Menakar Komitmen dan Implementasi Pemenuhan HAM Perusahaan, Seperti Apa?

Bagikan

AsM Law Office dan Malacca Centre melansir penelitian bertajuk “Tanggungjawab HAM Korporasi di Sektor Kehutanan: Kasus Hutan Harapan dan Bukit Tigapuluh.” Laporan ini memperlihatkan, meski beberapa perusahaan kehutanan sudah mendeklarasikan komitmen pemenuhan HAM, namun dalam tataran implementasi masih kurang.

Asep Mulyana, ahli bisnis dan HAM sekaligus ketua tim peneliti di Jakarta, Selasa (31/1/17) mengatakan, penelitian fokus sektor kehutanan di Hutan Harapan dan Bukit Tigapuluh.

“Kami mencoba melihat konflik sektor kehutanan karena dua hutan di Jambi ini menarik. Ada dua perusahaan sudah memiliki komitmen HAM. Ada perebutan ruang kelola antara masyarakat dan perusahaan,” katanya.

Dia bilang, pelaksanaan komitmen HAM yang sudah dideklarasikan itu lemah. Tampak ada kebingungan level manajerial dalam mengimplementasikan, misal, cara menghadapi protes masyarakat.

“Orang-orang yang bekerja di sana masih dengan paradigma lama. Sisi lain anggaran belum memadai untuk mengimplementasikan norma HAM. Masyarakat juga belum bisa memanfaatkan peluang-peluang,” katanya.

Meskipun ada perusahaan sudah mempunyai mekanisme pengaduan, tetapi belum efektif. Padahal, masyarakat bisa menuntut perusahaan lewat mekanisme pengaduan.

Dia contohkan, di Hutan Harapan merupakan restorasi ekosistem di Jambi dan Sumsel. Ia dikelola PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki) didukung Yayasan Konservasi Hutan Indonesia (KEHI). Reki berasal dari lahan konsesi HPH PT Asialog luas 100.000 hektar. Di sana ada masyarakat berladang dan bermukim.

Dalam fase 2010-2011, tindakan Reki dalam pengamanan seringkali identik dengan pelanggaran HAM. Berbagai tindakan seperti kekerasan, kriminalisasi, perusakan dan intimidasi dilakukan kepada warga.

“Cara kerja tak ada beda dengan perusahaan di luar restorasi,” katanya

Sejak 2012, tindakan Reki lebih mengedepankan dialog ketimbang pendekatan keamanan dan penegakan hukum. Berbagai kegiatan negosiasi dibuka setelah Cappa melakukan kampanye internasional.

Dalam perjalanan, ada perbedaan kepentingan di level perusahaan. Satu pihak punya perhatian pada aspek sosial. Pihak lain bertindak konservatif dalam merespon tuntutan warga.

“Komitmen penghormatan HAM oleh korporasi di Hutan Harapan menunjukkan langkah maju setelah Reki mendeklarasikan komitmen menghormati HAM.”

Meski begitu, katanya, komitmen saja tak cukup, perlu kapasitas sumber daya internal mumpuni agar bisa berjalan.

Lain lagi di Bukit Tigapuluh, Jambi. Di sana, ada masyarakat adat Talang Mamak, Orang Rimba dan masyarakat lokal yang tergabung dalam Kesatuan Adat Margo Sumay.

Kawasan ini awalnya dikuasai PT IFA sejak mendapatkan izin pada 2008. Setelah itu, izin ini diberikan kepada PT LAJ (Grup Barito Pasific).

Asep mengatakan, perusahaan sering melakukan kekerasan, intimidasi, kriminalisasi kepada masyarakat. Tak hanya LAJ, tindakan serupa juga dilakukan PT AB 30, perusahaan restorasi ekosistem.

Di Desa Lubuk Madrasah, misal, akses masyarakat lokal terhadap lahan makin menyempit karena separuh wilayah dikuasai beberapa perusahaan. Bermula saat PT Wirakarya Sakti (WKS) masuk 2005. Konflik meruncing hingga 2007, masyarakat membakar 12 alat berat milik perusahaan mengakibatkan sembilan orang ditahan di Polres Tebo. Mereka kena penjara 15 tahun.

Pada Februari 2015, satpam WKS membunuh warga Desa Lubuk Madrasah, Indra Pelani. Ia menunjukkan pemenuhan HAM dalam kebijakan perusahaan masih jauh. Padahal, pada 2013, APP dan Sinar Mas Forestry, induk WKS sudah rilis komitmen pemenuhan HAM.

