverifikasi dan otomatis menjadi peserta pemilihan umum, maka jumlah peserta Pemilu 2019 akan menjadi semua partai politik yang memiliki kursi di DPR ditambah partai politik baru yang lulus verifikasi. Begitu pula di Pemilu 2024, seandainya pada Pemilu 2019 terdapat 12 partai politik yang memiliki kursi di DPR maka peserta Pemilu 2024 akan menjadi 12 partai politik ditambah dengan partai politik baru yang lulus verifikasi, akhirnya jumlah partai politik peserta Pemilu akan terus bertambah dan ide besar menyederhanakan partai politik dengan memperketat persyaratan menjadi peserta Pemilu, yang menjadi desain konstitusional (constitutional design) UUD 1945, tidak akan pernah terwujud. Hal ini tidak berarti Mahkamah menolak hak konstitusional warga negara untuk mendirikan partai politik sebagai bagian dari hak berserikat dan berkumpul yang dijamin dalam Konstitusi untuk menjadi peserta Pemilu sepanjang memenuhi semua persyaratan dan telah dinyatakan lulus verifikasi.
[3.13.7] Bahwa selain pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah memandang penting untuk menekankan hal-hal sebagai berikut:
1. Keadilan bagi Setiap Calon Peserta Pemilu
Perlakuan berbeda terhadap calon peserta Pemilu merupakan hal yang bertentangan dengan Konstitusi. Hal mana bukan saja karena hal itu bertentangan dengan hak untuk mendapat kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, melainkan juga karena perlakuan berbeda menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan Pemilu. Merujuk salah satu indikator keadilan Pemilu adalah perlakuan yang sama atau setara antarpeserta Pemilu. Baik perlakuan yang sama antarpeserta Pemilu anggota DPR dan DPRD maupun antarseluruh peserta Pemilu yang ditentukan dalam UUD 1945.
Terkait perlakuan yang sama antarpeserta Pemilu anggota DPR dan DPRD, maka seluruh syarat dan penetapan syarat bagi partai politik untuk menjadi peserta Pemilu tidak dapat dibeda-bedakan, baik karena alasan bahwa partai politikl dimaksud memiliki kursi di DPR atau DPRD maupun karena alasan telah mendapat dukungan dari rakyat melalui Pemilu. Bahwa perolehan suara partai politik dan kursi dalam suatu Pemilu haruslah dibedakan dari syarat yang harus dipenuhi setiap partai politik calon peserta Pemilu. Dalam hal bahwa satu partai politik tentu memperoleh suara dan kursi dalam Pemilu, tidak berarti bahwa hal itu menjadi alasan bagi partai politik dimaksud untuk langsung dapat ditetapkan menjadi peserta Pemilu berikutnya atau menjadi perta Pemilu tanpa harus diverifikasi lagi keterpenuhan syarat sebagai calon peserta Pemilu. Bagaimanapun, perolehan suara dan kursi merupakan indikator kepercayaan rakyat terhadap partai politik dalam sebuah Pemilu, sedangkan keterpenuhan syarat untuk menjadi calon peserta Pemilu merupakan indikator bahwa partai politik dimaksud masih layak untuk turut dalam kontestasi memperebutkan kepercayaan rakyat dalam Pemilu.
Terkait perlakuan yang sama antarseluruh peserta Pemilu, maka perlakuan dalam pemenuhan syarat untuk ditetapkan sebagai peserta Pemilu tidak boleh dibedakan antara calon peserta Pemilu anggota DPR dan DPRD dengan calon peserta Pemilu perseorangan. Dalam hal ini, Mahkamah sependapat dengan keterangan yang disampaikan ahli dalam persidangan menyangkut substansi verifikasi kepesertaan Pemilu, dalam hal bahwa seluruh peserta Pemilu, baik partai politik maupun perseorangan haruslah diperlakukan sama dalam hal bagaimana masing masing peserta Pemilu dimaksud memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu.
Sehubungan dengan itu, sepanjang sejarah Pemilu yang dilaksanakan setelah perubahan UUD, calon peserta Pemilu sama sekali tidak pernah tidak diverifikasi keterpenuhan syaratnya. Apakah perseorangan untuk calon anggota DPD dimaksud merupakan calon anggota DPD yang telah dinyatakan memenuhi syarat sebelumnya, sama sekali tidak dibebaskan dari proses verifikasi keterpenuhan syarat sebagai calon. Semua calon peserta Pemilu anggota DPD, calon baru ataupun petahana, sama-sama harus mendaftar dan diverifikasi lagi seluruh syarat yang ditentukan.
2. Pemekaran Daerah dan Perkembangan Demografi.
Syarat-syarat untuk menjadi peserta Pemilu yang ditentukan dalam UU Pemilu selalu dihubungkan atau dikaitkan dengan faktor jumlah daerah maupun jumlah penduduk (demografi). Syarat kepengurusan di seluruh propinsi, kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota di masing-masing propinsi dan kepengurusan di 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan merupakan syarat yang berhubungan dengan jumlah wilayah. Jumlah wilayah provinsi dan kabupaten/kota merupakan faktor penentu terhadap keterpenuhan syarat dimaksud. Faktanya, jumlah provinsi dan kabupaten/kota terus mengalami pertambahan, di mana pertambahan tersebut dipastikan berdampak terhadap keterpenuhan syarat memiliki kepengurusan di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan bagi setiap partai politik calon peserta Pemilu. Sebagaimana data yang dikemukakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pemeriksaan perkara a quo, terdapat penambahan 1 provinsi dan 17 kabupaten pada 10 provinsi yang ada. Dengan demikian demikian, basis penentuan keterpenuhan syarat memiliki kepengurusan bagi partai politik tentunya mengalami perubahan.
