Ditulis oleh: Vania Prameswari dan Erlangga Hendratono
Permasalahan Anak Tanpa Kewaganegaraan di Indonesia
Dalam kerangka hukum Internasional, statelessness atau tanpa kewarganegaraan, adalah seseorang yang tidak diakui sebagai warga negara oleh negara mana pun berdasarkan hukumnya.Keadaan tanpa kewarganegaraan bagi seseorang merupakan permasalahan yang kompleks dan berkepanjangan. Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) memberikan estimasi bahwa masih terdapat 12 juta orang tanpa kewarganegaraan hingga tahun 2018. Indonesia sendiri tidak terlepas dari permasalahan tanpa kewarganegaraan. Walaupun sulit untuk diidentifikasi dan tidak ada jumlah resmi, dalam pengajuan UNHCR pada sesi ke-27 Universal Periodic Review tahun 2017 disampaikan bahwa terdapat indikasi jumlah populasi orang tanpa kewarganegaraan yang berpotensi besar di Indonesia.
Keadaan tanpa kewarganegaraan terhadap seseorang tidak mengenal usia. Seseorang bisa kehilangan kewarganegaraan pada saat dewasa atau bahkan terlahir tanpa kewarganegaraan. Anak yang terlahir dari orang tua yang tidak memiliki kewarganegaraan akan berpotensi menerima status tanpa kewarganegaraan pula, sehingga menimbulkan siklus antar generasi. Mengingat anak merupakan kelompok rentan, tidak dapat dipungkiri bahwa anak yang terlahir tanpa kewarganegaraan akan menanggung dampak yang lebih berat.
Untuk mencegah dan mengurangi keadaan tanpa kewarganegaraan, masyarakat internasional telah menyepakati dua Konvensi terkait tanpa kewarganegaraan. Selain itu, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan berbagai instrumen internasional hak asasi manusia telah mengatur bahwa setiap orang berhak atas kewarganegaraan. Namun demikian, kewaraganegaraan hanya dapat diberikan kepada seseorang atas diskresi suatu Negara. Adapun Indonesia sebagai duty bearer dalam hal ini memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas kewarganegaraan. Dengan pelaksanaan kewajiban tersebut, diharapkan akan mengurangi atau bahkan menghilangkan status tanpa kewarganegaraan bagi anak di Indonesia. Untuk itu, pada tulisan ini akan dibahas terkait urgensi hak atas kewarganegaraan atau hak untuk tidak dalam keadaan tanpa kewarganegaraan bagi anak di Indonesia. Kemudian, akan dibahas mengenai kewajiban Pemerintah Indonesia terkait hak anak atas kewarganegaraan secara normatif. Pada bagian terakhir, akan diulas terkait implementasi dari kewajiban negara terkait hak anak atas kewarganegaraan dalam bentuk legislasi dan kebijakan nasional yang telah diterapkan Pemerintah Indonesia.
Urgensi Hak atas Kewarganegaraan bagi Anak di Indonesia
Anak memiliki serangkaian hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang telah diakui dalam instrumen internasional hak asasi manusia. Sebagaimana sifat universal dalam hak asasi manusia, hak dan kebebasan dasar tersebut berlaku bagi anak tanpa terkecuali, termasuk anak tanpa kewarganegaraan. Akan tetapi, faktanya banyak negara yang menjadikan kewarganegaraan pada seseorang sebagai prasyarat praktis untuk dapat memperoleh penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia secara optimal. Hal ini disebabkan karena melalui kewarganegaraan tersebut akan menimbulkan suatu hubungan hukum yang bersifat timbal balik antara negara dan warga negara. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki kewarganegaraan akan memiliki hak dan kewajiban dalam suatu negara dan sebaliknya negara memiliki kewenangan dan kewajiban tertentu terhadap warga negaranya. Untuk itu, seorang anak yang memiliki kewarganegaraan akan memperoleh suatu jaminan sebagai warga negara, bahwa negaranya tersebut memiliki kewajiban negara atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya.
Pada praktiknya, beberapa hak asasi manusia hanya bisa dinikmati dan diwujudkan dengan menjadi seorang warga negara. Contoh yang paling sederhana adalah hak untuk turut serta dalam pemerintahan dalam bentuk memilih dan dipilih hanya dapat dilakukan oleh warga negara suatu negara. Kemudian, hak untuk masuk tanpa ditolak dan menetap secara permanen dalam wilayah suatu negara adalah hak warga negara. Adapun perlindungan dan bantuan hukum bagi seseorang di luar negeri hanya dapat diberikan Pemerintah kepada warga negaranya.
