Jakarta, ham.go.id – Direktorat Instrumen HAM telah melaksanakan Rapat koordinasi (Rakor) Analisis Peraturan Perundang-undangan dari Perspektif HAM membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual di ruang rapat utama lantai 3 Gedung Ditjen HAM, Rabu (27/7).
Rapat dibuka oleh Direktur Informasi HAM, Agung Santoso dua narasumber, yaitu: Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Azriana dan Peneliti PUSHAM Universitas Islam Negeri Jakarta, Fahmi Ahmadi. Pertemuan tersebut dihadiri 30 peserta yang merupakan perwakilan dari Kementerian/Lembaga terkait, LSM, serta para Pejabat Administrator, Pengawas dan Pelaksana di lingkungan Direktorat Jenderal HAM.
Azriana menyampaikan, berdasarkan hasil kajian dari Komnas Perempuan sepanjang tahun 2001 -2011 ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Data 3 tahun terakhir (2013-2015), rata-rata 5528 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan/ditangani lembaga pengada layanan setiap tahunnya.
Pada tahun 2015, kekerasan seksual menempati peringkat pertama di ranah komunitas (63%), dan peringkat kedua kekerasan di ranah rumah tangga/relasi personal (30%).
“Jenis kekerasan seksual tertinggi (baik di ranah komunitas maupun rumah tangga/relasi personal), adalah perkosaan (72%), dari 80% perempuan korban yang memilih jalur hukum, 50% nya diselesaikan dengan mediasi oleh Polisi, Kelurahan, dan Kepala Desa. Hasil dari mediasi tersebut menghasilkan kesepakatan berupa dinikahkan atau menerima ganti rugi sejumlah uang, 40% nya mandek di kepolisian dianggap tidak cukup bukti, hanya 10% yang maju ke persidangan,” kata Azriana.
Sementara itu Fahmi menyampaikan bahwa ada tiga hal yang menjadi dalih kekerasan terhadap perempuan, pertama mitologi budaya, yang menjadikan perempuan sebagai sosok/lambang/objek dari laki-laki, kedua agama menjadikan perempuan sebagai sosok yang tidak memiliki power dalam menyelesaikan persoalan, ketiga kebiasaan yang mendarah daging yang diberikan secara turun temurun oleh lingkungan terkecilnya.
“Penyiapan Legal Structure sudah tersedia dengan baik, namun masih terjadi blamming the victim, pembenahan budaya hukum yang selama ini masih didominasi pada kekerasan terhadap perempuan sebagai sebuah “kebiasaan” yang dianggap lumrah dan sejalan dengan budaya masyarakat harus diubah,” ujarnya. (dns)