Sama halnya dengan dinamika perkembangan jumlah daerah provinsi dan kabupaten/kota, jumlah penduduk juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Jika berpedoman pada sensus penduduk tahun 2010 yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237.641.326 jiwa, di mana pertambahan penduduk setiap tahunnya berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) adalah sebesar 1,49 persen atau lebih kurang 4,5 juta jiwa, maka jumlah penduduk pada tahun 2012 lebih kurang sebanyak 246 juta jiwa. Adapun pada tahun 2017 bertambah hingga menjadi 264 juta jiwa. Pertambahan jumlah penduduk tentunya juga berdampak terhadap keterpenuhan syarat seperti syarat memiliki anggota dalam jumlah tertentu oleh setiap partai politik peserta Pemilu. Tidak hanya penambahan penduduk, pengurangan jumlah yang terjadi akibat kematian atau migrasi penduduk dari satu daerah ke daerah lainnya juga akan berdampak terhadap masih terpenuhi atau tidaknya syarat keanggotaan masing-masing partai politik.
Oleh karena jumlah provinsi, jumlah kabupaten/kota, jumlah kecamatan, dan juga jumlah penduduk bukanlah sesuatu yang bersifat statis, maka pemenuhan syarat memiliki kepengurusan di tiga tingkatan wilayah pemerintahan dan juga syarat memiliki anggota dalam jumlah tertentu yang ditentukan UU Pemilu haruslah pula mengikuti perkembangan jumlah provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Bahwa dengan demikian, apabila partai politik telah pernah dinyatakan memenuhi syarat yang ditentukan pada satu waktu tertentu, maka apabila telah melewati periode tertentu, keterpenuhan syarat dimaksud haruslah diperiksa kembali melalui proses verifikasi. Pemeriksaan mana (verifikasi) ditujukan untuk memutakhirkan keterpenuhan syarat sebagai calon peserta Pemilu.
3. Partai Politik sebagai Badan Hukum yang Dinamis
Sebagai badan hukum, partai politik bukanlah benda mati yang bersifat statis. Apalagi, partai politik merupakan infrastruktur politik yang menjembatani antara kepentingan rakyat dengan lembaga-lembaga negara. Sebagai intermediary antara rakyat dan negara, partai politik yang dipastikan penuh dengan dinamika, baik secara organisasi maupun kebijakan. Pada ranah organisasi, dalam periode tentu partai politik tentu akan menjalankan suksesi kepemimpinan. Pengurus partai politik akan mengalami pergantian-pergantian, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan juga kecamatan. Dinamika demikian dapat dipastikan akan ada pasang surutnya, di mana dalam kondisi tertentu partai politik bisa jadi mengalami masa pasang dalam hal seluruh perangkat organisasi diisi dan berjalan secara maksimal, dan pada kondisi lainnya sangat mungkin pula mengalami masa surut di mana tidak seluruh perangkat strukturalnya eksis dan dapat bekerja. Salah satu contoh masa surut partai politik adalah seperti konflik yang menyebabkan pecahnya partai. Perpecahan di internal partai politik sangat mungkin berdampak pada tereliminasinya keterpenuhan syarat kepengurusan partai politik pada tingkat kepengurusan tertentu. Dengan kemungkinan tereliminasinya keterpenuhan syarat demikian, maka proses Pemilu haruslah dijadikan momentum untuk mengecek kembali potensi berkurangnya syarat dimaksud.
Selain itu, dinamika internal partai politik juga dapat berdampak pada keterpenuhan syarat kelengkapan infrastruktur internal partai politik seperti kepemilikan kantor tetap. Salah satu syarat yang harus dipenuhi partai politik untuk dapat ditetapkan sebagai partai politik peserta Pemilu adalah memiliki kantor tetap, di mana kantor tetap dimaksud bisa saja dimiliki sendiri ataupun disewa untuk jangka waktu hingga tahapan terakhir Pemilu. Dalam konteks ini, apabila pada satu periode Pemilu sebuah partai politik dinyatakan memenuhi syarat mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, maka pada periode Pemilu berikutnya syarat kepemilikan kantor belum tentu masih tetap dipenuhi. Lebih-lebih apabila syarat mempunyai kantor tetap dimaksud dipenuhi partai politik dengan cara menyewa untuk waktu hingga tahapan terakhir Pemilu saja. Jika syarat mempunyai kantor hanyalah berlaku hingga tahapan terakhir Pemilu selesai, maka keterpenuhan syarat ini haruslah diverifikasi setiap proses Pemilu dilaksanakan.
Oleh karena dinamika internal partai politik merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindarkan sampai kapanpun serta syarat mempunyai kantor tetap hanyalah berjangka waktu yaitu sampai tahapan terakhir Pemilu saja, maka setiap partai politik calon peserta Pemilu, termasuk yang sudah pernah diverifikasi pada Pemilu sebelumnya pun tetap harus dilakukan pengecekan kembali.
4. Verifikasi Menyeluruh Terhadap Keterpenuhan Syarat Peserta Pemilu
Salah satu maksud adanya persyaratan bagi partai politik untuk dapat menjadi peserta Pemilu sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu [yang sebelumnya juga dicantumkan dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012] adalah untuk memperketat persyaratan partai politik menjadi peserta Pemilu. Hal ini sejalan dengan desain konstitusi yang bermaksud menyederhanakan sistem kepartaian. Dalam batas penalaran yang wajar, dengan memperberat persyaratan yang harus dipenuhi partai politik untuk menjadi peserta Pemilu maka jumlah partai politik yang menjadi peserta Pemilu akan makin terbatas. Dengan pengetatan persyaratan tersebut, jumlah partai politik akan makin mendukung bekerjanya sistem pemerintahan presidensial sebagaimana yang dianut UUD 1945. Bagaimanapun, telah menjadi pengetahuan umum, baik secara doktriner dan maupun pengalaman empiris, sistem pemerintahan presidensial menjadi sulit bekerja optimal di tengah model sistem multipartai dengan jumlah yang tidak terkendali. Oleh karena itu, selalu dipersiapkan berbagai strategi (desain) untuk menyederhanakan jumlah partai politik terutama partai politik sebagai peserta Pemilu.
