oleh : Agoes Zadjuli
Akhir-akhir ini telah terjadi perdebatan panjang tentang pasca disyahkannya Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, hal ini terlihat dari terpecahnya antara kelompok yang mendukung Pilkada langsung dan tak langsung ( melalui DPRD ). mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui mekanisme DPRD menuai banyak protes, baik dari seluruh Kepala Daerah yang saat ini menjabat sebagai Kepala Daerah, maupun dari sebagian besar golongan masyarakat.
Pada September 2014, DPR RI kembali mengangkat isu krusial terkait pemilihan kepala daerah secara langsung. Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD. Putusan Pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DRP RI yang terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang, dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang. Keputusan ini telah menyebabkan beberapa pihak kecewa. Keputusan ini dinilai sebagai langkah mundur di bidang “pembangunan” demokrasi, sehingga masih dicarikan cara untuk menggagalkan keputusan itu melalui uji materi ke MK. Bagi sebagian pihak yang lain, Pemilukada tidak langsung atau langsung dinilai sama saja. Tetapi satu hal prinsip yang harus digarisbawahi (walaupun dalam pelaksanaan Pemilukada tidak langsung nanti ternyata menyenangkan rakyat) adalah: Pertama, Pemilukada tidak langsung menyebabkan hak pilih rakyat hilang. Kedua, Pemilukada tidak langsung menyebabkan anggota DPRD mendapat dua hak sekaligus, yakni hak pilih dan hak legislasi. Padahal jika Pemilukada secara langsung, tidak menyebabkan hak pilih anggota DPRD (sebagai warga negara) hak pilihnya tetap ada. Adapun alasan yang disampaikan oleh pemerintah dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri sebagai inisiator pemilihan pilkada tak langsung antara lain karena berdasarkan data Djohermansyah Johan (Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri), kepala daerah yang kena kasus korupsi 290 orang. Selain itu juga ada pendapat bahwa pemilihan kepala daerah tidak langsung ( oleh DPRD ) untuk mengindari hal-hal sebagai berikut;
1. Terpilihnya pemimpin yang berbasis pencitraan.
2. Terpilihnya pemimpin yang didanai oleh cukong-cukong dan pengusaha hitam untuk kelancaran kepentingan bisnis kelompok tertentu.
3. Terpilihnya boneka-boneka kapitalis yang tak memiliki kapasitas, kapabilitas, integritas, intelektualitas, etika, dan moral.
4. Terpilihnya pemimpin kapitalis, liberalis, imperialis, globalis beserta antek-anteknya.
5. Merajalelanya sindikat jaringan kejahatan Pemilu dengan brutalnya permainan money politik dari tangan para boneka Kapitalis dan para bunglon dibelakang layar.
Selain itu Pilkada tak langsung juga;
1. Menghemat pengeluaran biaya negara yang mecapai trilyunan rupiah karena setiap kali pilkada, negara mensubsidi biaya yang tak sedikit.
2. Menghindari sengketa Pilkada yang menelan korban jiwa dan selalu berakhir di Mahkamah Konstitusi.
3. Mengehamat biaya peradilan dan pengerahan aparatur negara untuk kegiatan pengamanan Pilkada.
4. Menghemat biaya operasional seperti biaya cetak kertas suara, pembuatan kotak suara, dan transportasi distribusi kotak suara.
<1--netxpage-->
Pilkada Langsung
Pilkada langsung diyakini oleh mayoritas para Kepala Daerah saat ini dan sebagian golongan masyarakat, sebagai berikut;
1. Pilkada langsung merupakan bagian dari demokrasi.
2. Rakyat berhak menentukan dan memilih pemimpin yang mereka sukai.
3. Menghindari adanya kongkalingkong antara DPRD dan Kepala Daerah yang terpilih.
4. Menghindari kembalinya antek-antek Orde Baru. ( Kompasiana Politik, 15 September 2014 ).
Menurut pengamat politik dari Universitas Parahyangan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung dinilai memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan pilkada tak langsung. Asep Warlan Yusuf, Pengamat Politik dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, menilai pilkada langsung akan lebih menguntungkan rakyat ketimbang dipilih oleh DPRD.”Saya melihat manfaatnya banyak. Seperti pendidikan politik bagi rakyat, keterlibatan secara langsung Kemudian bagaimana meyakinkan rakyat untuk memilih. Jadi tidak sembarangan, pemimpin yang dipilih juga tidak asal-asalan,” katanya, Jika DPR RI menyetujui undang-undang Pilkada secara tidak langsung, Asep menilai hal tersebut merupakan salah satu kemunduran demokrasi. Pasalnya, dalam pemilihan akan melibatkan banyak partai politik dan banyak pihak dalam memilih kepala daerah. Diakuinya pilkada tidak langsung juga memiliki beberapa keunggulan namun keuntungan yang didapat hanya hemat biaya dan waktu pemilihan akan berlangsung lebih cepat ketimbang pilkada langsung.
Sampai saat tulisan ini dibuat polemik tentang undang-undang Pilkada tidak langsung masih menuai banyak tantangan/protes dari berbagai kelompok masyarakat, menurut Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Konstitusi Budi Achmad Djohari mengatakan baru ada empat pemohon uji materi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang baru disahkan Jumat pekan lalu itu. “Belum ada tambahan lagi, masih empat pengajuan permohonan,” kata Budi melalui layanan BlackBerry Messenger, Kamis, 2 Oktober 2014. (TEMPO.CO, Jakarta ). Puncaknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kamis (2/10/2014) malam, menerbitkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait pemilihan kepala daerah. Presiden SBY menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota,” kata Presiden. Perppu ini, Presiden menekankan, sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD. “Sebagai konsekuensi (penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2014) dan untuk memberikan kepastian hukum, saya terbitkan juga Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,” sebut Presiden. Inti perppu ini, lanjut Presiden, adalah menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah. ( Kompas.Com kamis, tanggal 2 Oktober 2014.).
<1--netxpage-->
Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007. Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dalam pelaksanaannya pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah masing masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat yaitu mengatur pelaksanaan pilkada ini agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan pilkada ini. Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh bakal calon. Dan juga biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak iklas ingin memimpin maka tidakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kembali atau “balik modal”. Ini sangat berbahaya sekali. Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan mengerahkan massanya untuk mendatangi KPUD setempat. Kasus kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di pulau sumatra. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut. Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari KPUD setempat. Misalnya saja para anggota KPUD terbukti melakukan korupsi dana Pemilu tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata dikorupsi. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon juga kejadian seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta. Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan.