JAKARTA – Guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Juajir Sumardi mengungkapkan, hakim di pengadilan negeri harus mengedepankan prinsip restorative justice dalam menyidangkan kasus Asiani.
Sebagaimana diketahui, perempuan berusia 65 tahun itu dituntut lantaran mencuri tujuh batang kayu milik PT Perhutani, Situbondo, Jawa Timur.
“Intinya, melalui prinsip (restorative justice) itu, hakim bisa menjadi mediator untuk penyelesaian perkara pidana yang lebih adil bagi pihak korban dan pelaku,” jelas Juajir kepada Okezone, Senin (16/3/2015).
Juajir menambahkan, dasar hukum yang bisa digunakan hakim untuk menunjang prinsip restorative justice ialah Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam aturan tersebut dijabarkan bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Selain itu terdapat adegium yang berbunyi summum ius summa iniura yang berarti undang-undang yang diterapkan secara rigid, justru menimbulkan ketidakadilan.
“Pertimbangan itu yang mesti dikedepankan. Jadi jangan saklek cuma melihat peristiwa pidananya saja, tapi nilai-nilai keadilan masyarakat,” imbuhnya.
Hakim pun lanjut Juajir, bukan corong undang-undang yang harus menindak segala bentuk kejahatan. Menurutnya, terdapat instrumen kemanusiaan yang harus dikedepankan selain pemenuhan aspek pidana. Prinsip restorative justice merupakan pandangan hukum yang bisa dijadikan penyeimbang perspektif positivistik hukum yang berbekal undang-undang.
“Ingat, hakim bukan corong undang-undang, tidak semua undang-undang bernilai hukum,” sambungnya.
Meski demikian, ia mengapresiasi sikap kejaksaan yang menuntut Asiani.
“Tapi Jaksa juga sudah tepat, karena kalau dari awal mereka memberlakukan prinsip (restorative justice) itu, akan rawan transaksi,” pungkasnya.
http://news.okezone.com/read/2015/03/16/340/1119055/kasus-nenek-asiani-hakim-harus-kedepankan-prinsip-restorative-justice