Sebagai bagian dari upaya memenuhi desain memperketat jumlah partai politik dimaksud, salah satu upaya mendasar yang harus dilakukan oleh penyelenggara Pemilu adalah memastikan semua partai politik yang dinyatakan menjadi peserta Pemilu memenuhi semua persyaratan yang dicantumkan dalam UU Pemilu. Misalnya, dalam soal kepengurusan untuk mencerminkan sifat nasional partai politik, UU Pemilu menyatakan bahwa partai politik menjadi peserta Pemilu harus (1) memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; (2) minimal memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; dan (3) minimal memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, penyelenggara Pemilu harus memastikan keterpenuhan syarat minimal kepengurusan tersebut tanpa melakukan pengecualian untuk tidak melakukan verifikasi di tingkat manapun, termasuk verifikasi keterpenuhan persentase kepengurusan di tingkat kecamatan.
Dengan argumentasi tersebut, Peraturan KPU yang terkait dengan verifikasi partai politik peserta Pemilu harus mengatur secara lengkap mekanisme dan teknis pelaksanaan verifikasi faktual terhadap semua persyaratan yang diatur dalam Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu. Dalam pengertian demikian, Peraturan KPU tidak hanya mengatur verifikasi faktual hanya menyangkut jumlah dan susunan pengurus partai politik tingkat pusat, jumlah dan susunan pengurus partai politik tingkat provinsi, domisili kantor tetap tingkat provinsi, jumlah dan susunan pengurus partai politik di tingkat kabupaten/kota, domisili kantor tetap tingkat kabupaten/kota tetapi juga menyertakan pengaturan verifikasi kepengurusan partai politik di tingkat kecamatan yang metode dan mekanismenya diatur dalam Peraturan KPU.
Tidak hanya keterpenuhan persyaratan kepengurusan partai politik di semua tingkatan mulai dari tingkat pusat, provinsi, tingkat kabupaten/kota, dan tingkat kecamatan, penyelenggara Pemilu harus memastikan melalui verifikasi faktual keterpenuhan syarat-syarat lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu. Mengabaikan verifikasi faktual atas semua persyaratan dimaksud di samping kontradiksi dengan penyederhanaan jumlah partai politik peserta Pemilu, juga sangat mungkin menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari. Dalam masalah ini, kehati-hatian penyelenggara untuk memastikan semua persyaratan dilakukan verifikasi faktual begitu penting. Artinya, penyelenggara Pemilu tidak boleh menyisakan masalah atau celah yang memberi ruang untuk dipersoalkannya legitimasi partai politik peserta Pemilu yang pada akhirnya berpotensi dapat dipersoalkan pula hasil Pemilu itu sendiri di kemudian hari.
Dengan demikian, seluruh norma dalam Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945, bukan hanya frasa “tidak diverifikasi ulang” sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon. Sebab frasa “tidak diverifikasi ulang” tersebut adalah memang dimaksudkan untuk memberikan pengecualian kepada partai politik peserta Pemilu 2014, sehingga dengan hilangnya frasa tersebut, maka keseluruhan norma yang termuat dalam Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu menjadi kehilangan relevansinya untuk dipertahankan. Selain itu, bilamana hanya frasa “tidak diverifikasi ulang” saja yang dinyatakan bertentangan, maka rumusan Pasal 173 ayat (3) akan menjadi sama dengan rumusan norma yang terdapat dalam Pasal 179 ayat (1) UU Pemilu.
[3.13.8] Bahwa selain itu, apabila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, keberadaan Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu secara jelas dan terang menghidupkan kembali norma dalam Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi a quo. Ihwal dihidupkannya kembali norma yang telah pernah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah, telah ditegaskan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XIV/2016, bertanggal 28 September 2017, yang menyatakan antara lain:
“Sebagai institusi yang diberikan wewenang konstitusional oleh konstitusi untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 langkah yang paling mungkin dilakukan Mahkamah merespon dan sekaligus mengantisipasi segala macam pengabaian terhadap norma norma atau bagian-bagian tertentu suatu Undang-Undang yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tetapi dihidupkan kembali dalam revisi Undang-Undang atau dalam Undang-Undang yang baru, maka bagi Mahkamah hal demikian akan menjadi bukti yang tidak terbantahkan untuk menyatakan norma Undang-Undang yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945”.
Dengan memaknai secara tepat dan benar maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XIV/2016 tersebut, pembentuk undang-undang tidak memiliki alasan konstitusional lagi untuk menghidupkan kembali norma atau substansi UU 8/2012 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012. Suatu norma Undang-Undang yang oleh Mahkamah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah karena materi muatan atau substansinya;
Berdasarkan uraian di atas, dalil Pemohon agar frasa “telah ditetapkan/” dalam Pasal 173 ayat (1) dan seluruh norma dalam Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah beralasan menurut hukum.
