Siaran Pers Komnas Perempuan Pentingnya Negara Mengangkat Isu Perempuan Marginal di CSW PBB

Bagikan

Siaran Pers Komnas Perempuan

Pentingnya Negara Mengangkat Isu Perempuan Marginal di CSW PBB

Jakarta, 10 Maret 2017

The Commission on the Status of Women (CSW) merupakan mekanisme tahunan yang diselenggarakan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York untuk mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Tahun 2017 merupakan CSW  ke 61 (CSW 61) yang akan diselenggarakan pada 13-24 Maret 2017 dengan  “Women’s economic empowerment in the changing world of work’ dengan fokus diskusi pada tema “Empowerment of indigenous women”. CSW 61 juga akan mereview kemajuan dari pelaksanaan Agreed Conclusion CSW 58 pada tahun 2014 yang mengambil tema “Challenges and achievements in the implementation of the Millennium Development Goals for women and girls”. 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang penting untuk selalu dapat berpartisipasi dalam CSW dan sudah melakukannya sejak CSW yang ke 57 pada tahun 2013. Peran strategis yang diupayakan Komnas Perempuan dalam mengikuti CSW diantaranya adalah: a)  Berbagi  dan menyerap perkembangan dan pengetahuan tentang apa yang sudah dilakukan negara-negara dalam  mengawal isu-isu  HAM Perempuan; b). Memberikan input kepada Delegasi Republik Indonesia (DELRI) dalam menjalankan peran dan partisipasinya di CSW; c) Memberikan masukan pada kebijakan global yang tertuang dalam agreed conclusion  agar mengacu pada HAM Perempuan dan dapat menjadi pijakan untuk diimplementasikan masing-masing negara.

Dokumentasi Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pemiskinan terhadap perempuan terjadi setidaknya diskriminasi dan kekerasan berbasis gender  yang merentankan perempuan, menjauhkan akses kehidupan, ketimpangan hak di tempat kerja, minim dilibatkan dalam keputusan di domestik dan publik termasuk dalam negosiasi politik pembangunan. Dalam hak ecosob, perempuan masih jauh dari akses hak dasar, misalnya pembedaan hak dalam jenis pekerjaan yang sama, domestifikasi peran perempuan, perbedaan hak waris dan kepemilikan akan sumber daya alam. Kekerasan terhadap perempuan, merentankan perempuan korban menjadi kelompok miskin, dan meletakkan perempuan miskin rentan jadi sasaran kekerasan dan eksploitasi.

Kebijakan dan proses pembangunan di Indonesia sejak Orde Baru dan politik infrastruktur yang sedang dan akan dikembangkan harus menghentikan pembangunan “lapar lahan” dan jangan memanjakan investor, sehingga mempertaruhkan kelompok rentan, terutama perempuan.  Kebijakan demikian, mencerabut sumber-sumber kehidupan perempuan khususnya perempuan adat dan perempuan pedesaan. Ini terlihat misalnya dari alih fungsi hutan dan lahan subur pertanian menjadi pertambangan, perkebunan, industri dan perumahan. Akibatnya, perempuan terpaksa harus menjadi buruh atau pekerjaan lainnya yang merentankan mereka pada eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan baik verbal, fisik ataupun seksual.

Selain itu, pemiskinan perempuan semakin diperburuk dengan maraknya kebijakan diskriminatif terhadap perempuan atas nama agama dan moralitas paska otonomi daerah. Misalnya, kebijakan larangan keluar malam, pembatasan mobilitas dan identitas. Hasil dokumentasi Komnas Perempuan sampai dengan Agustus 2016 terdapat 421 kebijakan diskriminatif di berbagai daerah.

Berkaitan dengan isu CSW 61 yaitu tentang “Pemberdayaan Ekonomi Perempuan di Dunia Kerja yang Berubah”, maka Komnas Perempuan mendorong agar Delegasi Republik Indonesia (DELRI), mengangkat isu kemiskinan perempuan dari kelompok rentan dan termarginalkan, antara lain:

  1. Kondisi pemiskinan dan kemiskinan perempuan pedesaan/perempuan adat  (pengrajin, peramu, nelayan perempuan, petani perempuan) akibat konflik Sumber Daya Alam;

  2. Kondisi pemiskinan dan kemiskinan pekerja rentan kekerasan dan diskriminasi (pekerja migran, pekerja rumah tangga, perempuan yang dilacurkan/pedila, perempuan yang bekerja di industri hiburan, buruh industri dan perkebunan);

  3. Kondisi pemiskinan dan kemiskinan perempuan di wilayah paska konflik dan bencana (Papua, Poso, Aceh, dll) dan berbagai konflik komunal lainnya;

  4. Kondisi pemiskinan dan kemiskinan perempuan korban penggusuran paksa atas nama agama dan politik infrastruktur/Kebijakan Tata Ruang;

  5. Kondisi pemiskinan dan kemiskinan perempuan korban Kekerasan dalam Rumah Tangga/KDRT, Kekerasan Seksual/KS dan kekerasan terhadap perempuan lainnya termasuk perempuan dengan disabilitas.

Komnas Perempuan merekomendasikan agar:

  1. DELRI menggunakan CSW 61 sebagai ruang untuk menginformasikan realitas perempuan di Indonesia; agar melahirkan kebijakan global yang lebih mengakar dan kontekstual;

  2. DELRI melakukan konsultasi publik baik sebelum atau sesudah mengikuti CSW termasuk menyampaikanMinisterial Declaration, hasil kesepakatan dalam agreed conclusion kepada publik sehingga keikutsertaan dan partisipasi DELRI dapat diketahui publik;

  3. Mendorong agar CSW mudah diakses oleh lembaga HAM Nasional baik yang bermandat umum, maupun yang bermandat spesifik, termasuk mendorong organisasi perempuan, masyarakat sipil terutama dari daerah konflik;

  4. DELRI juga melibatkan Pemerintah Daerah khususnya daerah-daerah yang minim akses dan daerah paska konflik, juga wilayah yang banyak masyarakat adat dan wilayah krusial lain, sebagai ruang untuk belajar sehingga dapat melakukan terobosan-terobosan strategis kedepan.

Kontak Narasumber:

Saur Tumiur Situmorang, Komisioner (081362113287)

Nina Nurmila, Komisioner (085814479624)

Adriana Veny, Komisioner (08561090619)

Khariroh Ali, Komisioner (081284659570)

Yuniyanti Chuzaifah, Wakil ketua (081311130330)

http://www.komnasperempuan.go.id/siaran-pers-komnas-perempuan-pentingnya-negara-mengangkat-isu-perempuan-marginal-di-csw-pbb-jakarta-10-maret-2017/

Skip to content