Ada pula kebijakan-kebijakan negara yang ditujukan khusus untuk warga negaranya dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi manusia secara optimal. Dalam bidang pendidikan di Indonesia, Pemerintah telah mengambil kebijakan wajib belajar, dimana setiap warga negara yang berusia 6 (tahun) dapat mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Selain itu, anak tanpa kewarganegaraan pada umumnya lahir tanpa didaftarkan dan tidak memiliki suatu dokumen kependudukan yang dapat menunjukkan identitas hukum mereka. Apabila seorang anak tidak memiliki dokumen kependudukan, maka anak tersebut akan kesulitan untuk dapat mengurus segala sesuatu hal yang membutuhkan identitias diri, seperti untuk masuk sekolah dan memperoleh ijazah pendidikan, mendapatkan jaminan sosial dan akses kesehatan, mendaftarkan perkawinan, memperoleh pekerjaan pada saat dewasa dan lain-lain.
Mengingat hak asasi manusia bersifat interelated dan interdependent, terlihat bahwa tidak terpenuhinya hak atas kewarganegaraan bagi seorang anak akan berdampak pada pemenuhan hak asasi manusia lainnya. Dalam keadaan tidak bisa mengakses sepenuhnya hak asasi manusia dan kebebasan dasar tersebut, seorang anak tanpa kewarganegaraan akan rentan terhadap kekerasan, pelecehan dan eksploitasi. Dengan melihat urgensi dari hak atas kewarganegaraan bagi anak tersebut, maka setiap Negara, termasuk Indonesia, memiliki kewajiban atas pemenuhan dan perlindungan hak anak atas kewarganegaraan sesuai dengan hukum internasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewajiban Pemerintah Indonesia Terkait Hak Anak Atas Kewarganegaraan
Walaupun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan pada tahun 1954 dan Kovensi tentang Pengurangan Keadaan Tanpa Kewarganegaraan pada tahun 1961, Indonesia telah meratifikasi beberapa instrumen internaisonal hak asasi manusia yang mengatur tentang hak anak atas kewarganegaraan, yakni sebagai berikut:
- Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD)mengatur bahwa Negara Pihak wajib melarang dan menghilangkan diskriminasi rasial dalam segala bentuk dan menjamin hak setiap orang termasuk hak atas kewarganegaraan tanpa membedakan ras, warna kulit, kebangsaan dan suku.
- Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR)menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk didaftarkan segera setelah kelahirannya, mendapatkan suatu nama dan memperoleh kewarganegaraan.
- Konvensi tentang Hak-Hak Anak (CRC)juga mengatur hal yang serupa dengan ICCPR. Namun, CRC dalam hal ini memberikan penegasan terkait anak tanpa kewarganegaraan yakni dengan mewajibkan Negara Pihak untuk mengimplementasikan hak-hak ini sesuai dengan hukum nasionalnya, khususnya apabila anak menjadi tanpa kewarganegaraan.
- Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW)menjamin bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki berkenaan dengan pemberian kewarganegaraan pada anak-anak mereka.
Sebagai negara pihak dari instrumen internasional hak asasi manusia tersebut, Indonesia wajib menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan iktikad baik. Dalam perspektif hak asasi manusia, kewajiban Indonesia untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia tidak hanya terbatas kepada warga negara Indonesia. ICCPR menegaskan bahwa Negara Pihak wajib menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada yurisdiksi hukumnya, tanpa pembedaan apapun. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia setiap orang, termasuk anak-anak tanpa kewarganegaraan yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada yurisdiksi hukumnya.
Dalam kerangka hukum nasional, kewajiban Negara atas hak asasi manusia telah daitur di Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Dalam hal ini, kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah harus bisa dimanifestasikan dalam bentuk langkah implementasi yang efektif.
