Upaya Memenuhi Hak Penyandang Disabilitas

Bagikan

Oleh: Bambang Widodo

Penyandang Disabilitas belum mendapat tempat di masyarakat. Kehadirannya  masih  dipandang sebelah mata. Keterbatasan yang dimiliki, membuat mereka dianggap sebagai kelompok yang lemah, tidak berdaya dan hanya perlu  mendapatkan belas kasihan.  Hak-hak mereka sebagai manusia seringkali diabaikan. Mulai dari hak untuk hidup, hak untuk memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan hingga  hak kemudahan mengakses fasilitas umum.

Padahal Undang-undang  Dasar UUD 1945, sudah dengan tegas  menjamin para penyandang disabilitas.  Setidaknya dalam Pasal 28H ayat (2)  UUD 45, menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Selain itu  pemerintah Indonesia juga telah  meratifikasi   Convention On The Rights Of Persons With Disabillities,  pada 2011 lalu yang tertuamg  dalam Undang-undang No 19 Tahun 2011  tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas). Indonesia merupakan negara ke-107 yang meratifikasi konvensi tersebut.

Dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2001  diatur tentang  hak-hak para   penyandang disabilitas. Mulai dari  hak untuk bebas dari penyiksaan,  perlakuan yang kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, hingga hak untuk  bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena.

Selain itu, penyandang disabilitas juga  berhak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain, termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan pelindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.

Untuk  menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas,  pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 18 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.  Adanya  undang-undang penyadang disabilitas tersebut, tidak saja menjadi payung hukum  bagi penyandang disabilitas, tapi  jaminan  agar kaum disablitas  terhindar dari segala bentuk ketidakadilan, kekerasan dan diskriminasi.

Secara garis besar, Undang-Undang  Penyandang Disabilitas  mengatur mengenai ragam Penyandang Disabilitas, hak Penyandang Disabilitas, pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas. Dengan begitu, nantinya  adanya undang-undang tersebut, akan memperkuat  hak dan kesempatan  yang lebih baik  bagi penyandang disabilitas . Mulai dari hak hidup, hak mendapatkan pekerjaan yang layak, pendidikan yang lebih baik dan kemudahan mengakses fasilitas umum.

Terkait penyandang disabilitas, diatur dalam pasal 1 UU Nomor 18 tahun 2016. Disana disebutkan, bahwa penyadang disabilitas adalah setiap orang yang  mengalami keterbatasn fisik, intelektual, mental atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitasn untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainya berdasarkan kesamaan hak.

Sedang untuk mengimplementasikan UU Penyandang Disabilitas,  pemerintah tengah menyiapkan  8 Rancangan Peraturan Presiden (RPP).   Diantaranya, RPP Pemenuhan Hak  Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas;  Akomdasi Yang Layak Bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan; Layanan Habilitasi dan Rehabilitasi Bagi Penyandang Disabilitas, Akomodasi yang Layak Bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas,  Konsesi dan Insentif  Dalam Penghormatan;

Pemerintah juga telah menyiapkan RPP mengenai Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyadang Disabilitas; Perencanaan,Penyelenggaraan dan Evaluasi  Pelaksanaan  Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.  Selain itu pemerintah juga tengah menyiapkan, RPP Pemenuhan Hak Atas Pemukinan, Pelayanan Publik dan Perlindungan  dari Bencana yang Akses Bagi Penyandang Disabilitas dan RPP Unit Layanan Disabilitas Dalam Ketenagakerjaan.

Tidak hanya sebatas membuat aturan hukum, pemerintah juga telah  mengembangkan sejumlah program untuk melindungi kaum disabilitas. Salah satunya, yakni Program Asistensi Penyadang Disabiltas berat. Selama kurun waktu empat tahun terahir program ini telah  memberikan bantuan  sebanyak 71448 orang.   Ada juga program Keluarga Harapan khusus bagi penyandang disabililitas. Hingga kini sudah ada  73.932 penyandang disabiltas yang mendapat  bantuan program ini. Pemerintah juga telah memberikan bantuan alat bantu bagi penyandang disabiltas sebanyak 3.164 orang

Pendidikan Inklusi

Meski  telah memiliki  payung hukum,  diskriminasi masih terjadi bagi penyadang disabilitas. Salah sektor yang rawan diskriminasi itu adalah pendidikan. Sekedar contoh pada  mekanisme Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN)  tahun 2014 lalu  misalnya masih   mencantumkan  calon mahasiswa disyaratkan tidak tuna netra, tuna runggu, tuna wicara, dan buta warna. Akibatnya, penyandang disabilitas banyak yang  tidak bisa melanjutkan  pendidikan ke perguruan tinggi.  Data di  Badan Pusat Statistik  (BPS) tahun 2015, menyebutkan penyandang disabilitas usia 5-29 tahun hanya 36,49 persen yang sekolah, sebanyak 41,89 persen tidak bersekolah/putus sekolah dan sebanyak  21,61 persen tidak pernah sekolah.

