Anak yang menjadi korban eksploitasi seksual terus bertambah.
Eksploitasi terhadap anak, terutama eksploitasi seks kian hari kian marak terjadi. Tak hanya dijadikan sebagai penjaja seksual, eksploitasi anak kini kian merambah ke ruang karaoke, sebagai pramusaji atau tugas lain. Bahkan, ada anak yang sudah menjadi mucikari.
Maraknya eksploitasi seksual berbanding terbalik dengan perlindungan hukum terhadap anak yang seharusnya dijamin oleh negara. Regulasi yang ada dinilai tak cukup melindungi hak anak sebagai korban pelecehan atau eksploitasi seksual.
Koordinator Nasional End Child Prostitution Child Pornography and Traficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Ahmad Sofian mengatakan bahwa eksploitasi seks terhadap anak meningkat karena permintaan pasar seks global yang besar. Akibatnya, muncul sindikasi dari ruang-ruang tersebut demi keuntungan ekonomi.
Sebagai salah satu persoalan lintas negara atau global, ekploitasi membutuhkan hukum yang memadai. Menurut Ahmad Sofian, persoalan hukum perlindungan terhadap anak di Indonesia belum memadai. Buktinya, korban eksploitasi kerap tidak mendapatkan hak-hak yang patut diperloleh. Ia menilai, hukum formil di Indonesia masih dominan melindungi hak-hak tersangka atau pelaku. “KUHAP masih belum berpihak kepada korban,” kata Ahmad Sofian di Jakarta, Selasa (17/12).
Misalnya saja, lanjutnya, menyoal restitusi atau hak yang harus dibayarkan kepada korban secara tunai oleh pelaku dan kompensasi jika pelaku tak memiliki kemampuan untuk membayar. Ahmad menjelaskan, kendati aturan tersebut tercatat di KUHAP, namun realisasinya kerap tidak terjadi sebagaimana mestinya.
Selain persoalan realisasi, aturan tentang restitusi dan kompensasi terhadap korban, dalam hal ini ekploitasi anak, tidak memiliki mekanisme perhitungan dan pembayaran yang jelas. Harusnya, pemberian restitusi dan kompensasi memiliki ukuran yang jelas dan mekanisme pembayaran yang juga jelas. Jika tidak, tak ada jaminan bahwa korban akan mendapatkan hak-haknya.
Mengingat tak adanya aturan yang jelas megenai restitusi dan kompensasi bagi korban eksploitasi anak, Ahmad menilai sebaiknya UU Perlindungan Anak segera direvisi dengan memasukkan aturan restitusi dan kompensasi secara jelas. Anak korban ekploitasi seksual perlu mendapatkan remedi yudisial dalam bentuk kepastian pelaku dan kompensasi finansial.
“Tetapi, mereka (anak korban eksploitasi seks) juga perlu untuk mengakses bantuan dan dukungan dibawah pemulihan UU Perlindungan Anak. Kebutuhan utama yang harus diberikan kepada korban adalah identitas dan penyelamatan,” ujarnya.
Tak hanya soal restitusi dan kompensasi saja. Pertemuan dengan Perancis pada beberapa waktu lalu, dijelaskan Ahmad Sofian menghasilkan beberapa rekomendasi terhadap persoalan ekspoitasi anak. Beberapa rekomendasi tersebut adalah, perlu tanggung jawab penegak hukum dalam memulihkan korban secara bertahap, identifikasi dan penyelamatan korban untuk mencegah kriminalisasi, peningkatan kemampuan penegak hukum dalam teknik wawancara kepada korban dan mengembangkan lingkungan yang ramah terhadap anak.
“Terkadang korban selalu ditanya berulang-ulang oleh sehingga penderitaan juga berulang. Selain ditanya oleh pihak kepolisian, juga kemudian di ruang pengadilan,” jelas Ahmad Sofian.
Selanjutnya, perlunya revisi UU Nasional termasuk mendefenisikan eksploitasi seksual anak, pelacuran anak dan pernografi anak dan memberikan mandat yang jelas kepada penegak hukum. Mendorong perndokumentasian audiovisual dan video dalam wawancara serta harmonisasi perundang-undangan yang memenuhi standar OPSC.
Perwakilan dari Kabareskrim Mabes Polri, Khatarina Ekorini Indriati mengakui eksploitasi seksual anak semakin lama semakin meningkat. Bahkan, lanjutnya, wisatawan luar negeri mengenal Pulau Bali dan Lombok sebagai tempat ekploitasi seksual anak.
Dari angka laporan kasus eksploitasi anak, Khatarina mengatakan untuk tahun 2013, kasus yang baru masuk hanya sebesar 47 laporan. Tetapi, ia meyakini, peristiwa eksploitasi seksual anak yang tidak tercatat lebih banyak terjadi.
“Saya yakin 2013 tidak mungkin cuma 47 kasus, angka ini memang jauh lebih kecil dari 2011 yakni 97. Tetapi, bukan berarti eksploitasi seksual anak turun, cuma banyak yang belum masuk datanya,” kata Khatarina.
Terkait denga rekomendasi wawancara yang memberikan lingkungan yang ramah kepada anak selaku korban, Khatarina mengaku tak banyak penegak hukum, dalam hal ini polisi, memiliki pendidikan tentang anak. Akibatnya, banyak anak yang merasa tak nyaman ketika diwawancara oleh pihak kepolisian. “Tetapi pendidikan anak itu penting bagi polisi,” ungkapnya.
Perwakilan Direktorat Perancangan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Cahyani Suryandari mengatakan DPR sempat mengusulkan mengajukan revisi UU Perlindungan Anak masuk ke dalam Prolegnas. Sayangnya, dalam rapat penentuan RUU yang akan masuk ke Prolegnas, usulan tersebut ditolak.
Cahyani mengakui restitusi dan kompensasi belum diatur secara jelas. “Kalau untuk tahapan dan tata cara pemberian restitusi serta kompensasi, memang masih menjadi tanda tanya besar,” pungkasnya.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52b1218c35bc1/perjelas-kompensasi-bagi-anak-korban-eksploitasi-seks