Langkah-langkah Pemerintah Indonesia dalam Memutus Rantai Keadaan Tanpa Kewarganegaraan pada Anak
Walaupun berbagai instrumen internasional hak asasi manusia telah secara eksplisit mengatur hak anak atas kewarganegaraan, instrumen-instrumen tersebut tidak mewajibkan negara untuk memberikan kewarganegaraan pada setiap anak yang lahir di wilayahnya. Selain itu, instrumen-instrumen tersebut juga tidak menentukan tata cara pemberian kewarganegaraan oleh suatu negara pada tataran praktis. Adapun setiap Negara diberikan diskresi untuk menentukan kriteria-kriteria pemberian kewarganegaraan dalam hukum nasionalnya masing-masing. Namun, tata cara pemberian kewarganegaraan tersebut harus dilakukan sesuai batasan-batasan untuk memastikan bahwa tidak ada anak tanpa kewarganegaraan. Dalam hal ini, langkah-langkah Pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan keadaan tanpa kewarganegaraan dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni solusi pencegahan (preemptive remedies) dan solusi naturalisasi (naturalization remedies).
Dalam solusi pencegahan, Pemerintah Indonesia harus mengambil legislasi dan kebijakan nasional untuk memastikan seorang anak yang lahir di Indonesia tidak dalam keadaan tanpa kewarganegaraan. Pemerintah Indonesia sudah mengakui dan mengatur di dalam legislasi nasional atas hak setiap anak untuk memperoleh suatu nama dan status kewarganegaraan sejak kelahirannya sebagai hak asasi manusia. Menurut Konstitusi, yang diakui sebagai warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Ketentuan tersebut tidak bersifat diskriminatif karena tidak menentukan bangsa, etnis atau suku tertentu yang merupakan bangsa Indonesia asli. Selain itu, ketentuan tersebut mengakui bahwa seseorang di luar bangsa Indonesia asli dapat menjadi warga negara Indonesia apabila telah memenuhi persyaratan-persyaratan di dalam undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, anak tanpa kewarganegaraan yang bukan bangsa Indonesia asli masih memiliki kesempatan untuk menjadi warga negara Indonesia jika memenuhi ketentuan di dalam undang-undang.
Secara umum, Indonesia memberikan kewarganegaraan pada seorang anak berdasarkan asas ius sanguinis. Dalam hal ini, dapat dipastikan seorang anak akan lahir sebagai warga Negara Indonesia jika satu satu atau kedua orang tua merupakan warga Negara Indonesia. Dalam hal seorang anak dilahirkan dari atau di luar perkawinan yang sah antara warga negara Republik Indonesia dan warga negara asing, maka anak tersebut tetap berhak memperoleh kewarganegaraan dari kedua ayah dan ibunya. Anak tersebut akan memiliki kewarganegaraan ganda terbatas, dimana setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraan. Selain itu, Undang-Undang ini telah menjamin kesetaraan gender karena seorang Ibu dapat menurunkan kewarganegaraannya kepada anak.Bahkan, Undang-Undang ini menetapkan status warga Negara Indonesia bagi anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut. Langkah-langkah ini merupakan suatu upaya agar anak yang terlahir dari ayah dan / atau ibu yang merupakan warga negara Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
Namun, permasalahan muncul ketika terdapat seorang anak yang terlahir di Indonesia dari ayah dan ibu yang tidak memiliki kewarganegaraan. Dalam kondisi-kondisi tertentu, status kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada seorang anak berdasarkan asas ius soli secara terbatas. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia, walaupun ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya. Walaupun Indonesia belum melakukan ratifikasi, ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan sudah sesuai dengan Kovensi tentang Pengurangan Keadaan Tanpa Kewarganegaraan pada tahun 1961. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk mengupayakan tidak ada anak yang terlahir di Indonesia tanpa kewarganegraan.
Disamping pemberian kewarganegaraan pada anak yang lahir di Indonesia, pendaftaran kelahiran juga dapat meminimalisir terjadinya keadaan tanpa kewarganegaraan pada anak. Setelah seorang anak lahir, dokumen resmi pertama yang sangat diperlukan sebagai pengakuan negara atas kedudukan hukum anak tersebut adalah akta kelahiran. Walaupun akta kelahiran tidak memberikan seseorang anak kewarganegaraan, akta kelahiran dapat memberikan keterangan resmi atas identitas seorang anak. Dalam hal ini, akta kelahiran dapat memberikan informasi terkait hubungan hukum antara anak dengan orang tua dan tempat kelahiran seorang anak, sehingga dapat menjadi bukti awal untuk menentukan kewarganegaraan seorang anak. Dalam kondisi-kondisi tertentu, anak yang tidak memiliki akta kelahiran akan berisiko menjad tanpa kewarganegaraan, seperti anak yang tinggal di pulau-pulau terluar / perbatasan yang rutin melakukan migrasi antar negara di perbatasan, anak yang lahir dari etnis minoritas, ataupun lahir dari orang tua tanpa kewarganegaraan di Indonesia.
