Kekerasan Anak

Bagikan

[three_fourth]Beberapa waktu terakhir kasus kekerasan terhadap anak, baik kekerasan fisik maupun seksual, menyeruak. Kejadiannya di lingkungan masyarakat dan sekolah. Kenyataan ini membuktikan masyarakat belum sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap anak, tetapi malah cenderung dieksploitasi dan menjadi korban kekerasan. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu anak pun menjadi pelaku kekerasan.

Kasus pelecehan seksual terhadap siswa Jakarta International School (JIS) yang terbongkar menyadarkan publik tentang pentingnya perlindungan anak. Sekolah yang terlihat kokoh dari luar dan berwibawa ternyata menyimpan persoalan besar. Sekolah pun akhirnya dituding bukan menjadi tempat yang aman bagi anak.

Kasus lain yang juga menghebohkan adalah pelecehan dan kekerasan seksual terhadap bocah (pedofilia) di Sukabumi, Jawa Barat. Jumlah korban dari dua pelaku dilaporkan mencapai 74 anak. Belakangan, di Sumedang juga muncul kasus serupa dengan korban 11 bocah.

Belum lagi persoalan JIS dan pedofilia tuntas, kita dikejutkan oleh meninggalnya Renggo Khadafi (11 tahun). Bocah kelas V SDN 09 Pagi Makassar, Jakarta Timur ini meninggal karena diduga dianiaya kakak kelasnya yang berusia 12 tahun. Meski bukan tergolong anak-anak, hal serupa terjadi pada Dimas Dikita Handoko (19 tahun), mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Cilincing, Jakarta. Almarhum meninggal setelah dianiaya seniornya.

Sekali lagi, kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan terkuak. Kenyataan itu tak pelak membuat orangtua was-was terhadap keselamatan anaknya setelah meninggalkan rumah untuk menuntut ilmu di sekolah. Sekolah yang diharapkan menjadi “rumah kedua” bagi anak-anak, kini tak lagi dianggap mampu melindungi anak dari berbagai tindak kekerasan.

Memang, kita tak bisa menggeneralisasi bahwa semua sekolah tidak aman bagi anak-anak. Masih sangat banyak sekolah yang betul-betul menjadi lembaga pendidikan, sekaligus “rumah kedua” yang aman dan nyaman bagi anak. Meski demikian, kasus-kasus di atas tak bisa dianggap sepele dan hendaknya menjadi sirine tanda bahaya bagi anak-anak.

Komnas Perlindungan Anak mencatat pelecehan seksual selama 2013 mencapai 3.039 kasus atau naik sekitar 87% dibanding 2012. Sedangkan pada 2012 terdapat 2.637 laporan kekerasan pada anak.

Bertolak dari hal tersebut, kita kembali menggugah kesadaran orangtua, guru, pemerintah, dan publik tentang pentingnya pengawasan dan perlindungan terhadap anak. Pertama, orangtua merupakan kunci pertama dan utama untuk melindungi anak. Umumnya, kekerasan terhadap anak atau yang dilakukan anak berawal dari minimnya perhatian orangtua.

Kesibukan orangtua mencari nafkah membuat komunikasi dengan anak menjadi sangat minim. Akibatnya, orangtua hampir tak mengetahui perkembangan anak-anaknya. Jangankan mencurahkan perhatian dan kasih sayang, bertanya tentang kemajuan pelajaran sekolah anak pun tak sempat. Apalagi, mencari tahu secara detail kegiatan anak selama di sekolah, siapa saja teman bermain dan bergaul mereka, hingga kemungkinan anak mengalami tindak kekerasan atau pelecehan seksual.

Solusi untuk mengatasi kekerasan terhadap anak dan upaya meredam anak melakukan tindak kekerasan harus dimulai dari rumah. Orangtua berkewajiban memberikan waktunya bagi anak. Komunikasi, perhatian, kasih sayang, dan teladan orangtua merupakan resep mujarab untuk membuat anak-anak lebih mudah belajar, memiliki sikap dan kepribadian unggul, serta toleran. Sejak kecil, anak-anak juga harus dididik berani menyampaikan pendapat. Dengan demikian, bila mengalami tindak pelecehan atau kekerasan baik yang dilakukan sesama teman, guru, atau orang lain, mereka bisa mengadukannya kepada orangtua.

Di sisi lain, orangtua patut menaruh curiga bila anak-anaknya berperilaku berbeda dari biasanya. Bila keterbukaan anak dan kepedulian orangtua berpadu, berbagai tindak kekerasan bisa dicegah dan diatasi sejak dini.

Kedua, memaksimalkan peran guru di sekolah. Sesungguhnya tugas guru bukan sekadar mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, tetapi ikut mendidik layaknya orangtua. Sekolah seharusnya menjadi “rumah kedua” bagi anak. Dengan demikian, guru pun bertugas memantau perkembangan anak secara fisik dan psikis. Bila perkembangan anak terus terpantau di sekolah, kita yakin berbagai tindak kekerasan bisa diminimalisasi.

Ketiga, masyarakat dan pemerintah harus lebih berperan aktif melindungi anak-anak. Kita sudah memiliki UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, tetapi pelaksanaannya di lapangan masih mengecewakan. Sosialisasi UU Perlindungan Anak perlu semakin digencarkan agar masyarakat mengetahui hak-hak anak dan merealisasikannya. Pengelola televisi hendaknya meniadakan tayangan kekerasan.

Demikian juga akses game kekerasan dan konten pornografi lewat internet wajib diblokade. Perhatian orangtua serta kepedulian guru, pemerintah, dan masyarakat kepada anak-anak diharapkan membuat mereka tumbuh-kembang secara layak dan terhindar dari berbagai tindak kekerasan.

http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/3364-kekerasan-anak.html

Skip to content