Padahal dalam  Pasal 10  UU No.18 tahun 2016, disebutkan   bahwa penyandang disabilitas berhak untuk mendapatkan layanan  pendidikan.  Hak  tersebut  meliputi  hak untuk mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu di semua  jenis, jalur dan jenjang pendidikan.

UU Nomor 18 tahun 2016 juga mengamanatkan kepada pemerintah  untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi. Hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 40 UU Nomor 8 tahun 2016. Disana disebutkan,  pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan dan memfasilitasi pendidikan untuk penyandang disabilitas disetiap jalur, jenis, dan  jenjang pendidikan sesuai kewenangannya.

Untuk memenuhi amanah  tersebut, pemerintah  telah  mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan inklusi bagi penyandang disabilitas.  Kebijakan itu diatur dalam  Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, tentang sistem Pendidikan Nasional.  Dalam Pasal 15  dan Pasal 32, disebutkan, bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk perserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang  memiliki  kecerdasan luar biasa yang  diselenggarakan secara inklusi baik pada tingkat dasar  maupun   menengah.

Sebagai payung hukum pendidikan inklusi, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Mandikdasmen nomor 380 tanggal  20 Januari  2003 perihal pendidikan inklusif.  Selain itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri  (Permen)  Pendikan  Nasional Nomor 70 tahun 2009 tentang   Pendidikan Inklusif  bagi Perserta Didik yang Memiliki  Kelainan  dan  Memiliki Potensi Kecerdasaan  dan atau   Bakat Istimewa.

Sekedar untuk diketahui, pendidilkan inklusif  merupakan  sistem layanan  pendidikan yang  memberikan kesempatan bagi  penyandang difabel   untuk sekolah  umum dan dikelas reguler  bersamaa  teman seusianya. Dengan pendidikan inklusif  siswa dapat belajar  bersama dengan aksesbilitas yang mendukung untuk semua , tanpa  terkecuali penyandang disabilitas.

Dengan adanya  pendidikan Inklusi,  semua anak  memiliki kesempatan yang sama untuk secara aktif mengembangkan potensi dirinya  dalam lingkungan yang sama. Dengan begitu, dengan adanya pendidikan inklusi, penyandang disabiitaas akan membuat mereka terbiasa  berinteraksi tidak hanya dengan sesama penyandang disabilitas.

Adanya, pendidikan inklusi juga menunjukan adanya pengakuan dan penghargaaan  terhadap keragaman. Pendidilkan inklusif merupakan pendidikan non diskriminatrif. Hal ini  karena  pendidikan inkusfi memiliki prinsip terbuka,  tanpa diskriminatif,  peka terhadap  setiap perbedaan, relevan dan akomodatif terhadap cara belajar, dan berpusat pada kebutuhan dan keunikan  peserta didik.

Saat ini menurut data di Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hingga 2010, jumlah sekolah yang menyelenggarakan  pendidikan inklusif sebanyak 814 sekolah dengan jumlah siswa mencapai 15.181 orang.

Pemenuhan hak pendidikan bagi penyandang disabiltas melalui pendidikan inklusi telah pula dirasakan masyarakat di daerah. Sejumlah pemerintah daerah sudah banyak  menyelenggarakan pendidikan inklusi. Bahkan, ada beberapa kota  yang mendeklarasikan sebagai kota inklusif.

Hasil penelitian yang dilakukan  Eta Yuni Lestani, 2017  di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah  misalnya,  menyebutkan  penyandang disabilitas  sudah mendapatkan fasilitas pendidikan,  mulai dari jenjang  pendidikan Taman Kanak-kanak  (TK) hingga  Sekolah  Menengah  Atas (SMA).