Dalam peraturan perundang-undangan terkait administrasi kependudukan, kelahiran anak merupakan peristiwa penting yang wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. Berdasarkan ketentuan tersebut, akta kelahiran tidak hanya diberikan kepada warga negara Indonesia melainkan juga orang bukan warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Bahkan, peraturan ini juga mengakomodir pencatatan kelahiran dan penerbitan akta kelahiran terhadap peristiwa kelahiran seorang anak yang tidak diketahui asal-usulnya atau keberadaan orang tuanya. Namun demikian, peraturan perundang-undangan ini masih memiliki kelemahan karena melihat pelaporan kelahiran untuk memperoleh akta kelahiran sebagai kewajiban penduduk dan bukan hak dari penduduk.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, presentase anak yang memiliki akte kelahiran di Indonesia pada tahun 2016 adalah 81.68%. Untuk mempercepat proses pencatatan kelahiran dan meningkatkan kepemilikan akta kelahiran pada setiap anak, Pemerintah Indonesia telah menyusun Strategi Nasional Percepatan Administrasi Kependudukan untuk Pengembangan Statistik Hayati, dimana target pencapaian kepemilikian akta kelahiran pada penduduk 0-17 tahun adalah sebesar 90% pada tahun 2020 dan 100% pada tahun 2024. Meskipun masih terdapat kekurangan-kekurangan, Pemerintah dalam hal ini terus berupaya untuk mencapai pemenuhan hak anak di seluruh Indonesia untuk segera didaftarkan setelah kelahirannya dan memperoleh akta kelahiran.
Dalam solusi naturalisasi, Pemerintah Indonesia harus mengambil legislasi dan kebijakan nasional untuk memastikan seorang anak yang sudah dalam keadaan tanpa kewarganegaraan dan berada di wilayah Indonesia dapat memperoleh hak atas kewarganegaraan melalui naturalisasi / pewarganegaraan. Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan jika memenuhi persyaratan-persyaratan sebagaimana diatur di dalam Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Walaupun secara normatif dimungkinkan bagi anak tanpa kewarganegaraan untuk mengajukan permohonan pewarganegaraan pada saat telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, pada tataran praktis akan sangat sulit bagi mereka untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan, anak tanpa kewarganegaraan memiliki kesulitan dan hambatan untuk menikmati secara optimal hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya. Dalam hal ini, anak tanpa kewarganegaraan belum tentu dapat memenuhi persyaratan pada huruf b (bertempat tinggal di wilayah Indonesia paling singkat 5 tahun berturut-turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut) dan huruf g (mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap).
Apabila anak tanpa kewarganegaraan masuk ke wilayah Indonesia secara tidak prosedural, maka besar kemungkinan anak tersebut akan ditahan di Rumah Detensi Imigrasi dan mendapatkan tindakan administratif keimigrasian seperti deportasi. Selain itu, apabila anak tanpa kewarganegaraan masuk ke wilayah Indonesia sebagai pencari suaka atau pengungsi, maka anak tersebut akan ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi untuk dipulangkan secara sukarela, dideportasi, atau diproses untuk ditempatkan di negara ketiga berdasarkan keputusan UNHCR.
Adapun permasalahan dalam Undang-Undang tentang Kewarganegaraan adalah tidak mengatur secara khusus permohonan pewarganegaraan untuk orang tanpa kewarganegaraan. Dalam hal ini, anak tanpa kewarganegaraan yang berada di wilayah Indonesia kurang memperoleh pemenuhan hak atas kewarganegaraan melalui solusi naturalisasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa legislasi dan kebijakan Pemerintah Indonesia sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk memberikan hak anak atas kewarganegaraan dan sekaligus memutus rantai keadaan tanpa kewarganegaraan pada anak lebih berorientasi pada solusi pencegahan. Selain itu, Pemerintah Indonesia masih perlu mengambil langkah yang lebih optimal dalam hal proses naturalisasi / pewarganegaraan terhadap anak yang berada di wilayah Indonesia dalam keadaan tanpa kewarganegaraan.
(*Artikel ini dimuat dalam Majalah Mediasi HAM Edisi 20: https://pubhtml5.com/bookcase/afjt/gold)