Pekerja Migran Rentan Jadi Korban Perbudakan Modern

Bagikan

Walau peradaban manusia di abad ke-21 ini dapat dikatakan modern, tapi praktik perbudakan masih kerap terjadi di berbagai belahan dunia. Ironisnya, pekerja migran Indonesia yang kerap disebut sebagai pahlawan devisa rentan terhadap perbudakan modern itu. Hal itu yang diutarakan Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, dalam jumpa pers bertema “Akhiri Perbudakan Modern dalam Penempatan Buruh Migran Indonesia dan Launching Melanie Subono sebagai Duta Anti Perbudakan Modern” yang digelar di Jakarta, Rabu (29/1).

Mengutip laporan Indeks Perbudakan Global 2013 yang dirilis koalisi organisasi masyarakat sipil internasional yang fokus pada isu perbudakan modern, Walk Free, Anis memperkirakan ada 29,8 juta orang yang menjadi korban perbudakan di dunia. Untuk negara dengan jumlah penduduk yang banyak menjadi korban perbudakan, Indonesia berada diperingkat ke-16. Selain itu Indonesia berada di peringkat 114 dari 162 negara yang pekerja migrannya tereksploitasi secara serius di wilayah Asia Pasifik dan Timur Tengah.

Sementara mengutip data ILO 2012, 20,9 juta orang di seluruh dunia terjebak dalam perbudakan. Dari jumlah itu 11,4 juta orang diantaranya perempuan dan 5,5 juta anak-anak. Bagi Anis, data itu dapat dikonfirmasi dari faktanya di lapangan, terutama untuk pekerja migran Indonesia yang didominasi perempuan, kerap diperbudak di negara penempatan. Sebut saja kasus Erwiana Sulistyaningsih, seorang pekerja migran asal Ngawi, Jawa Timur yang diperbudak majikannya dengan cara disiksa dan tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja. Seperti upah, hari libur dan waktu istirahat.

Menurut Anis salah satu pintu masuk perbudakan modern adalah kebijakan ketenagakerjaan yang ada di dalam dan luar negeri. Misalnya, kebijakan yang mengatur tentang hak-hak pekerja rumah tangga (PRT) atau domestik, selama ini dirasa masih minim diterapkan berbagai negara, termasuk Indonesia. “Kebijakan ketenagakerjaan di dalam dan luar negeri menempatkan mereka rentan menghadapi eksploitasi,” katanya.

Anis mencatat hanya sedikit negara yang mengatur kebijakan ketenagakerjaan khususnya yang berkaitan dengan sektor domestik. Salah satu negara penempatan yang tergolong baik kebijakannya adalah Hongkong. Sebab, di negara itu diatur tentang upah minimum dan hari libur, termasuk bagi pekerja sektor domestik. Walau begitu adanya pengaturan ketenagakerjaan tidak menjamin pekerja migran lepas dari eksploitasi. Hal itu dapat dilihat dalam kasus Erwiana, seorang pekerja migran Indonesia yang bekerja di Hongkong dan mendapat siksaan dari majikannya.

Biasanya, dalam menempatkan pekerja migran, pemerintah menjalin MoU dengan negara tujuan. Tapi Anis mengingatkan nota kesepahaman atau MoU yang disepakati itu tidak menjamin hak hak pekerja migran secara otomatis dipenuhi. Lagi-lagi Anis mengatakan hal itu bergantung pada kebijakan ketenagakerjaan yang ada di masing-masing negara. Misalnya, nota kesepahaman yang dijalin antara Indonesia dan Malaysia.

Sekalipun MoU itu diatur tentang hari libur bagi pekerja migran sektor domestik tapi tidak ada jaminan ketentuan itu dilaksanakan. Sebab tidak ada kebijakan ketenagakerjaan yang mengatur hak-hak PRT di kedua negara itu. “Siapa yang mau memastikan PRT dapat jatah libur kalau di negara masing-masing tidak ada kebijakan yang mengatur itu,” urai Anis.

Untuk mendorong agar perbudakan modern itu dihentikan, Anis menyebut Migrant Care bergabung dengan gerakan global yang mengusung isu akhiri perbudakan modern yaitu Walk Free. Untuk mengkampanyekan gerakan itu Migrant Care menggandeng musisi sekaligus aktivis perempuan, Melanie Subono, menjadi Duta Anti Perbudakan. “Kami mendorong negara membenahi kebijakan yang membuka pintu terjadinya praktik perbudakan modern,” tukasnya.

Pada kesempatan yang sama Melanie Subono mengaku miris melihat nasib pekerja migran Indonesia yang dibanggakan sebagai pahlawan devisa namun rentan menjadi korban perbudakan modern. Apalagi pandangan masyarakat daerah untuk bekerja di luar negeri menjadi pekerja migran sangat besar. Sebab mereka menganggap menjadi pekerja migran itu ‘enak.’ Padahal, banyak hal yang perlu dibenahi agar pekerja migran Indonesia mendapat perlindungan maksimal.

Oleh karenanya dengan menjadi Duta Anti Perbudakan, Melanie berharap dapat membuka mata masyarakat luas untuk mendesak pemerintah melakukan perubahan positif terhadap perlindungan pekerja migran Indonesia. “Rakyat punya hak untuk mendesak pemerintahannya,” ucapnya.

Menurut Melanie kampanye dibutuhkan karena tidak semua lapisan masyarakat mengetahui tentang persoalan yang dihadapi pekerja migran Indonesia. Misalnya kasus pekerja migran Indonesia yang terancam hukuman mati di Malaysia, Wilfrida Soik. Walau kasus itu mengancam nyawa sang pahlawan devisa tapi masih ada masyarakat yang tidak mengetahuinya.

Namun ketika Melanie mengabarkan lewat gerakan serta media sosial, banyak tanggapan dan masyarakat mulai mengetahui kasus Wilfrida. Oleh karenanya semakin banyak masyarakat yang menyuarakan aspirasinya untuk mengakhiri perbudakan Melanie yakin akan ada perubahan. “Kalau rakyat bergerak maka akan ada perubahan,” pungkasnya.(Kamis, 30 Januari 2014)

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52ea41de55f0f/pekerja-migran-rentan-jadi-korban-perbudakan-modern

Skip to content