Dia menyarankan, perusahaan yang punya kebijakan HAM bisa mendorong peningkatan kapasitas internal sumber daya manusia.

“Ini menyangkut perbaikan dan perubahan sistem, mekanisme, prosedur, struktur kelembagaan pekerja maupun anggaran yang mendukung penghormatan HAM oleh perusahaan.”

Bagi perusahaan yang belum punya kebijakan HAM, katanya, mereka merekomendasikan segera menandatangani komitmen kebijakan HAM. Dalam kegiatan bisnis global, HAM merupakan sebuah keniscayaan.

Perusahaan yang tak punya kebijakan HAM, katanya, justru akan banyak kerugian seperti biaya ligitasi ketika menghadapi tuntutan hukum, gerakan mogok pekerja, biaya humas dan pencitraan karena melanggar HAM.

“Juga rentan penghapusan laba dan revisi pendapatan ketika terjadi pembatalan proyek. Ini terkait keterbatasan akses ke pasar modal karena meningkatnya kepedulian pemodal terhadap tanggungjawab sosial.”

AsM Law Office dan Malacca Centre, akan bikin laporan rutin melihat apakah perusahaan patuh prinsip standar dan norma HAM internasional. “Kami berharap perusahaan bisa mengubah paradigma lama.”

Rudiansyah, Peneliti AsM Law Office dan Mallaca Centre mengatakan, di Jambi hanya 20% perusahaan kehutanan sudah mendeklarasikan komitmen ≠pemenuhan HAM.

Sisi lain, implementasi komitmen masih terkendala dalam menginternalisasikan dalam kebijakan perusahaan. Perusahaan, katanya, masih pakai pola pikir lama.

“Ketika mendapatkan izin, itu jadi wewenang kuat. Padahal banyak aspek lain harus diperhatikan. Beberapa temuan di lapangan, banyak perusahaan menganggap masyarakat sebagai pengganggu. Itu kita dapatkan dari hasil wawancara dengan perusahaan maupun masyarakat,” katanya.

Selain itu, kata Rudi, komitmen perusahaan dalam menyelesaikan konflik di masyarakat belum banyak selesai. Tindakan perusahaan sebatas meredam konflik.

“Memang perusahaan sudah tak lagi melakukan pendekatan hukum dan kekerasan. Tapi upaya penyelesaian konflik tak ada. Hanya pada proses meredam.”

Andiko Sutan Mancayo, senior lawyer AsM Law Office mengatakan, studi ini untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban perusahaan kehutanan terhadap pemenuhan HAM. Meski pihak yang bertanggungjawab memenuhi HAM ialah negara.

“Perusahaan harus bisa memenuhi uji tuntas HAM sebagai harapan menurunkan konflik dan biaya. Uji tuntas dengan komitmen penghormatan HAM, kinerja dan internalisasi dalam kebijakan perusahaan.”

Agung Wiyono, Corporate Sosial and Security Head PT APP mengatakan, perusahaan sudah menerapkan konsep HAM dalam kegiatan bisnis. Mekanisme pasar juga menghendaki itu. Karena, jika perusahaan tak menerapkan konsep HAM dalam bisnis, justru membawa risiko sangat besar.

Sejak 2011 hingga kini, perusahaan berupaya melembagakan komitmen HAM dalam kebijakan perusahaan. Bahkan, sejak 2013, perusahaan sudah membangun protokol mengenai hal itu.

Agung mengatakan, konflik dipetakan, diiriskan dengan peta konsesi agar ketika membangun tata ruang ada perubahan termasuk cara mengelola akan berubah.

Sejauh ini, sampai Desember 2016 dari semua konflik yang terpetakan, 43% sudah mencapai kesepakatan dengan masyarakat.

“Kami akui masih punya PR (pekerjaan rumah). Kami tahu untuk menyelesaikan konflik tak mudah. Menyelesaikan satu konflik bisa bertahun-tahun.”

Meskipun dia menyadari, menerapkan standar HAM banyak menghadapi kendala tetapi terus berupaya. Mereka berkomitmen, melakukan langkah-langkah sistematis dan terus bekerja membangun dan mengintegarasikan HAM dalam indikator kinerja perusahaan mulai dari pimpinan hingga level bawah.

Menakar Komitmen dan Implementasi Pemenuhan HAM Perusahaan, Seperti Apa?

Skip to content