UU Sistem Peradilan Anak Telah Disahkan

Bagikan

Dibuatnya UU Sistem Peradilan Pidana Anak ini, karena setelah melihat di Indonesia jumlah anak-anak yang berhadapan dengan hukum cukup banyak. Data yang dikumpulkan oleh Dirjen Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM, jumlahnya mencapai kurang lebih 78 ribu anak baik laki-laki maupun perempuan, yang tersebar menurut kasus dan wilayah provinsi. Jumlah anak yang berhadapan dengan hukum banyak terjadi pada wilayah dengan jumlah penduduk padat seperti Jawa dan Sumatera, berdasarkan data tersebut tertinggi terjadi pada 5 wilayah provinsi tertinggi yaitu Jawa Tengah, Sumatera Utara, D.K.I Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat.

Menurut Dirjen Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM selama kurun waktu tahun 2008 terdapat 4.301 narapidana dan tahanan anak, dengan rincian narapidana anak (2.282 anak) dan tahanan anak (2.019 anak), sudah dapat dipastikan secara umum didominasi oleh jenis kelamin laki-laki, namun demikian ada hal yang menarik bahwa terdapat tahanan anak perempuan sebanyak 181 orang dan narapidana anak perempuan sebanyak 121 orang.

Pemerintah dan DPR serta semua fraksi di Komisi III DPR – RI sejak awal mendukung dibentuknya RUU Sistem Peradilan Pidana Anak. Bahkan Presiden pernah mengatakan bahwa anak-anak yang berhadapan dengan hukum ini dapat ditangani dengan cara restorative justice.

Pada rapat sebelumnya terdapat 5 (lima) substansi penting yang dibahas pada UU ini, antara lain: Pertama, Sistem Peradilan Pidana Anak wajib dilaksanakan dengan semangat keadilan restorative (restorative justice), suatu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semul, dan bukan pembalasan.

Kedua, definisi mengenai anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Anak yang menjadi korban tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik maupun psikis yang disebabkan oleh tindak pidana. Anak yang menjadi saksi tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan.

Ketiga, adanya kewajiban terhadap aparat penegak hukum untuk mengupayakan diversi dalam sistem peradilan pidana anak yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Keempat, adanya kewajiban setiap orang untuk merahasiakan identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik, yang disertai dengan adanya sanksi pidana bagi setiap orang yang melanggar kewajiban tersebut.

Kelima, penahanan terhadap anak harus bersifat ultimatum remedium dengan syarat yang sangat ketat dan ditempatkan di Lembaga Penempatan Anak Sementara.

Dengan disahkannya RUU Sistem Peradilan Pidana Anak menjadi UU Sistem Peradilan Pidana Anak adalah kemenangan untuk semua dan anak-anak Indonesia, karena di dalamnya diatur sedemikian rupa bahwa anak-anak yang berhadapan dengan hukum khususnya dengan ancaman hukuman dibawah 7 tahun dapat ditangani secara diversi terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan restorative justice. Diversi ini berarti tidak dilakukan dengan cara pidana, melainkan dengan perdamaian melalui hubungan dengan korban dan keluarga dan pihak-pihak lain seperti penegak hukum dan pelaku. Sehingga dengan cara ini kasus yang dialami anak-anak tersebut tidak masuk ke dalam ranah pidana. Restorative justice sendiri dilakukan dengan pemulihan, artinya ada lembaga-lembaga yang akan dibangun atau mengoptimalkan lembaga-lembaga yang telah ada oleh Kementerian Sosial. Sedangkan peran KPPPA sendiri lebih kepada proses koordinasi, monitoring dan evaluasi antar sektor dalam pemulihan tersebut.

“Saya bersyukur dengan disahkannya UU ini, masa depan anak akan lebih terjamin, dan tidak ada lagi kasus-kasus yang sering kita dengar, seperti seorang anak yang mencuri sandal mendapat ancaman hukuman penjara. KPPPA sendiri, sebelumnya telah lama mengeluarkan pedoman tentang penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum berupa Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia No. 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. Dengan disahkannya UU ini akan membantu KPPPA untuk mengeluarkan PP yang berkaitan dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut nantinya”, tegas Linda Gumelar seusai menghadiri rapat paripurna.

Sedangkan untuk kasus narkoba, pembunuhan dan pelecehan seksual tidak termasuk kedalam UU sistem peradilan pidana anak karena ancaman pidana bisa lebih dari 7 tahun. Untuk itulah dibutuhkan peran orang tua dalam mendampingi dan membina anak-anaknya terhadap 3 kasus tersebut(hm).

Skip to content