Jakarta, ham.go.id – Subdirektorat Pelayanan Komunikasi Masyarakat Wilayah III Ditjen HAM, pada Kamis (23/5) mengadakan Focus Group Discussion dalam rangka penyusunan rekomendasi penanganan permasalahan HAM yang dikomunikasikan. Forum diskusi diselenggarakan di Ruang Rapat Ditjen HAM, dihadiri oleh Direktur Sengketa dan Konflik Wilayah I Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN sebagai narasumber, Direktur Pelayanan Komunikasi Masyarakat, Direktur Kerja Sama HAM, beserta seluruh Kasubdit Direktorat Pelayanan Komunikasi Masyarakat Ditjen HAM.
Diskusi dibuka dengan pemaparan mengenai penanganan sengketa dan konflik pertanahan oleh Direktur Sengketa dan Konflik Wilayah I Kementerian ATR/BPN sebagai latar belakang, kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan konsultasi kasus-kasus sengketa dan konflik tanah yang dikomunikasikan kepada Ditjen HAM Kemenkumham.
Sesi tanya jawab meliputi pembahasan mengenai dua permasalahan pertanahan yakni, sengketa tanah untuk pembangunan Lapas Kemenkumham di Lombok, Nusa Tenggara Barat yang dihibahkan oleh Pemerintah Daerah setempat kepada masyarakat, dan sengketa tanah adat Datuk Laksamana Raja Di Laut oleh penyampai komunikasi Sdr. Eddy Yufran.
Pada akhir sesi diskusi, narasumber memberikan beberapa saran terkait kasus-kasus yang didiskusikan. Terkait kasus di tanah Lapas Kemenkumham di Lombok, bahwa harus diperiksa dahulu apakah aset tanah tersebut masih terdaftar di aset kekayaan Kemenkumham. Apabila masih terdaftar dan Pemerintah Kabupaten Lombok Utara tetap ingin menghibahkan tanah tersebut kepada masyarakat, maka Pemerintah Kabupaten Lombok Utara harus memberikan penggantian lahan (ruilslag/tukar guling) yang senilai dengan tanah yang dihibahkan kepada masyarakat tersebut.
Sedangkan terkait kasus sengketa tanah adat Datuk Laksamana Raja Di Laut, narasumber memberikan beberapa saran. Pertama, perlu diadakan korespondensi atau audiensi dengan mengundang ketiga perusahaan yang menguasai lahan yang diklaim penyampai komunikasi sebagai tanah adat, untuk melakukan verifikasi dasar penguasaan tanah oleh ketiga perusahaan tersebut. Kedua, perlu diperiksa apakah Pemerintah Daerah yang bersangkutan telah menetapkan tanah adat tersebut melalui Peraturan Daerah. Ketiga, bahwa perlu merujuk kepada Peraturam Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Keempat, apabila penyampai komunikasi masih belum merasa terpuaskan atas penjelasan yang ada, maka disarankan untuk mengajukan gugatan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut ke Pengadilan. (Roni)