JAKARTA – Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH UNDIP) berkunjung ke Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia dalam rangka Audiensi Nasional Mewujudkan Pemerintahan yang Ideal Melalui Peran Aktif Mahasiswa Sebagai Social Control pada Selasa pagi (25/4). Rombongan mahasiswa yang dipimpin oleh Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH UNDIP, Wahyu Habibi Siregar, mengungkapkan bahwa dengan adanya Audiensi Nasional ini diharapkan agar para mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan yang berbeda dari bangku kuliah, khususnya berkaitan dengan implementasi hukuman mati di Indonesia yang selama ini masih menjadi perdebatan.
Rombongan diterima oleh Sekretaris Direktorat Jenderal HAM, Maryati Basir, Direktur Informasi HAM, Ahmad Rifa’i, Direktur Kerja Sama HAM, Arry Ardanta, serta Tim Direktorat Jenderal HAM. Dalam sambutannya, Sekretaris Ditjen HAM mengatakan bahwa Pemerintah berperan dan bertanggung jawab dalam penghormatan, perlindungan, pemenuhan, pemajuan, dan penegakan HAM di Indonesia. Bahkan, menurut Direktur Informasi HAM, tanggung jawab tersebut searah dengan Program Nawa Cita Presiden RI, Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Nasional.
Dalam paparan Tim Ditjen HAM, pihak yang kontra terhadap hukuman mati, biasanya karena pelaksanaan hukuman mati dituding sebagai tindakan pelanggaran HAM, tidak ada korelasi dengan efek jera, masih tingginya tingkat korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, serta terdakwa yang telah dihukum mati tidak dapat dipulihkan ke keadaan semula apabila terjadi kekeliruan dalam penerapan sanksi pidana. Sedangkan untuk pihak yang masih pro terhadap hukuman mati, adalah dikarenakan bahwa kejahatan-kejahatan yang diancam hukuman mati tersebut adalah kejahatan yang serius, tidak melanggar hukum internasional, serta agar jangan sampai hukum hanya berpihak pada hak asasi pelaku kejahatan tetapi juga memperhatikan hak korban kejahatan.
Hukuman mati yang diterapkan atas pidana narkotika/psikotropika, korupsi, maupun kejahatan yang diatur dalam KUHP selama ini selalu dilakukan secara hati-hati dan terbatas. Hal ini terlihat dengan tidak langsungnya eksekusi pidana mati. Eksekusi biasanya dilakukan apabila terpidana telah menempuh seluruh upaya hukum, baik upaya hukum biasa (banding, kasasi), upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali), bahkan dengan mengajukan grasi. Selain itu, pelaksanaan eksekusi pidana mati yang menghabiskan dana besar (sekitar Rp 200 juta) juga menjadi pertimbangan untuk tidak segera dilakukannya eksekusi hukuman mati.
Dalam audiensi juga disinggung terkait isu hukuman mati di PBB, yang mana beberapa negara selain Indonesia juga masih menerapkan hukuman mati, seperti di Tiongkok, Amerika Serikat, Arab Saudi, Malaysia, dan Singapura. Berdasarkan peraturan internasional pun, sebenarnya hukuman mati tidak dilarang, namun dibatasi. Indonesia saat ini tengah merancang RUU KUHP yang didalamnya juga mengatur hukuman mati. Dalam RUU ini, hukuman mati akan menjadi hukuman pokok yang bersifat khusus dengan pengancaman yang bersifat alternatif. (ang)