Medan, ham.go.id – Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Mualimin Abdi membuka workshop antipenyiksaan Penting bagi Aparat Penegak Hukum (APH) yang sebelumnya juga pernah dilaksanakan di Yogyakarta pada Februari lalu. Workshop dilaksanakan di Hotel Le Polonia, dari tanggal 19-21 Maret 2019. (19/3)
Dalam sambutannya, Mualimin Abdi menegaskan komitmen pemerintah dalam isu Anti penyiksaan. Menurut Mualimin, komitmen pemerintah terhadap isu Antipenyiksaan telah berkembang sejak awal Orde Reformasi. Hal tersebut, kata Mualimin, tergambar dari keputusan pemerintah untuk meratifikasi United Nation Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT). “Sejatinya indonesia sudah mengesahkan UU nomor 5 tahun 1998 tentang Konvensi Menantang Penyiksaan (UNCAT),” kata Mualimin dihadapan 25 Aparat Penegak Hukum (APH) Selasa,
Pada kesempatan itu, Mualimin juga menceritakan mengenai potret APH tempo dulu. Menurutnya, karena pemahaman APH terhadap HAM tempo dulu yang belum baik, tidak jarang terjadi kasus-kasus kekerasan APH pada masyarakat. “Jaman dulu untuk dapat pengakuan kalau diinjak dikit tidak ngaku ya tonjok dikit tonjok dikit gak ngaku tempeleng,” tutur Mualimin.
Mualimin mengakui bahwa unsur kekerasan dekat dengan tugas dan kerja para APH di lapangan. Meski demikian, ia menolak bahwa APH khususnya kepolisian merupakan aktor pelanggar HAM terbanyak. “Yang harus dipahami adalah apa yang dilakukan oleh kepolisian adalah sangat dekat dengan pelanggaran HAM, tapi bukan berarti apa yang dilakukan oleh polisi ini melanggar HAM,” imbuh Mualimin.
Bahkan, berdasar laporan yang didapat oleh Direktorat Pelayanan Komunikasi Masyarakat (Dit. Yankomas) Ditjen HAM, dalam beberapa tahun terakhir peran polisi maupun APH dalam pelanggaran HAM semakin menurun. “Buktinya laporan yang saya terima baik melalui Direktorat Yankomas yang secara online maupun fisik sekarang itu bukan lagi laporan APH melakukan penganiayaan tapi sekarang mulai sekarang hak-hak setiap orang yang pada umumnya pertanahan,” papar Mualimin.
Meski demikian, lebih lanjut Mualimin menerangkan, tidak berarti persoalan mengenai Antipenyiksaan tidak penting. Khususnya APH yang bersentuhan dan erat dengan unsur-unsur kekerasan, pemahaman mengenai Anti penyiksaan harus mapan karena berkenaan dengan HAM. “Ini berkaitan dengan bagaimana kita sebagai APH yang salah satu kewajibannya adalah menghormati HAM,” tutur Mualimin.
Atas dasar itu, workshop mengenai Anti penyiksaan, menjadi hal yang penting bagi APH. “Workshop hari ini menjadi penting karena sekali lagi kita sebagai alat kelengkapan pemerintahan maka kita berkewajiban untuk melaksanakan perlindungan HAM bagi masyarakat,” imbuhnya pagi itu.
Tidak lupa, Dirjen HAM juga mengucapkan terimakasih kepada Kedutaan Besar Swiss yang turut membantu peningkatan kapasitas bagi APH di Indonesia khususnya mengenai Antipenyiksaan. “saya berterimakasih dengan Kedubes Swiss yang terus menerus membantu kami meningkatkan pemahaman APH mengenai HAM khususnya terkait Antipenyiksaan,” pungkas Dirjen menutup sambutannya.
Seusai dibuka Dirjen HAM, kegiatan workshop dilanjutkan dengan beragam aktivitas seperti pendalaman materi baik oleh melalui metode fasilitasi yang dipandu oleh Kasubdit Kerja Sama Luar Negeri, Andi Taletting Langi dan Direktur Eksekutif Human Right Watch Group, M. Hafiz atau paparan materi oleh sejumlah narasumber.
Sebagaimana yang diketahui Workshop Bagi Aparat Penegak Hukum mengenai Konvensi Antipenyiksaan merupakan rangkaian program kerja sama antara Ditjen HAM dan Kedutaan Besar Swiss. Program bertajuk “Implementasi Berkesinambungan Mengenai Konvensi Anti penyiksaan” tersebut terdiri dari beragam kegiatan mulai dari penyusunan modul antipenyiksaan, Kuliah Umum, serta Workshop di dua kota Yaitu Yogyakarta dan Medan. (Humas Ditjen HAM)