Sejak tahun 1999 hingga 2013 atau 15 tahun terakhir, perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua semakin buruk dan mengkhawatirkan.
Ekskalasi kekerasan aparat militer dan Polri terhadap rakyat sipil terus meningkat. Ironisnya, kekerasan itu sejalan dengan perkembangan kebijakan otonomi khusus di Tanah Papua berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 dan UU Nomor 35 Tahun 2008.
Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil di Tanah Papua, mencatat bahwa peningkatan kekerasan aparat terhadap rakyat sipil tersebut sejalan dengan terus ditempatkannnya Tanah Papua sebagai sasaran operasi militer dan keamanan oleh negara.
Ini dikatakan Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy kepada SP, Kamis (2/1) malam.
Yan mengatakan, segenap kebijakan negara senantiasa diarahkan untuk menggunakan pola pendekatan militer (military approach) atau pendekatan keamanan (security approach).
“Dua model pendekatan ini menghalakan penyelesaian masalah melalui kekerasan bersenjata, yang pada akhirnya akan berimplikasi pada terjadinya kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM,” kata Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 dari Rights and Democracy di Kanada.
Dikatakan, kasus kekerasan diawali dengan kasus pembunuhan terhadap pemimpin Papua almarhum Theys Hiyo Eluay pada 10 November 2001, yang melibatkan beberapa prajurit dan perwira Kopassus.
Kemudian disusul Kejahatan Kemanusiaan di balik operasi penyisisran dan penumpasan di Wasior dan sekitarnya pada Juni hingga Oktober 2001.
Kasus ini hingga saat ini belum diselesaikan oleh Komnas HAM dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia sebagai lembaga-lembaga penyelidik dan penyidik yang diatur dalam Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Di dalam kasus Wasior ini, lanjut dia, diduga telah terjadi tindakan-tindakan melanggar prinsip-prinsip HAM yang diakui di dalam aturan perundangan di Indonesia, bahkan secara universal dihormati.
Seperti penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan (arbitrary detention and Torture), pembunuhan kilat (extra judicial killing), orang hilang (disappearance of people) dan juga pemerkosaan (rape) yang kesemuanya yang menjadi korban adalah masyarakat sipil di Wasior, Wondiwoy, Rasiei hingga ke Rakwa, Dotir dan Yopanggar juga di Wosimo dan Sararti.
Beberapa kasus lain terjadi dalam beberapa tahun terakhir adalah kekerasan aparat yang menimbulkan korban di pihak rakyat sipil dalam kasus pembunuhan kilat terhadap Mako Tabuni, kasus Aimas yang menewaskan 4 korban rakyat sipil serta beberapa kasus lain di Tanah Papua yang kesemuanya tidak pernah diselesaikan secara hukum.
Utamanya dalam menyeret dan meminta pertanggung-jawaban pelakunya secara hukum di depan pengadilan yang berwenang menurut hukum.
“Sehingga kami menduga bahwa pelanggaran HAM dalam kategori HAM Berat yang sudah terjadi atas rakyat Papua sejak tahun 1963 hingga saat ini akan terus cenderung meningkat sepanjang negara tetap menempatkan Tanah Papua sebagai daerah konflik yang senantiasa harus dijaga dengan jumlah personil militer yang meningkat setiap waktu,” ujar Yan yang juga Sekretaris Komisi HAM, Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan CIptaan Badan Pekerja Klasis GKI Manokwari.
Menurutnya, kecenderungan itu nampak pula dari adanya pelibatan sekitar 400 personel militer dari TNI yang saat ini sedang mengerjakan jalan lingkar di Pulau Mansinam-Kabupaten Manokwari-Papua Barat serta rencana pembangunan Markas Komando Daerah Militer (KODAM) di Manokwari-Papua Barat yang sedang dicari lokasi tanahnya oleh pemerintah daerah Propinsi Papua Barat.
Gereja Tak Berdaya
Sementara itu, pada saat yang sama Gereja-gereja di Tanah Papua seakan tidak berdaya untuk melakukan tekanan apapaun dalam mempengaruhi rencana-rencana pendekatan keamanan yang terus dilakukan oleh milter di Tanah Papua, yang lagi-lagi bakal menuai korban rakyat sipil yang nota bene mayoritasnya adalah warga gereja di Bumi Cenderawasih ini.
“Pelanggaran HAM di Tanah Papua yang terus berlangsung selama lebih kurang 50 Tahun ini tidak pernah memperoleh penyelesaian yang adil menurut kerangka dan sistem hukum di Indonesia. Meskipun kita telah memiliki Undang Undang HAM dan Undang Undang Pengadilan HAM serta di Tanah Papua kita, sudah punya Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua yang dalam pasal 44 hingga 46 mengatur tentang cara penyelesaian pelanggaran HAM, tetapi hingga kini hanya tinggal mimpi belaka,” ujarnya.
LP3BH ingin menggunakan kesempatan jelang akhir 2013 ini untuk mengingatkan Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar menempatkan soal penyelesaian pelanggaran HAM di Tanah Papua yang sudah berlangsung 50 tahun ini sebagai prioritas utama jelang akhir masa pemerintahannya berkuasa.
Sumber:Suara.Pemebaruan