[3.11.2] Bahwa terhadap pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 tersebut oleh karena argumentasi dan dasar pengujian dalam permohonan 53/PUU-XV/2017 berbeda dengan argumentasi dan dasar pengujian permohonan a quo, dan sekalipun dalam beberapa putusan Mahkamah, Mahkamah telah mempunyai pandangan berkaitan dengan verifikasi partai politik, namun pertanyaan yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah verifikasi partai politik masih diperlukan pada saat sekarang ini dengan pertimbangan kekinian yaitu untuk memberikan kesamaan kesempatan dalam mengambil bagian atau berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya kesamaan kesempatan dalam berkontribusi di bidang politik dan dengan adanya fakta-fakta di lapangan bahwa biaya negara untuk melakukan verifikasi partai politik tidak murah apalagi dalam situasi dan kondisi ekonomi negara saat ini yang harus membiayai penanggulangan pandemi COVID-19, serta dengan memperhatikan perspektif keadilan yaitu memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan berbeda. Terhadap pertanyaan tersebut Mahkamah memberikan pertimbangan sabagaimana termuat dalam pargraf paragraf selanjutnya di bawah ini.
[3.12] Menimbang bahwa terhadap dasar pengujian yang diajukan oleh Pemohon, yaitu Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”, Mahkamah perlu mepertimbangkan bahwa meskipun Pasal tersebut tidak terkait dengan hak-hak politik warga negara, namun karena pasal yang diajukan oleh Pemohon untuk diuji ke Mahkamah adalah terkait dengan hak politik warga negara maka Mahkamah sebagai lembaga negara yang berkewajiban untuk menjaga hak-hak konstitusional warga negara, perlu mempertimbangkan hak-hak konstitusional politik warga negara yang tertuang di dalam UUD 1945, yang banyak menyebut perlindungan terkait dengan hak-hak politik warga negara, seperti hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Bahwa dalam kaitan ini Pemohon yang merupakan badan hukum partai politik, yang di dalamnya beranggotakan warga negara Indonesia yang menentukan pilihannya dengan menggunakan hak-hak politiknya di mana sudah seharusnya partai politik harus memperjuangkan hak anggotanya baik secara individual maupun secara kolektif. Bahwa oleh karena Pemohon mengajukan permohonan terkait dengan hak konstitusional politik-nya, Mahkamah memandang bahwa hak demikian dilindungi oleh konstitusi sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan hukum individu, kepentingan hukum masyarakat, dan kepentingan hukum negara. Dengan kata lain, selama tidak ada pelanggaran terhadap penjaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta termasuk pula bukan sebagai tindakan diskriminasi. Dari hal tersebut jika dikaitkan dengan verifikasi partai politik, sebenarnya UUD 1945 sudah memberikan jaminan hak konstitusional bagi warga negara untuk berperan serta dalam kehidupan berorganisasi dan berdemokrasi khususnya dalam hal mengikuti kontestasi berpolitik dengan mendirikan partai politik yang melalui prosedur atau persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik yaitu antara lain dengan diharuskannya verifikasi. Partai Politik yang telah mengikuti Pemilu adalah partai politik yang telah lolos verifikasi yang berarti partai politik tersebut sebenarnya telah memiliki kualifikasi dan kompetensi berdasarkan persyaratan tertentu yang digunakan sebagai tolok ukur kepercayaan rakyat terhadap partai politik tersebut. Hal ini menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan efektifitas penyelenggaraan Pemilu. Namun, dari pertimbangan tersebut apakah verifikasi kembali terhadap partai politik yang pernah diverifikasi dan dinyatakan lolos untuk menjadi peserta Pemilu merupakan bentuk pengingkaran prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of oppurtunity) sehingga bertentangan dengan UUD 1945? Untuk menjawab pertanyaan tersebut Mahkamah harus mempertimbangkan kembali terhadap partai politik yang akan mengikuti Pemilu selanjutnya, baik itu partai politik yang lama (yang pernah diverifikasi dan dinyatakan lolos untuk mengikuti Pemilu) maupun partai politik yang baru (partai politik yang belum pernah diverifikasi dan tidak pernah mengikuti Pemilu atau pernah diverifikasi namun tidak lolos), dengan pertimbangan kekinian dan memperhatikan perspektif keadilan yaitu memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan berbeda.
[3.13] Menimbang bahwa permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,“Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU”, yang kemudian ketentuan tersebut sepanjang frasa “telah ditetapkan/” telah dinyatakan bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018. Dengan demikian bunyi ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 tersebut menjadi, ”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU.” Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU XV/2017, Mahkamah juga membatalkan keberlakuan Pasal 173 ayat (3) UU 7/2017 yang menyatakan, ”Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu”. Pembatalan keberlakuan Pasal 173 ayat (3) UU 7/2017 berdampak pada penyamarataan terhadap semua partai politik untuk dilakukan verifikasi dalam Pemilu serentak 2019 dan partai politik yang lolos verifikasi memiliki hak konstitusional sebagai peserta Pemilu.
[3.14] Menimbang bahwa dalam perkembangannya pasca Pemilu serentak 2019, Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 ini dimohonkan kembali pengujiannya oleh Pemohon (Partai Garuda) melalui Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang pada petitumnya Pemohon meminta kepada Mahkamah agar Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “Partai yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 tidak diverifikasi kembali untuk Pemilu selanjutnya”. Artinya, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar pada Pemilu serentak 2024, terhadap partai politik peserta Pemilu 2019 tidak perlu lagi dilakukan verifikasi ulang.
[3.15] Menimbang bahwa posisi Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, bertanggal 29 Agustus 2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018 terkait dengan verifikasi partai politik sudah sangat jelas, yakni semua partai politik diharuskan mengikuti verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu selanjutnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemberlakuan syarat yang berbeda (unequal treatment) kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama. Posisi dan standing Mahkamah dalam memberlakukan ketentuan terkait kewajiban verifikasi terhadap semua partai politik, baik yang telah lolos ketentuan parliamentary threshold maupun yang tidak lolos ketentuan ini, tetapi telah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dengan partai politik baru yang akan mengikuti Pemilu selanjutnya merupakan upaya untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) akan tetapi cenderung abai pada penegakan prinsip keadilan karena memandang sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan secara berbeda.
