Bahasa, Sumpah Pemuda dan Agnes Monica

Bagikan

Di hari Sumpah Pemuda [atau yang lebih tepatnya “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia”], saya membaca kicauan Agnes Monica di Twitter: “Supaya kalian tau exactly what i said in the press conference. Banyak bgt justru yg ga the opposite of what i said.”

Bukan niat saya untuk menyebut Agnes tak setia dengan pernyataan “kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean bahasa Indonesia”. Kicauan Agnes itu justru dengan telak mengingatkan saya pada satu fakta penting: para pembicara di Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II menggunakan bahasa Belanda. Semua keputusan [istilah resminya waktu itu “poetoesan”] juga ditulis dalam bahasa Belanda.

Pidato Mohammad Yamin di Kongres Pemuda I [nama resminya “Het eerste Indonesische Jeugdcongres”, sekali lagi namanya pun dalam bahasa Belanda], yang dengan cemerlang membela bahasa Melayu sebagai satu-satunya kemungkinan bahasa nasional di masa datang, toh juga disampaikan dengan bahasa Belanda yang sangat bagus.

Biarlah M. Tabrani, Ketua Kongres Pemuda I yang tak hadir dalam Kongres Pemuda II, menjelaskan duduk perkaranya [saya menggunakan terjemahan Daniel Dhakidae di buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru karena Thabrani lagi-lagi menggunakan bahasa Belanda]:

“Kita berpikir dan berbicara dalam bahasa Belanda, sementara dengan berapi-api menawarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan kita. Ini kelihatannya seperti sebuah paradoks, akan tetapi memang benar. … Praktis saja dan tidak perlu berspekulasi yang tak berfaedah! Apakah bahasa Belanda bukan suatu senjata tajam untuk kita dan siap dipakai? Asalkan kita mengoperasikannya dengan baik. Dalam pandangan kami, itulah senjata yang baik, bukan saja untuk melawan kaum sana [penjajah Belanda], tapi juga untuk mendukung kaum sini [rakyat Hindia Belanda yang terjajah].”

Ada tiga hal menarik dari argumen pragmatisme ala Thabrani itu. Pertama, bahasa Belanda sebagai senjata. Kedua, bahasa Belanda sebagai alat berpikir dan berbicara [Sukarno pun pernah mengakui bahwa bahasa Belanda adalah bahasa yang dipakainya untuk berpikir]. Ketiga, bahasa Belanda sebagai alat untuk menjangkau “kaum sana” dan “kaum sini”, baik untuk melawan ataupun untuk mendukung.

Dalam Kongres Pemuda itu, yang belakangan di masa kini kerap diledek sebagai kongres para alay, dinas intelijen Belanda bidang politik [Politieke Inlichtingen Dienst atau PID] mengirim banyak intelijen untuk menyusup ke dalam kongres itu, baik intelijen kulit putih maupun kulit coklat [bahkan para alay pun dianggap berbahaya oleh rezim kolonial masa itu].

Untuk mengakalinya, panitia kongres mengatur orang-orang yang secara khusus ditugaskan untuk ngobrol ngalor ngidul dengan para pejabat Belanda dan semua yang dicurigai sebagai bagian intelijen. Tujuannya: agar mereka kehilngan konsentrasi untuk mengawasi jalannya pembicaraan kongres.

Masih menurut Thabrani: “Mereka menunaikan tugasnya dengan baik dan rapi sekali sebab omong-omong secara santai, penuh lawakan yang lucu-lucu, … semua di dalam bahasa Belanda yang baik dan sopan, walaupun penuh humor. Hasilnya kongres lancar dengan selamat dari awal sampai akhir.”

Senjata made in Belanda itu, en toch, memang sudah digunakan dengan sebaik-baiknya, setidaknya untuk melancarkan jalannya kongres dari gangguan eksternal. Sementara soal bahasa Belanda sebagai “alat berpikir” juga menarik untuk dicermati agar kita bisa memahami konteks historisnya.

Soegondo Djojopoespito, Ketua Kongres Pemuda II 1928, sempat berbicara dalam bahasa Melayu. Tapi bahasa Melayu-nya tidak memuaskan dan membuat banyak peserta susah mengerti. Soegondo akhirnya kembali ke habitus anak-anak muda itu: berbicara dalam bahasa Belanda.

Inilah yang dimaksud bahasa Belanda sebagai “alat berpikir”.

Anak-anak muda itu terbiasa menulis, berbicara, dan mengungkapkan gagasan-gagasan abstrak dalam bahasa Belanda. Proses kognisi yang mereka alami hampir sepenuhnya berlangsung dalam bahasa Belanda. Sehingga butuh waktu untuk benar-benar fasih dan mulus mengungkapkan gagasan-gagasan yang rumit, asing, dan aneh itu ke dalam bahasa Melayu, Jawa, atau Sunda.