Hanya saja,  dalam upaya memenuhan hak pendidikan bagi penyandang disabilitas  ada sejumlah persoalan yang  dihadapi.  Salah satunya, tidak adanya Balai Rehabilitas milik pemerintah, terbatasnya anggaran yang tersedia untuk penyandang disabilitas, dan  terbatasnya sumber daya manusia  yang kompeten.   Di sekolah  insfratruktur untuk penyandang disabilitas juga masih  terbatas.

Hasil penelitian  tersebut juga menemukan kurangnya kesadaran keluarga akan pentingnya pendidikan bagi  penyandang disabilitas. Mereka cenderung malu  memiliki anak penyandang disabilitas. Akibatnya, mereka lebih memilih untuk  tidak menyekolahkan anaknya.

Dalam praktiknya, penyelenggaraan pendidikan inklusi  memang masih  memiliki banyak kendala. Tidak hanya di Indonesia.  Di Inggris misalnya,  Richard Rieser (2000) dalam esai Special Educational Needs or Inclusive Education: The Challenge of Disability Discrimination in Schooling mengungkapkan salah satu hambatan dalam penyelenggaraan praktik pendidikan inklusi adalah lingkungan yang tidak ramah dan menyulitkan bagai  anak-anak  penyandang disabiltas  untuk  melaksanakan proses pembelajaran.

Richard Rieser,  menawrkan solusi, agar  pendidikan inklusi dapat terselenggara secara efektif, sebuah sekolah inklusi harus mengadopsi cara pandang social model terhadap difabel. Dalam mengadopsi social model ini, para guru dan sekolah harus peduli terhadap tantangan yang menghambat pendidikan inklusi. Diantaranya, yakni hambatan fisik, komunikasi, sosial, dan kurikulum.

Richard Rieser, menjelaskan, hambatan fisik terjadi ketika tata arsitektural gedung sekolah dan media pembelajaran yang  tidak aksesibel bagi penyandang disabilitas. Sedangkan hambatan komunikasi, salah satunya  tidak adanya pemahaman mengenai kebutuhan akan bahasa isyarat dan huruf braille.

Hambatan lain yang mungkin dihadapi oleh penyandang disabiltas adalah dalam membangun pertemanan. Anak penyandang disabiltas cenderung kesulitan berteman. Akibatnya mereka  terisolasi dari  pergaulan di sekolah.  Richard Rieser menemukan banyak kasus terjadi di sekolah-sekolah inklusi, anak penyandang disabiltas  menjadi  bahan olok-olok dari teman-temannya.

Terakhir, tantangan yang paling sering terjadi adalah kurikulum. Saat ini, kurikulum di sekolah inklusi seperti materi, metode, dan sistem evaluasi belajar masih diskriminatif terhadap anak penyandang disabiltas.  Padahal, tanpa adanya penyesuaian dan akomodasi dalam kurikulum, anak-anak penyandang disabiltas  akan kesulitan dalam mengikuti proses belajar di sekolah inklusi.

 Peluang  Kerja  Penyandang Disabiltas

Seperti diketahui, setiap orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan. Tidak terkecuali bagi penyandang disabilitas.  Data di  Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial menyebutkan  pada 2012 lalu, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 1.250.780 orang. Mereka terdiri dari tuna daksa, tunanetra, tuli dan penyandang disabilitas mental.

Ironisnya, dari jumlah penyandang disabilitas  tersebut, tidak semuanya bisa memperoleh pekerjaan. Kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh pekerjaan  masih sangat rendah.  Data di Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) menyebutkan, pada tahun 2014  jumlah penyandang disabiltas yang tidak bekerja sebanyak 1,5 juta orang.

Sedangkan hasil pendataan yang telah dilakukan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Departemen Sosial pada tahun 2008 tercatat sebesar 74,4% penyandang disabilitas adalah pengangguran alias tdak bekerja, dan sebesar 25,6% penyandang disabilitas memiliki pekerjaan. Jenis pekerjaan yang kerap dijalani  yakni petani,  buruh dan jasa.

Padahal, dalam pasal 53 ayat (1) UU Penyandang Disabilitas menyebutkan,  pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, wajib mempekerjakan  paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas  dari jumlah pegawai. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan,  mewajiban perusahaan swasta untuk memperkerjakan paling sedikit satu persen penyandang disabilitas dari jumlah pekerja.

Ada banyak faktor yang menyebabkan, para penyandang disabilitas tidak mendapat kesempatan untuk bekerja. Hasil penelitian yang dilakukan Susilowati (2004) menyebutkan penyebab perusahaan tidak memperkerjakan penyandang disabilitas, karena perusahaan tidak memiliki informasi yang  cukup mengenai bagaimana perusahaan dapat merekrut tenaga kerja penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas yang memiliki keterampilan yang sesuai kebutuhan perusahaan.

Selain itu, masih terdapat persepsi yang salah mengenai tenaga kerja penyandang disabilitas yang dianggap sebagai beban perusahaan. Padahal menurut  laporan yang dirilis ILO (2011), mengabaikan potensi produktif penyandang disabilitas di dunia kerja mengakibatkan kerugian bagi masyarakat bahkan negara. ILO memperkirakan sebanyak 3 hingga 7 persen produktifitas penyandang disabilitas memengaruhi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Padahal, menurut Roberge, Lewicki, Hietapelto, dan Abdyldaeva (2011),    pengelolaan tenaga kerja bagi penyandang disabilitas jika dilaksanakan dengan baik akan memberikan pengaruh besar bagi kemajuan perusahaan, baik melalui peningkatan loyalitas karyawan (employee retention), peningkatan citra perusahaan, perluasan pasar, serta penurunan tingkat absensi dan turnover karyawan.

Hasil penelitian yang  dilakukan Sari Dewi Poerwanti,  yang bertajuk   “Pengelolaan Tenaga Kerja Difabel untuk Mewujudkan  Workplace Inclusion di PT. Trans Retail Indonesia” menunjukan bahwa  pengelolaaan tenaga kerja penyandang disabilitas di PT Trans Retail Indonesia telah mencapai level awareess dalam level kematangan diversity dan inklusi. Hal ini dapat diartikan bahwa perusahaan memiliki modal awal yang cukup untuk mengembangkan diversity management yang menjunjung asas-asas workplace inclusion.

Selain itu, hasil penelitian itu juga menunjukan,  PT. Trans Retail Indonesia  merekrut tenaga kerja penyandang disabilitas tidak berlandas pada amal (charity base) namun berlandaskan hak asasi manusia (human right base) dan perundangan. Karena itu calon tenaga kerja disabilitas di seleksi dan ditempatkan berdasarkan kemampuan dan kebutuhan perusahaan.

Dalam pemberian balas jasa perusahan juga menjunjung asas keadilan dan kesetaraan,  dimana seluruh karyawan di gaji berdasarkan upah minimum regional (UMR) dan kinerja mereka selama bekerja. Perusahaan juga mengakui dan menghargai potential benefit yang diperoleh dari karyawan penyandang disabilitas seperti kepribadian yang baik, keterampilan kerja khusus, meningkatkan penjualan produk, menciptakan lingkungan kerja yang ramah, dan meningkatkan citra perusahaan.

Melalui program magang ANGKASA, PT. Trans Retail Indonesia   juga telah melakukan upaya empowerment bagi penyandang disabilitas. Mereka dikenalkan dengan dunia kerja, sistem kelola usaha retail, dan hal teknis lainnya. Hal ini berguna untuk mencetak penyandang disabilitas menjadi karyawan yang siap pakai dengan keterampilan yang sesuai dengan usaha retail  seperti Carrefour.

Hanya saja, dari segi penyediaan aksesibilitas, PT. Trans Retail Indonesia  belum memenuhi akses bangunan yang ramah penyandang disabilitas. Seperti K3 khusus karyawan penyandang disabilitas, akses bangunan, jalan dan transportasi. Hal tersebut mengakibatkan perusahan harus menfokuskan pada jenis disabilits tunarungu saja.

Selain itu, penelitian itu juga menemkan belum adanya  sistem pengelolaan tenaga kerja penyandang disabilitas  yang tersusun secara formal dan menyeluruh di perusahaan. Meski begitu PT. Trans Retail Indonesia   dianggap mampu menjaga komitmen dalam mengembangkan pengelolaan tenaga kerja penyandang disabilitas,  meskipun belum sepenuhnya inklusif. Seiring dengan perjalanan waktu tentu komitmen perusahaan diharapkan akan mengarah pada sistem kelola yang lebih komperhensif sehingga mencapai workplace inclusion. ***

(*Artikel dimuat dalam Majalah Mediasi HAM 2019, link download: http://ham.go.id/book/majalah-mediasi-ham-19-no-1/ )

Skip to content