[3.16] Menimbang bahwa pada prinsipnya, verifikasi terhadap partai politik untuk menjadi peserta Pemilu menjadi bagian yang sangat penting dan strategis. Sebab, partai politik merupakan manifestasi perwujudan aspirasi rakyat. Melalui partai politik ini lah rakyat menyalurkan aspirasinya. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi perwakilan seperti hal nya Indonesia. Namun demikian, tidak semua partai politik dapat menjadi peserta Pemilu. Hanya partai politik yang memenuhi syarat lah yang memiliki kesempatan menjadi peserta Pemilu. Di dalam Pasal 173 ayat (2) UU 7/2017, partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;
b. Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. Memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di Proivinsi yang bersangkutan;
d. Memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;
e. Menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
g. Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
h. Mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan
i. Menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.
[3.17] Menimbang bahwa persyaratan untuk menjadi partai politik peserta Pemilu sebagaimana diuraikan di atas, merupakan ujian yang cukup berat. Sebab, partai politik peserta Pemilu merefleksikan aspirasi rakyat dalam skala besar dan bersifat nasional (terkecuali partai politik lokal di Provinsi Aceh). Oleh karena itu, struktur kepengurusan partai politik harus berada di seluruh provinsi (skala nasional), memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu dan persyaratan lainnya. Tantangannya tidak selesai sampai di situ, setelah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu serentak 2019, ada partai politik yang lolos Parliamentary Threshold sehingga memiliki wakil di DPR dan ada pula partai politik yang tidak lolos parliamentary threshold sehingga tidak memiliki wakil di DPR, tetapi boleh jadi memiliki wakil di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan ada pula partai politik peserta Pemilu yang tidak memiliki wakilnya baik di tingkat DPR maupun di tingkat DPRD Prov/Kabupaten/Kota. Melihat dinamika dan perkembangan capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik pada suatu kontestasi Pemilu, maka pertanyaannya adalah apakah adil ketiga varian capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik disamakan dengan partai politik baru yang akan menjadi peserta Pemilu pada “verifikasi” kontestasi Pemilu selanjutnya? Dalam perspektif keadilan, hal ini tidak dapat dikatakan adil karena esensi keadilan adalah memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan berbeda. Memperlakukan verifikasi secara sama terhadap semua partai politik peserta Pemilu, baik partai politik peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya maupun partai politik baru merupakan suatu ketidakadilan. Oleh karena itu, terhadap partai politik yang lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold tetap diverifikasi secara adimistrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru. Dengan demikian Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian;
Putusan Nomor 32/PUU-XVIII/2020
Pemohon:
Hj. Nurhasanah, SH., M.H, Prof. Dr. Ibnu Hajar, M.Si, Dr. Maryono, S.Kar., M.Hum, Prof. DR. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng, DR. Habel Melkias Suwae, S.Sos, M.M, Prof. Gede Sri Darma, D.B.A, Dra. Hj. Septina Primawati dan H. Khoerul Huda, S.T, M.M yang memberikan kuasa kepada Zul Armain Aziz, S.H., M.H. dkk, para Advokat pada Kantor Hukum Zul Armain Aziz & Associates , untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pokok Perkara:
Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Permasalahan:
Bahwa Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 karena dinilai telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon.
Pertimbangan Hukum:
Bahwa terhadap 6 ayat (3) UU 40/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, para Pemohon mengemukakan dalil-dalil (selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara) yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, AJB Bumiputera 1912 merupakan asuransi yang berbentuk usaha bersama dan satu-satunya di Indonesia, dimana dengan bentuk usaha bersama tersebut memiliki perbedaan pengelolaan dengan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas;
2. Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, terkait dengan isu pengaturan usaha perasuransian berbentuk usaha bersama yang sebelumnya termuat dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU 2/1992) telah pernah diajukan ke Mahkamah dan telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, dan Mahkamah telah menegaskan terhadap ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh pembentuk undang-undang ketika membentuk UU 40/2014 dimana substansi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU 2/1992 diubah dengan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sehingga norma a quo tersebut justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013;
3. Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, dengan berlakunya Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 tersebut yang justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 selain berdampak pada kewibawaan lembaga pemutusnya juga berdampak pada penegakan hukum serta konstitusi yang sedang berlangsung dimana dalam hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum serta keadilan bagi para Pemohon yang sebelumnya telah mendapatkannya dalam Putusan Mahkamah sebelumnya menjadi terhalangi.
4. Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan UndangUndang”.
…
[3.12] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, menurut para Pemohon, Pasal 6 ayat (3) tersebut tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014 yang dalam pertimbangan hukum dan amarnya memerintahkan kepada Pembentuk undang-undang untuk membuat norma bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang, dan Mahkamah memberi waktu dua tahun enam bulan kepada Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama. Namun, ternyata Perubahan Undang-Undang tentang Perasuransian, in casu UU 40/2014 tidak mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur dengan undang-undang. Pembentuk undang-undang justru mendegradasinya menjadi mengatur dengan peraturan pemerintah. Oleh karena itu menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
[3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut:
[3.13.1] Bahwa berkenaan dengan perekonomian sebagai ‘Usaha Bersama’, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial …”. Pembukaan UUD 1945 tersebut kemudian dijabarkan salah satunya dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (1) yang menyatakan Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, perekonomian Indonesia harus disusun sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan, namun tidak menutup ruang usaha dalam bentuk lain.
