Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memastikan proses penyelesaian pelanggaran kasus HAM berat masa lalu sudah berjalan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Direktur Jenderal HAM Kemenkumham Mualimin Abdi, pihaknya terus memantau penanganan kasus pelanggaran HAM berat.
Beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang dalam proses penyelesaian antara lain peristiwa 1965-1966, kasus Wasior di Wamena, Peristiwa Talangsari di Lampung, hingga penghilangan orang secara paksa. Kini, penyelesaian kasus-kasus itu dalam tahap verifikasi mendalam oleh tim yang melibatkan Ditjen HAM, Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan Kemenkopolhukam.
“Sedangkan untuk kasus kekerasan HAM Semanggi 1 dan 2 di Jakarta pelakunya sudah dihukum. Dan kejadian kekerasan di Talangsari saat keluarganya ditanya sudah banyak yang lupa atas hal itu,” ujarnya, Jumat (20/10).
Mualimin juga menjelaskan mengenai tahapan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat seperti 1965-1966. Dia mengatakan, bila penyelesaiannya melalui mekanisme yudisial sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka sebenarnya belum ada hukum acara untuk mekanisme penyelesaiannya.
Karena itu, solusinya adalah menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hanya saja, mekanisme KUHAP juga mengatur setiap satu tindak pidana harus ada alat bukti.
“Dan sekarang alat buktinya seperti apa seperti kejadian di 1965-1966. Lah, ini kan menjadi masalah,” tuturnya.
Mualimin mengungkapkan, pemerintah sempat berupaya mencari solusi melalui UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun, UU itu justru dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga tidak ada instrumen atau payung hukum untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.
Lebih lanjut Mualimin mengatakan, Presiden Jokowi sedari awal menjabat sebagai kepala negara sudah mulai berupaya menuntaskan masalah pelanggaran HAM berat. Antara lain dengan menggelar rapat terbatas bersama Dirjen HAM, Kejaksaan Agung dan Kemenkopolhukam.
Peserta rapat beranggapan bahwa mekanisme yudisial tetap dimungkinkan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan harus mengirimkan laporan ke Jaksa Agung.
Sedangkan Kejaksaan Agung tidak serta-merta bisa menindaklanjuti laporan Komnas HAM dengan membawa kasusnya ke pengadilan. Sebab, Kejaksaan Agung harus melalui proses politik di DPR.
Dari temuan Komnas HAM yang ditindaklanjuti Kejaksaan Agung itu, DPR baru memberikan rekomendasi tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Jika kepala negara menyetujuinya, maka akan menerbitkan keputusan presiden (keppres).
“Untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc, untuk menunjuk hakim dengan mekanisme lanjutannya. Langkah mekanisme yudisial saya kira memang perlu dan penting untuk dilakukan,” ucap Mualimin.
Selain itu, tim yang terdiri atas Direktorat Jenderal HAM, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan Kemenkopolhukam sudah melakukan mapping beberapa kasus pelanggaran HAM. Semisal pada kejadian 1965-1966, tim mengusahakan tidak menggunakan kata terjadinya pemusnahan kelompok PKI atau ulama.
Sebagai gantinya, tim menggunakan kata kasus kejadian 1965-1966 dan mengusahakan adanya penyelesaian masalah dengan cara rekonsiliasi. “Karena banyak jatuh korban dari dua kelompok yang kehilangan nyawa saudara dan keluarganya. Dan semoga dengan kejadian 1965-1966 ini tidak terjadi lagi di masa datang,” tutur Mualimin.(adv/jpnn)
https://www.jpnn.com/news/kemenkumham-tegaskan-komitmen-pemerintah-tuntaskan-kasus-ham