IMPLEMENTASI KOVENAN HAK SIPIL DAN POLITIK DI INDONESIA (Hal.1)

Bagikan

Penulis: TEMMANENGNGA, S.Ip, MA

Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproklamirkan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disingkat DUHAM) yang memuat pokok-pokok HAM dan kebebasan dasar juga sebagai acuan umum hasil pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan efektif. Penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar ini diterapkan baik dikalangan rakyat Negara-negara anggota PBB sendiri maupun di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah yuridiksi mereka. Oleh sebab bentuknya sebagai acuan umum, maka diperlukan penjabaran isi dan makna DUHAM ke dalam instrumen HAM internasional yang bersifat mengikat secara hukum.

Pada tahun 1950, Majelis Umum PBB mengesahkan sebuah resolusi yang menyatakan bahwa pengenyaman kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dasar di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di lain pihak bersifat saling terkait dan saling tergantung. Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya pada tanggal 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200A (XXI), Majelis Umum PBB mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) beserta Protokol Opsionalnya dan juga mengesahkan International Covenant on Economic, Social and Culture Rights (ICESR) beserta Protokol Opsional. Pembedaan kedua tema HAM ini yang melahirkan ICCPR merupakan hasil kompromi politik yang keras antara kekuatan negara-negara Blok Sosialis melawan kekuatan negara-negara Blok Kapitalis yang sedang terlibat Perang Dingin. Situasi ini mempengaruhi proses legislasi perjanjian internasional hak asasi manusia yang ketika itu sedang digarap Komisi HAM PBB (mulai bekerja tahun 1949). Akibatnya terjadi pemisahan kategori hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak dalam kategori ekonomi, sosial, dan budaya ke dalam dua kovenan atau perjanjian internasional, yang pada awalnya diusahakan dapat diintegrasikan ke dalam satu kovenan saja. Akibat pembedaan ini telah membawa implikasi-implikasi tertentu dalam penegakan kedua kategori hak tersebut.

Saat ini Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik itu (selanjutnya disingkat ICCPR) telah diratifikasi oleh 167 Negara. Itu artinya tidak kurang dari 95% negara-negara anggota PBB yang berjumlah 193 negara itu telah menjadi Negara-Negara Pihak (State Parties) dari kovenan tersebut. Ditinjau dari segi tingkat ratifikasi, maka dapat dikatakan kovenan ini memiliki tingkat universalitas yang sangat tinggi bila dibanding dengan perjanjian internasional hak asasi manusia lainnya. Tidak salah apabila kemungkinan kovenan ini dimasukkan menjadi bagian dari International Bill of Human Rights.
Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki banyak persoalan di bidang HAM, pada dasarnya telah memuat beberapa muatan hak yang menjadi materi di pasal-pasal ICCPR, jauh sebelum ICCPR itu sendiri disahkan. Hal ini dapat dibuktikan dari pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian, pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia materi hak sipil dan politik yang termuat dalam UUD 1945 tidak dapat dan atau tidak mau dijalankan sepenuhnya dengan baik oleh pemerintah-pemerintah yang berkuasa pada masanya, mulai dari rejim Presiden Soekarno sampai dengan Soeharto. Seiring dengan proses demokrasi yang terus tumbuh dan bergerak cepat di Indonesia, maka terjadilah sebuah ‘pemberontakan rakyat’ kepada rejim Presiden Soeharto yang korup dan otoriter pada tahun 1998 yang ditandai dengan lahirnya sebuah suasana politik yang ‘baru’ yang disebut orde reformasi.

Selanjutnya, penghormatan dan penegakan HAM di Indonesia mulai membaik dengan ditandai adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998 tentang HAM, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Untuk hak sipil dan politik lebih konkrit lagi ditandai dengan Pengesahan ICCPR dengan UU Nomor 12 Tahun 2005.
Kovenan ini merupakan produk Perang Dingin yang merupakan hasil dari kompromi politik yang keras antara kekuatan negara blok Sosialis melawan negara blok Kapitalis. Saat itu situasi ini mempengaruhi proses legislasi perjanjian internasional hak asasi• manusia yang ketika itu sedang digarap Komisi HAM PBB. Hasilnya adalah pemisahan kategori hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak dalam kategori ekonomi, sosial, dan budaya ke dalam dua kovenan atau perjanjian internasional – yang tadinya diusahakan dapat diintegrasikan ke dalam satu kovenan saja, tetapi realitas politik menghendaki lain. Kovenan yang satu lagi adalah Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya atau International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Kedua kovenan ini merupakan anak kembar yang dilahirkan di bawah situasi yang tidak begitu kondusif itu, yang telah membawa implikasi-implikasi tertentu dalam penegakan kedua kategori hak tersebut.

Bersambung ke Hal.2

Skip to content