Lebih lanjut Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 merupakan pedoman bagi negara untuk menyusun perekonomian sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaktubkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Dari aspek historis, sebagaimana termuat dalam lampiran UUD 1945 (sebelum perubahan), Pasal 33 dicantumkan untuk menegaskan bahwa kemakmuran masyarakat adalah utama, perekonomian disusun berdasar asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai Negara, hanya cabang produksi yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh ada di tangan individu/swasta, sedangkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah termasuk cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu.
Mohammad Hatta selaku perancang Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa kemunculan norma pasal tersebut dilatarbelakangi oleh semangat kolektivitas yang didasarkan pada semangat tolong-menolong (Mohammad Hatta, Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan Keekonomian dan Koperasi, Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian PP&K, 1954, halaman 265). Selain Mohammad Hatta, Soepomo sebagai salah seorang founding fathers berpandangan bahwa ..the private sectors may be involved only in non-startegic sectors-that do not effect the lives of most people…if the state does not control the strategic sectors, they will fall under the control of private-individuals and the people will be oppressed by them” (terjemahan bebas, sektor swasta mungkin hanya terlibat dalam sektor non strategis yang tidak mempengaruhi kehidupan kebanyakan orang … jika negara tidak mengontrol sektor-sektor strategis, mereka akan berada di bawah kendali swasta-individu dan rakyat akan ditindas oleh mereka (Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 1, Februari Tahun 2010, hlm. 121).
Bahwa selain itu, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013, tanggal 8 Mei 2014, (alinea pertama hlm. 240) telah mempertimbangkan makna usaha bersama sebagai berikut:
Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta Penjelasannya tersebut, koperasi merupakan bagian penting dari tata susunan ekonomi nasional atau tata susunan ekonomi Indonesia. Suatu tata susunan ekonomi mesti dirancang sesuai dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa yang membentuk negara ini, nilai yang kemudian menjadi karakternya sebagaimana diuraikan di muka, yaitu nilai dan karakter kolektif, yang merupakan kebalikan dari nilai individualistik yang tidak dianut oleh UUD 1945. Koperasi sebagai bagian dari suatu tata susunan ekonomi mesti didesain, disosialisasikan, diperjuangkan, dan dilaksanakan, bukan tata susunan yang diserahkan kepada mekanisme pasar, meski pasar harus menjadi perhatian penting dalam percaturan perekonomian internasional. Dengan demikian maka sistem perekonomian nasional adalah merupakan sistem perekonomian yang berkarakter. Nilai yang dijunjung tinggi yang kemudian menjadi karakternya tersebut telah dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yaitu suatu tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, nilai sosial yang dijunjung tinggi dan diimplementasikan oleh bangsa yang kemudian menjadi karakternya tersebut di dalam UUD 1945 dirumuskan menjadi demokrasi ekonomi yang bertumpu pada dasar usaha bersama dan asas kekeluargaan.
Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka telah jelas bahwa usaha bersama sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 adalah amanat tegas agar negara membentuk perekonomian dengan asas kekeluargaan yang saling bergotong-royong untuk meningkatkan perekonomian demi memajukan kesejahteraan umum, bukan individu semata sebagai perwujudan tujuan dari Pembukaan UUD 1945.
[3.13.2] Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan Perusahaan Asuransi Usaha Bersama (mutual insurance) sebagaimana praktik yang sudah berlangsung, yaitu adanya Asuransi Usaha Bersama seperti AJB Bumi Putera 1912, telah ternyata membuktikan bahwa perusahaan usaha bersama tersebut tidak hanya berbentuk koperasi melainkan juga perusahaan asuransi, yaitu asuransi jiwa bersama. Penegasan tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014, dalam Paragraf [3.10.3], khususnya baris terakhir menyatakan:
… Bahwa eksistensi Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumi Putera 1912 sebagai salah satu bukti sejarah konsep asuransi dengan prinsip dan asas kebersamaan atau usaha bersama (mutual).
Dengan demikian, sejarah perasuransian di Indonesia untuk pertama kali telah dibentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama (mutual insurance) yang dikenal dengan AJB Bumi Putera 1912 yang bertahan sampai saat ini. Artinya, Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 telah diejawantahkan bahwa usaha bersama yang dapat berbentuk koperasi maupun usaha bersama yang berbentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama yang dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013).
Bahwa sesuai fakta sejarah mengenai Asuransi Usaha Bersama (mutual insurance) yang ada sejak sebelum Indonesia merdeka tersebut, pembentuk undang-undang dalam Undang-Undang Perasuransian sebelum dilakukan perubahan telah memberi penguatan terhadap Asuransi Usaha Bersama (mutual insurance), yaitu dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang menyatakan, “Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (mutual) diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang“.
Dengan demikian, keberadaan Asuransi Usaha Bersama (mutual insurance) diakui dan diberi penguatan oleh pembentuk undang-undang untuk berkembang dan bersaing baik dengan usaha asuransi dalam bentuk perseroan maupun usaha asuransi dalam bentuk koperasi, dan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 semakin mengukuhkan penguatan Asuransi Usaha Bersama (mutual insurance) dengan memerintahkan pembentuk undang-undang dalam waktu dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan untuk membentuk dan mengundangkan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama di luar undang-undang tentang usaha perasuransian. Oleh karena itu berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka Asuransi Usaha Bersama merupakan usaha yang harus dibentuk dengan undang-undang sebagai amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
[3.13.3] Bahwa lebih lanjut, praktik usaha asuransi berbentuk usaha bersama di Indonesia memang hanya dimiliki oleh AJB Bumiputera. Namun, usaha asuransi berbentuk usaha bersama di negara lain berkembang dan maju menjadi perusahaan asuransi yang besar seperti di Jepang, Perancis, Denmark, Norwegia, Swedia, Belgia, Finlandia, Polandia, Slovenia, Spanyol, Amerika Serikat, serta di Afrika Selatan. Di Selandia Baru justru diadopsi dan didominasi oleh perusahaan asuransi jiwa. Bahkan perusahaan asuransi yang mengadopsi bentuk usaha bersama justru berkembang dengan sukses dan menjadi perusahaan multi-nasional yang memiliki cabang di banyak negara, seperti The Folksam Group di negara Swedia, Liberty Mutual Insurance di Amerika Serikat, The MACIF Group di negara Perancis, dan Old Mutual Life Assurance Company di negara Afrika Selatan.
