WARTAWAN masih kerap mengalami kekerasan saat melaksanakan tugas jurnalistik di Indonesia.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, sepanjang 2014 terdapat 40 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Jumlah kasus kekerasan itu sama dengan 2013.
Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, memang kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi penurunan. Pada 2010 terjadi 51 kasus, 2011 ada 49 kasus, dan 2011 ada 51 kasus. Namun, bila dibandingkan dengan 2009 (37 kasus), kekerasan terhadap wartawan mengalami peningkatan pada 2014.
Meskipun grafik kasus kekerasan naik turun, tindakan semacam itu tentu tidak dapat ditoleransi. Apalagi bila dilihat dari bentuk kekerasan yang dihadapi wartawan sangat beragam.
Sebagaimana dilaporkan AJI, kasus kekerasan yang dialami wartawan pada 2014 di antaranya ancaman, telepon gelap, teror, pelecehan, pemukulan, pengusiran, pelarangan liputan, perusakan kantor, dan perampasan kamera.
Bentuk-bentuk kekerasan semacam itu tentu sangat mengganggu wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Cara-cara seperti itu merupakan pelanggaran terhadap hak wartawan untuk mencari dan menyebarluaskan informasi kepada masyarakat. Tindakan semacam itu sudah melanggar hak asasi wartawan dan hak publik untuk mendapat informasi.
Pelanggaran hukum
Indonesia sebagai negara demokrasi menjamin kemerdekaan pers. Pasal 4 UU No 4 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia. Pers nasional tidak dikenai penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.
Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Pasal tersebut dengan tegas memberi hak kepada pers untuk melaksanakan tugas jurnalistiknya.
Pemberian hak itu sekaligus sebagai jaminan kepada wartawan dalam melaksanakan tugasnya tanpa ada rasa takut. Karena itu, kasus-kasus kekerasan dan berbagai bentuk ancaman terhadap wartawan dalam melaksanakan tugasnya merupakan pelanggaran hukum.
Perlindungan hukum untuk wartawan juga dipertegas dalam Pasal 8 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal itu menegaskan dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
Di dalam konteks hak asasi manusia (HAM), perlindungan terhadap wartawan menjadi bagian dari HAM yang berkaitan dengan tugas jurnalistik. Itu artinya perlindungan hukum terhadap wartawan hanya berlaku saat ia melaksanakan tugas jurnalistik.
Jadi, UU tentang Pers hanya menjamin wartawan terbebas dari berbagai kasus kekerasan selama yang bersangkutan melaksanakan tugas jurnalistik. Di luar tugas, wartawan dinilai sama dengan warga negara lainnya. Namun, bukan berarti wartawan saat tidak bertugas dapat diperlakukan semena-mena.
Sebagai warga negara, wartawan tetap mendapat perlindungan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 dan UU tentang HAM. Dengan demikian, wartawan baik saat bertugas maupun tidak bertugas tetap mendapat perlindungan hukum.
Karena itu, semua bentuk kekerasan terhadap wartawan merupakan pelanggaran hukum yang pelakunya harus ditindak. Bahkan kekerasan terhadap wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik merupakan ancaman terhadap kemerdekaan pers.
Taat kode etik
Dengan berkaca pada sejumlah kasus kekerasan, AJI mengingatkan pekerja media, baik cetak maupun elektronik, agar menaati Kode Etik Jurnalistik, menjalankan Standar Perilaku Penyiaran, mengedepankan sikap independen, dan tidak partisan dalam melaksanakan tugas peliputan.
Menurut Aji, hal-hal itu sangat membantu untuk mengurangi potensi kekerasan terhadap wartawan di lapangan. Peringatan AJI itu sejalan dengan perintah UU tentang Pers. Pasal 7 UU Pers menegaskan wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Itu artinya pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik tidak semata pelanggaran etika atau moral, tapi juga pelanggaran atas kaidah hukum. Ketaatan atas Kode Etik Jurnalistik telah diperintahkan UU Pers.
Karena itu, ketaatan wartawan Indonesia terhadap Kode Etik Jurnalistik menjadi mutlak. Namun, hal itu masih sulit dilaksanakan mengingat pemahaman wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik masih rendah.
Hasil penelitian Dewan Pers memberi gambaran, sebanyak 75% wartawan Indonesia tidak memahami Kode Etik Jurnalistik. Rendahnya pemahaman wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik tentu membawa implikasi pada berita yang dihasilkan.
Tentu sulit mengharapkan wartawan seperti itu dapat membuat berita yang memenuhi persyaratan Kode Etik Jurnalistik. Karena itu, berita yang dihasilkan sangat berpeluang tidak objektif dan tidak seimbang dan terhadap fakta yang diberitakan belum dilakukan check and recheck. Berita semacam itu berpotensi menimbulkan gesekan-gesekan di tengah masyarakat, termasuk sumber berita.
Selain itu, independensi media akan memengaruhi taat-tidaknya wartawan pada Kode Etik Jurnalistik dalam menulis berita. Hanya media yang betul-betul independen yang dapat ‘memaksa’ wartawannya untuk tetap komit menulis berita yang memenuhi kode etik profesi.
Persoalannya apakah semua media massa (cetak, elektronik, dan daring) di Indonesia benar-benar independen? Bagi media yang menunjukkan keberpihakan, sangat mungkin berita yang dihasilkan berpotensi menimbulkan ketegangan atau gesekan di tengah masyarakat.
Jadi, ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik dapat menjadi salah satu solusi untuk meminimalkan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan. Persoalan itu kiranya layak dijadikan agenda saat insan pers merayakan Hari Pers Nasional, 9 Februari.
http://news.metrotvnews.com/read/2015/02/10/356393/mencegah-kekerasan-terhadap-wartawan