Penilaian deskriptif dalam pendidikan

Bagikan

Ada pergeseran paradigma yang signifikan dalam dunia pendidikan di Tanah Air sejak diberlakukannya Kurikulum 2013.

Dalam segi penilaian prestasi siswa misalnya, guru tak lagi memberikan penilaian yang kuantitatif namun kini ditempuh cara penilaian kualitatif.

Rapor siswa tak akan berisi angka-angka seperti sebelumnya, namun berisi uraian deskriptif yang menggambarkan kondisi kualitaif siswa dalam mengikuti pemelajaran di kelas.

Banyak segi positif yang diperoleh dengan paradigma penilaian semacam ini.

Dengan jalan ini, penilaian guru terhadap siswa diharapkan tidak mereduksi pribadi-pribadi dalam angka-angka. Tentu deskripsi sebetulnya juga merupakan reduksi jika diingat bahwa sebuah prestasi pribadi seorang siswa tak pernah sesederhana yang diuraikan satu dua paragraf.

Penilaian deskriptif juga bisa menghindarkan seorang siswa dengan gampangnya dicap sebagai siswa bodoh, pas-pasan atau cerdas. Sejarah perjalanan sekolah seseorang tidak memperlihatkan ada korelasi antara penilaian guru berdasarkan angka-angka di kelas dengan prestasi di dalam kehidupan mereka di kemudian hari.

Banyak anak-anak yang tergolong juara atau di atas rata-rata dalam prestasi akademis mereka semasa belajar di bangku sekolah ternyata tidak menjadi orang yang sukses dalam menempuh karir dalam hidup mereka di kemudian hari.

Sebaliknya, tak sedikit siswa yang semasa belajar di bagku sekolah tergolong bodoh atau pas-pasan pada akhirnya berhasil sebagai pengusaha yang ulet, mandiri dan pencipta lapangan kerja bagi mereka yang tergolong pintar di kelas.

Tentu banyak variabel yang menciptakan kondisi seperti itu. Jadi tak bisa ditarik kesimpulan yang tergesa-gesa bahwa anak yang pas-pasan di sekolah akan terpacu untuk menjadi pribadi yang ulet dan mandiri ketika harus berjuang dalam kehidupan mereka di kala dewasa.

Di satu sisi ada banyak segi positif yang bisa didapat dari perubahan paradigma pendidikan dengan berlakunya Kurikulum 2013, di sisi lain masih ada kendala dalam implementasi kurikulum baru itu di lapangan.

Ternyata masih banyak guru-guru yang belum paham bagaimana cara membuat penilaian deskriptif itu.

Tentu hambatan semacam ini bisa dimaklumi. Guru-guru yang selama ini, selama bertahun-tahun sudah terbiasa memberikan penilaian kuantitatif dalam bentuk angka-angka, pasti mengalami kesulitan dalam memberikan penilaian deskriptif.

Diperlukan perubahan mind set pada guru untuk bisa mulai membiasakan diri memberikan penilaian berdasarkan uraian verbal deskriptif itu.

Guru pelajaran matematika, yang selama ini dengan mudahnya memberikan nilai kuantitatif pada siswa berdasar capaian nilai siswa dalam menguasai matematika, akan kebingungan bagaimana membahasakan seorang siswa yang bernilai sembilan dalam matematika dengan siswa yang mendapat nilai delapan.

Perbedaan tipis itu tak akan kelihatan jika dinilai dalam bentuk uraian deskriptif.

Namun, persoalan itu bukan hal yang esensial mengingat prestasi akademis kini bukan lagi menjadi faktor utama dalam kurikulum baru, setelah posisinya digeser oleh faktor integritas atau sikap siswa dalam berinteraksi dengan sesama dalam kehidupan sehari-hari.

Mengutamakan integritas dalam proses pendidikan merupakan pilihan jitu mengingat perkara ini kini menjadi masalah besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tak perlu dipungkiri bahwa dalam beberapa tahun terakhir, aksentuasi pada prestasi akademis, dengan mudahnya menjebak pemangku kepentingan dunia pendidikan di Tanah Air masuk ke praktek culas saat penyelenggaraan ujian nasional diterapkan.

Berbagai kasus kecurangan dalam ujian nasional telah terkuak dan yang menyedihkan, kecurangan itu bahkan ditenggang oleh para pendidik.

Kini implementasi ujian nasional untuk sekolah dasar sudah ditiadakan. Sebuah babak baru dalam dunia pendidikan dasar.

Sesungguhnya bukan babak baru sama sekali, karena jauh sebelum kegandurungan ujian nasional yang merupakan bagian dari pola pendidikan liberal di negeri maju diterapkan, pendidikan dasar tak dijalankan dengan menyelenggarakan ujian nasional.

Kini upaya yang perlu dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menyukseskan Kurikulum 2013 adalah fokus pada pelatihan pada guru-guru, termasuk memberikan pelatihan dalam mengevaluasi siswa secara deskriptif.

Dalam penilaian deskriptif, guru dituntut mengamati latar kehidupan siswa untuk memberikan gambaran yang adil terhadap masing-masing siswa. Misalnya, dua orang siswa yang sama-sama hebat dalam pelajaran matematika, penilaian deskriptifnya tentu berbeda mengingat latar belakang siswa itu yang umumnya tidak sama.

Misalkan dua siswa yang sama-sama berprestasi dalam matematika itu punya latar belakang kehidupan yang berbeda, yang satu dari keluarga berada dengan fasilitas belajar yang lengkap dan berkesempatan mengikuti kursus privat, sementara yang satunya lagi dari keluarga pas-pasan, tentunya harus ada penilaian deskriptif yang berbeda.

Pasti ada usaha-usaha ekstra keras dari siswa yang berasal dari keluarga pas-pasan itu untuk mendapatkan nilai yang tinggi karena dia tidak didukung dengan fasilitas belajar yang memadai.

Sastrawan Putu Widjaja pernah mengatakan: anak pengusaha besar yang lulus dari universitas unggulan tentu harus dinilai berbeda dengan anak petani gurem yang juga lulus dari universitas yang sama. Di sinilah inti penilaian deskriptif dalam dunia pendidikan.

Tentu yang harus diperhatikan oleh guru dalam melakukan penilaian destriptif adalah menghindarkan pemberian stigma negatif dalam bentuk pernyataan verbal.

Dalam dunia pendidikan dasar, penilaian diharapkan menjadi faktor penggugah, penyemangat dan bukan melahirkan pesimisme dalam kejiwaan siswa. Ini tidak berarti bahwa guru harus memberikan penilaian yang tak berdasar fakta.

Penilaian harus faktual. Namun, berangkat dari yang faktual itulah guru bisa memberikan penilaian yang membangkitkan semangat siswa untuk belajar lebih keras dan lebih baik di kemudian hari.

Editor: Maryati
Sumber : ANTARANews

COPYRIGHT © 2014

Skip to content