Keberhasilan perusahaan asuransi dalam bentuk usaha bersama di berbagai negara tersebut didukung dengan memberikan ruang pengaturannya dalam bentuk undang-undang, antara lain seperti: Selandia Baru, dengan Insurance (Prudential Supervision) Act 2010 dan Farmers’ Mutual Group Act 2007 Number 1 Private Act, Kanada, dengan Mutual Insurance Companies Act Chapter 306 of Revised Statutes 1989 dan Mutual Fire Insurance Companies Act 1960-Chapter 262, Inggris dan Scotlandia (United Kingdom), dengan Friendly Societies Act 1992, Perancis, dengan Code de la Mutualié, Jerman, dengan Versichegerungsaufsichtsgezetz yang telah diubah terakhir pada Tahun 2020. Dengan demikian, maka terlihat dengan jelas bahwa untuk mendukung Asuransi Usaha Bersama perlu diatur dengan undang-undang;
[3.13.4] Bahwa selain penegasan tersebut di atas, hal yang tidak dapat diabaikan adalah kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan. Sebagaimana diketahui bahwa secara universal putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya, ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya saja, melainkan juga pelaksanaannya atau eksekusinya secara paksa. Suatu putusan dapat dilaksanakan apabila kepala putusan atau disebut irah-irah memuat kalimat yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, pencantuman irah-irah ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut. Sehingga, peniadaan irah-irah tersebut mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Selain itu, pada asasnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti serta mengikat antara para pihak yang berperkara.
Bahwa terkait dengan kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan, secara doktriner, bahwa putusan badan peradilan yang memerlukan eksekusi nyata (riil) adalah amar putusan yang bersifat condemnatoir (penghukuman), sedangkan putusan yang bersifat constitutief atau declaratoir tidak memerlukan eksekusi nyata (riil). Namun demikian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan norma dari undang-undang adalah inkonstitusional dan kemudian diikuti amar yang memerintahkan kepada pembentuk undang-undang dalam jangka waktu tertentu untuk membentuk undang-undang sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, maka kedua amar tersebut di samping mengandung amar yang bersifat constitutief atau declaratoir juga memuat amar yang bersifat penghukuman (condemnatoir). Artinya, amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga memuat perintah untuk melakukan suatu tindakan, yaitu membentuk undang-undang yang baru/tersendiri dalam jangka waktu dua setengah tahun sejak putusan itu diucapkan.
Dalam konteks Putusan Mahkamah Konstitusi, putusan yang berkekuatan hukum tetap tercermin dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, …”. Kemudian Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Kata “final” dalam kedua pasal tersebut di atas, dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK, yaitu:
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat bagi semua pihak sejak putusan itu diucapkan, terutama dalam hal ini pembentuk undang-undang. Artinya, semua putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial, terlebih terhadap putusan yang disertai amar yang bersifat penghukuman (condemnatoir), sebagaimana diuraikan di atas.
Bahwa oleh karena itu persoalan yang menjadi pertanyaan penting dan fundamental adalah apa akibat hukum apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang amarnya mengabulkan permohonan para Pemohon bahkan terkandung permintaan agar pembentuk undang-undang atau pihak lain untuk melakukan perbuatan tertentu tidak ditaati. Menurut Mahkamah, tindakan tidak mentaati putusan adalah ‘pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi’. Hal tersebut berakibat adanya ketidakpastian hukum yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akibat lainnya adalah terjadinya penundaan keadilan (constitutionalism justice delay) yang basisnya adalah nilai-nilai konstitusi Indonesia. Akibat hukum lain yang dapat ditimbulkan adalah ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat memunculkan rivalitas lembaga negara yang diperlihatkan oleh DPR dan Presiden melalui pembentukan undang-undang yang dikeluarkan seolah mengabaikan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, keadaan demikian tentu dapat menyebabkan ketidakstabilan negara hukum utamanya penegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi adalah hukum yang dibentuk oleh badan peradilan yang kewenangannya didasarkan langsung dari UUD 1945, di mana ketika Mahkamah Konstitusi mengadili suatu perkara mendasarkan pada pasal-pasal yang termuat di dalam UUD 1945 sebagai hukum materiil. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Kata hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak hanya UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan di bawahnya melainkan juga termasuk putusan pengadilan. Sehingga ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi adalah pengabaian terhadap UUD 1945.
Bahwa dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi karena alasan-alasan yang bersifat kekinian sehingga tidak tepat lagi untuk diakomodir/dipenuhi atau tidak dapat dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang ataupun pihak lain, sepanjang alasan tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas suatu norma, bukan sematamata alasan yang bersifat teknis dan pragmatis, maka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi demikian dapat diajukan pengujian kembali untuk dilakukan ‘peninjauan’ terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sebagaimana hal demikian telah pernah dikabulkan oleh Mahkamah. Bukan dengan sengaja menafsirkan putusan dimaksud dan selanjutnya tidak mentaatinya.
