Jum’at, 18 Oktober 2013: Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mendesak pemerintah untuk serius menyiapkan pelaksanaan BPJS, khususnya BPJS Kesehatan. Pasalnya, batas waktu persiapan itu akan berakhir dua bulan lagi karena BPJS Kesehatan harus beroperasi pada 1 Januari 2014. Sayangnya, sampai saat ini pemerintah diniliai lamban dalam melakukan persiapan. Salah satunya dalam menerbitkan peraturan pelaksana yang berfungsi sebagai landasan berjalannya BPJS Kesehatan.
Sampai saat ini Iqbal mencatat pemerintah baru menerbitkan dua peraturan pelaksana BPJS Kesehatan yaitu Perpres Jaminan Kesehatan (Jamkes) dan PP Penerima Bantuan Iuran (PBI). Namun, kedua peraturan tersebut dalam proses perbaikan dan sampai sekarang belum selesai. Di samping itu masih terdapat hal penting lainnya yang harus masuk dalam regulasi itu seperti ketentuan mengenai manfaat dan iuran. “Kalau peraturan itu belum direvisi dan tak kunjung diterbitkan sampai batas waktu BPJS Kesehatan yang tinggal 2 bulan lagi harus beroperasi, maka pemerintah berpotensi melanggar hukum,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (18/10).
Terkait iuran BPJS Kesehatan, Iqbal menekankan tiga hal penting yang perlu diperhatikan pemerintah bagi pekerja formal. Pertama, bagi pemberi kerja yang selama ini sudah membayar iuran jaminan kesehatan bagi para pekerjanya dan besarannya melebihi iuran BPJS Kesehatan yang ditetapkan pemerintah maka pekerja tidak perlu membayar iuran. Sehingga, seluruh iuran bagi pekerja ditanggung pengusaha. Sebab, mendengar rencana pemerintah, pengusaha menanggung iuran sebesar 4 persen dan pekerja 0,5 persen. “Misalnya, pengusaha selama ini mampu membayar 5 persen, maka pekerja tidak perlu mengiur,” ucapnya.
Kedua, jika pemberi kerja selama ini sudah memberi jaminan kesehatan yang lebih baik atau di atas besaran iuran BPJS Kesehatan, Iqbal melanjutkan, maka harus dilakukan mekanisme top up. Misalnya, iuran BPJS Kesehatan sebesar 4,5 persen, namun selama ini pengusaha mengiur jaminan kesehatan untuk pekerjanya 10 persen, maka pengusaha tetap membayar 10 persen kepada BPJS Kesehatan. Kemudian, pekerjanya yang menjadi peserta BPJS Kesehatan mendapatkan pelayanan top up. Contohnya, jika peserta BPJS Kesehatan mendapat pelayanan kesehatan di fasilitas kelas II, maka dengan mekanisme top up peserta yang bersangkutan mendapat fasilitas kelas I.
Ketiga, iqbal mengatakan jika pemerintah masih menginginkan pekerja untuk mengiur 0,5 persen, maka harus diberlakukan pada 2015 dan bukan 1 Januari 2014. Baginya, hal itu selaras dengan peraturan perundang-undangan tentang Jamsostek yang masih berlaku ketika BPJS Kesehatan beroperasi tahun depan. Iqbal melihat dalam ketentuan itu, pengusaha selaku pemberi kerja menanggung penuh jaminan kesehatan pekerjanya.
Beberapa catatan penting terkait iuran itu menurut Iqbal harus diperhatikan pemerintah dengan serius agar pelaksanaan BPJS Kesehatan menjadi jelas. Iqbal mengaku telah menyampaikan usulan itu kepada Presiden RI dan para menteri terkait. “Hal ini nantinya jadi preseden bagi pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan,” tandasnya.
Sebelumnya, Ketua DPN Apindo, Sofyan Wanandi, mengatakan belum ada kesepakatan antara pihak pengusaha dan serikat pekerja mengenai besaran iuran BPJS Kesehatan. Selain itu ia mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam mempersiapkan dan melaksanakan BPJS Kesehatan ataupun Ketenagakerjaan. Pasalnya, jika unsur kehati-hatian tidak diperhatikan, Sofyan khawatir Indonesia akan mengalami kebangkrutan yang sama seperti Yunani. “Untuk besaran iuran belum ada kesepakatan,” urainya.
Sementara, Direktur Lembaga Analisis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan (Elkape), German E Anggent, melihat pekan depan Presiden RI berencana mengadakan pertemuan dengan pimpinan PT Askes di Sukabumi, Jawa Barat. Ia berharap pertemuan itu dapat membahas dan mencari solusi atas berbagai hambatan yang selama ini dihadapi dalam persiapan pelaksanaan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Misalnya, rumitnya proses birokrasi dalam pembahasan peraturan pelaksana BPJS.
Bagi Anggent, Presiden harus memberi perhatian khusus terhadap persiapan pelaksanaan BPJS karena batas waktu transformasi BPJS tinggal dua bulan lagi. Sedangkan, sampai saat ini pemerintah baru mampu menghasilkan dua regulasi terkait BPJS, yaitu Perpres Jamkes dan PP PBI. Padahal, masih terdapat sejumlah peraturan lainnya yang wajib diterbitkan pemerintah seperti RPP Aset dan Liabilitas BPJS Kesehatan dan Pengelolaan Dana Jaminan Sosial atau dikenal dengan RPP Alma. Serta RPP tentang Kelembagaan BPJS Kesehatan.
Tak ketinggalan Anggent menekankan agar dalam proses pembentukan peraturan pelaksana, masyarakat sipil yang selama ini mengawal pelaksanaan BPJS harus dilibatkan. Sehingga, kebijakan dan regulasi yang dihasilkan sesuai dengan harapan masyarakat. Langkah itu penting agar tidak mengulang kejadian yang sama ketika Perpres Jamkes dan PP PBI diterbitkan yang ujungnya masyarakat menuntut untuk dilakukan revisi.
Selaras dengan itu dalam pertemuan antara Presiden RI dan PT Askes pekan depan di Sukabumi, Anggent mengatakan kelompok masyarakat sipil yang mengawal pelaksanaan BPJS layak dilibatkan. Hal itu diperlukan untuk mendorong sosialisasi tentang BPJS ke tengah-tengah masyarakat. Sebab, Elkape memantau di sejumlah provinsi, masyarakat belum mengetahui apa itu BPJS. “Mereka hanya tahu iklan BPJS di televisi tanpa mengerti apa BPJS,” paparnya.
Mengingat pemerintah sudah melakukan pilot project BPJS Kesehatan di beberapa daerah, Anggent berharap agar dilakukan evaluasi untuk mengetahui dan memperbaiki kelemahan yang ada. Tentu saja evaluasi itu dilakukan dengan melibatkan masyarakat di daerah yang bersinggungan dengan pilot project tersebut karena mereka yang mengalami langsung bagaimana pelayanan yang diberikan dan mekanisme rujukan yang dijalankan.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5261391129516/masa-kritis-persiapan-bpjs-kesehatan