Inilah yang terjadi dengan Tirtoadisoerjo, orang yang menerbitkan surat kabar legendaris Medan Prijaji. Dia butuh waktu tak sebentar untuk berpikir apakah harus menulis dalam bahasa Melayu atau tidak. Itu terbantu karena Tirto tak selesai sekolah kedokteran dan tak sempat melanjutkan kuliah. Dunia akademik yang semua proses kognitifnya dilakukan dalam bahasa Belanda pun mulai menjauh dari kehidupannya. Transisi dari alam pikiran bahasa Belanda ke alam pikiran bahasa Melayu [pasar] jadi lebih mudah dilakukan.

Tentu saja banyak di masa itu sudah banyak yang terbiasa menulis dalam bahasa Melayu atau bahasa Jawa atau Sunda. Tirtoadisoerjo, seperti yang sudah saya sebutkan, adalah salah satu contoh yang terkemuka dan menonjol. Dia pantas disebut, salah satunya dan terutama, karena dia berlatar belakang Jawa yang fasih Belanda namun juga lama tinggal di daerah Priangan yang berbahasa Sunda. Bahasa Melayu Pasar – yang jadi cikal bakal bahasa Indonesia-  akhirnya yang menjadi ujung dari perjalanan multi-lingualnya itu. Sementara poin terakhir, tentang bahasa Belanda sebagai alat menjangkau “kaum sana” dan “kaum sini”,  perlu ditempatkan dalam konteks bahasa sebagai “modal”.

Sejak awal, pemerintah kolonial sadar bahwa tak semua urusan bisa mereka kerjakan sendiri. Mau tak mau harus memanfaatkan rakyat terjajah. Sekolah dan pengajaran bahasa Belanda akhirnya menjadi prasyarat untuk memastikan tenaga-tenaga yang siap pakai guna mengurus segala perkara birokrasi kolonial.

Hanya saja, bahasa Belanda tak pernah menjadi [karena memang tak diniatkan] bahasa komunikasi semua orang. Tak seperti bahasa Inggris di semua jajahan Inggris atau bahasa Prancis di negara-negara jajahan di Afrika, bahasa Belanda diajarkan tapi juga dibatasi perluasannya. Mereka merancangnya sebagai bahasa kaum elite, sehingga bumiputera yang bisa menguasainya pun tetap menjadi elite yang dibayangkan akan tetap berjarak dengan jelata kebanyakan.

Dari situlah kutipan macam Thabrani itu muncul. Daniel Dhakidae dengan bagus sekali menganalisis situasi ini guna menjelaskan kompleksitas posisi para pemuda nasionalis itu. Dengan caranya sendiri, tulis Daniel, “Thabrani mengemukakan keterpisahan kaum cendekiawan itu dari dua sumbernya sekaligus, dari para penguasa Belanda [kaum sana] dan dari rakyatnya sendiri [kaum sini] yang pasti tidak paham bahasa yang dipakai kaum cendekiawan ini.”

Dengan itulah, datang atau tidak ke Kongres Pemuda I dan II, para penubuh gerakan nasionalis itu memang sukar menghindar dari cap “elite” itu tadi. Studi Sartono Kartodirdjo atau Akira Nagazumi tentang elite di Hindia Belanda dengan bagus menjelaskan proses kemunculan elite-elite baru ini dalam narasi besar nasionalisme.

Tan Malaka mungkin salah satu elite itu yang pernah mencoba dengan gigih menerabas batas-batas “elitisme” itu dengan turun langsung ke jantung rakyat jelata dengan bekerja di perkebunan di Sumatera Timur maupun di tengah romusha di Bayah, Banten. Pedihnya, Tan Malaka yang selalu bergerak di bawah itu, justru kalah dan mati di era kemerdekaan karena kurang kuatnya  akar yang dia tancapkan di kalangan massa karena terlalu lamanya dibuang, diasingkan, dan berkelana di banyak negara.

Kemenangan bahasa Melayu [yang kemudian menjadi Bahasa Indonesia] sebagai bahasa nasional dalam banyak hal memperpendek jarak antara elite dengan jelata ini. Bahasa Belanda kemudian pelan-pelan menghilang sebagai cara komunikasi, digantikan oleh bahasa Indonesia dengan kelenturannya dalam beradaptasi.

Kini, pada perayaan 85 tahun Kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia, Agnes Monica dengan santainya, dan memang pantas untuk santai karena bukan dosa,  berkicau: “Supaya kalian tau exactly what i said in the press conference. Banyak bgt justru yg ga the opposite of what i said.”

Barangkali sudah tak ada lagi ketegangan “kaum sana” dan “kaum sini” atau setidaknya ketegangan itu sudah mengendur dengan drastis. Tapi tak berarti tidak ada lagi “pusat kekuasaan” yang harus diperebutkan. Dalam hal Agnes-Agnes dari generasi abad-21 ini, “pusat” itu masih ada, nun di luar sana.
Agnes merumuskannya dalam istilah “go-international”, mungkin dengan muatan yang sama dengan generasi Thabrani, dkk., dulu merumuskan istilah “nasionalisme”.

Bedanya, barangkali, dulu kita harus datang ke rapat-rapat akbar untuk bisa berjumpa dengan orang seperti Thabrani, dkk. Kini, untuk bertemu Agnes, kita cukup pergi ke gerai-gerai Indomaret terdekat.

sumber : Yahoo.com/newsroom/Zen RS

Skip to content