[3.13.5] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dipersoalkan oleh para Pemohon yang sangat terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Menurut Mahkamah, sesungguhnya dalam putusan tersebut, baik dalam pertimbangan hukum maupun amarnya secara expressis verbis memerintahkan Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan. Selengkapnya amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 menyatakan:
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1. Frasa “…diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “… ‘diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”;
1.2. Frasa “…diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “… ‘diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”;
2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Bahwa sesuai amar Putusan Mahkamah tersebut maka pembentuk undang-undang diberi waktu dua tahun enam bulan untuk membentuk UndangUndang tentang Asuransi Usaha Bersama (Mutual Insurance). Namun, kenyataannya pembentuk undang-undang bukan membentuk undang-undang sebagaimana perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 melainkan hanya memuat satu pasal dalam UU 40/2014 bahkan pembentuk undang-undang mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang kemudian oleh Mahkamah juga telah diputus bahwa Asuransi Usaha Bersama dibentuk dengan undang-undang.
Bahwa dalam persidangan baik Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan yang pada pokoknya:
a. Perusahaan AJB Bumi Putera 1912 hanya satu-satunya dan tidak dimungkinkan akan ada penambahan perusahaan Asuransi Usaha Bersama (mutual) lagi di Indonesia.
b. Dalam Usaha Bersama, penambahan modal tidak dapat dilakukan karena karakteristik Usaha Bersama tidak membolehkan adanya penambahan modal dari pihak luar selain dari anggota. Di sisi lain, karakteristik usaha perasuransian adalah bisnis yang memerlukan modal usaha besar.
c. Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan Usaha Bersama dalam menambah modal, dengan pemahaman Usaha Bersama sebagai kumpulan pihak dan bukan kumpulan modal, sementara di sisi lain Usaha Bersama tetap harus memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, maka terhadap Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama yang telah ada, agar dapat tetap menjalankan usaha dengan memiliki standar perusahaan asuransi yang ideal, perlu diatur pembatasan ruang lingkup Asuransi Usaha Bersama dan penyempurnaan ketentuan mengenai tata kelola perusahaan-perusahaan Asuransi Usaha Bersama.
d. Bahwa UU 40/2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka pembuat undang-undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah.
Bahwa penjelasan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, menurut Mahkamah telah menafsirkan lain dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Putusan Mahkamah Konstitusi a quo sangat jelas dan gamblang menyatakan bahwa frasa “…diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “… ‘diatur lebih lanjut dengan UndangUndang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”. Artinya, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) harus diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang tersendiri terpisah dari asuransi berbentuk perseroan dan asuransi berbentuk koperasi.
Bahwa tindakan pembentuk undang-undang yang menafsirkan berbeda dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 merupakan tindakan yang keliru bahkan secara faktual tindakan pembentuk undang-undang yang tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kekuatan eksekutorial merupakan bentuk ketiadaktaatan terhadap hukum. Terlebih lagi, pembentuk undang-undang secara sadar menafsirkan lain yang justru mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Tindakan menafsirkan amar suatu putusan badan peradilan adalah juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap asas universal ‘res judicata pro viratate habetur’ yang menjadi landasan setiap putusan hakim yang harus dianggap benar, sepanjang putusan itu tidak dibatalkan kemudian oleh putusan hakim yang lain. Dengan kata lain, putusan hakim tidak boleh ditafsirkan lain dan harus dilaksanakan sebagaimana bunyi amar putusannya dan bunyi amar putusan dimaksud dianggap benar hingga dibatalkan oleh putusan hakim yang lainnya.
Bahwa alasan pembentuk undang-undang sebagaimana telah diuraikan di atas, bukan merupakan alasan konstitusional melainkan alasan teknis-pragmatis belaka. Seharusnya pembentuk undang-undang membuat undang-undang mengenai Asuransi Usaha Bersama agar menjadi maju dan berkembang sehingga dapat bersaing dengan asuransi perseroan dan asuransi koperasi. Sebagaimana di negara-negara lain seperti yang telah Mahkamah uraikan dalam Paragraf [3.13.3], terlebih untuk Indonesia yang secara fakta sejarah telah memiliki Asuransi Usaha Bersama dalam hal ini AJB Bumiputera 1912 yang sampai saat ini keberadaannya masih diakui, justru harus didorong agar dapat mengembangkan industri perasuransian dengan bentuk usaha bersama, apalagi hal itu merupakan amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Di samping alasan tersebut di atas, penguatan eksistensi Asuransi Usaha Bersama juga mencerminkan adanya tekad dari negara dalam mempertahankan warisan kultur dan semangat gotong royong (legacy) dalam membangun perekonomian yang hingga saat ini masih relevan dibutuhkan yang menjadi ciri utama falsafah bangsa Indonesia. Sebab, mengakomodir pengaturan asuransi sebagai usaha bersama (mutual), sebagaimana AJB Bumi Putera 1912 di dalam undang-undang adalah juga bagian dari bentuk legitimasi bangsa Indonesia terhadap aspek legacy tersebut di atas.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 beralasan menurut hukum, yaitu mengganti frasa yang semula berbunyi “diatur dalam Peraturan Pemerintah” menjadi “diatur dengan undang-undang”, sehingga ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan UndangUndang”. Perubahan norma dimaksud semata-mata agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (1) yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Oleh karenanya, adalah tindakan inkonstitusional jika pembentuk undang-undang menafsirkan lain atau berbeda dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah.
[3.15] Menimbang bahwa untuk menyelesaikan pembentukan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama sebagaimana dikemukakan di atas, Mahkamah berpendapat diperlukan jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan. Waktu dua tahun adalah waktu yang cukup bagi pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama (mutual insurance).
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum.
Putusan Nomor ……
Pemohon:
Pokok Perkara:
Permasalahan:
Pertimbangan Hukum: